Saturday, November 8, 2014

Fenomenal Pemerintah Baru Dilema atau Berkah?


Fenomenal Pemerintah Baru Dilema atau  Berkah?


            Sejak terpilihnya menjadi Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau yang populer disebut  sebagai Jokowi kini menjadi perbincangan di berbagai penjuru media, baik elektronik maupun cetak publikasi. Sosoknya yang sederhana membuat para jurnalis serta wartawan rela menunggu dengan sabar dan antusias di depan kantornya, setiap pagi untuk mendapatkan sedikit rahasia mengenai cara kerja Jokowi yang dikenal dengan nama “Blusukan”. Sehari pun tidak terlewatkan tanpa berita meliputi kegiatan beliau yang unik di media.
            Kini Jokowi telah bersinar seperti bintang yang menerangi di daerah yang gelap. Popularitasnya kian meroket dengan karakternya yang dapat menghipnotis jutaan penduduk Indonesia yang rindu akan pemimpin seperti beliau. Ketika Partai Demokrasi Indonesia menunjuk beliau untuk bersaing di kursi Gubernur Jakarta, banyak yang meragukan bahwa warga Jakarta akan memilih dirinya. Namun dengan tekadnya yang berani beliau mencalonkan diri ditemani dengan Ahok sebagai wakilnya. Kenyataan sebaliknya  terjadi dengan terpilihnya Jokowi menjadi orang nomer satu di Jakarta.
            Dibawah kepemimpinannya, ibu kota berubah dengan cepat. Siapa yang tidak heran melihat perubahan waduk Pluit di Jakarta Utara? Waduk yang dulunya terabaikan karena kumuh kini berjuta-juta mata memandang menjadikan sebagai tempat wisata. Tak hanya itu, blusukan dan tindakannya yang langsung turun ke lapangan, membuat masyarakat mulai melihat beberapa mimpi datang ke realitas. Hanya dalam satu tahun masyarakat merasa baik dengan cara Jokowi dalam memimpin Jakarta.
            Sosoknya yang fenomenal membuat dirinya terpilih menjadi Presiden Indonesia ke tujuh. Mengabdikan dirinya kepada negara yang akan tunduk terhadap konstitusi. Presiden yang mencoba memimpin negeri ini dengan cara yang berbeda, memilih para menteri secara ketat dan kompetitif agar kursi-kursi kepresidenan dapat diduduki dengan orang yang bersih tanpa korupsi. Semoga dengan terpilihnya menjadi Presiden, Jokowi dapat menjalankan visinya “Revolusi Mental” dengan mengubah negeri ini menjadi lebih yang baik agar tidak hanya dipandang sebelah mata oleh negera lain.



Untuk Mu... Presiden Ku...



Sang Presiden

Surya di ufuk barat telah menutup diri
Para anak kecil bergerombol membanjiri tugu ibu pertiwi
Suara menggelegar terdengar di berbagai sisi
Bagai kicauan burung nuri
Menyabut kehadiran orang yang di nanti-nati

Wahai Presiden ku...
Kini kita menjadi saksi bisu mu
Kedua mata ini memincing menatap kesederhanaan mu
Sosok yang hanya dibaluti kain tipis
Telinga ini memanjang mendengar kata-kata mu yang manis
Berharap bukan sekedar omong kosong

Kini kau bukan hanya milik Solo maupun Jakarta
Tapi bangsa ini telah meminang mu
Akankah kau merubah negeri yang telah porak-poranda ini?
Atau akankah kau hanya duduk manis di istana mu
Bak seorang RAJA?
SA, 22 Oktober 2014

Sunday, November 2, 2014

JOMBLO.....? What's wrong (Ending)


 
Jomblo...? What’s Wrong



          Ku langkahkan kaki ku menuju ruang Dance. Usul Auzy kini terngiang-ngiang di otak ku. Haruskah aku melakukan itu?
          Langkah ku berhenti tepat di depan ruangan bertulisan ‘musik room’. Seperetinya aku salah jalan. Ku putar tubuh ku seratus delapan puluh derajat yang ku dapati ruangan dance hanya beberapa langkah dari tempat ku berdiri.
          “sejak kapan ada music room di samping ruangan dance?”, tanya ku heran. Ku dekati pintu ruangan musik membuka knopnya. Hanya ruangan kosong dengan alat musik di setiap sudut yang ku dapati tanpa adanya tanda-tanda kehidupan.
          “untuk apa ruangan ini di buat jika tidak digunakan”, omel ku sok bijak. Saat kaki ini ingin beranjak pergi petikan suara gitar terdengar di sudut ruangan. 
          “tunggu, bukannya itu si pria nyebelin. Ngapain dia disini?”,

JOMBLO....? What's wrong (Part 1)

Finally.... bisa ngepost lagi!!! 
setelah sekian lama bingung mau ngepost apa, giliran punya ide buat ngepost tapi ga ada waktu-,-
Okeyy.. postingan kali ini masih sama, apa lagi kalo bukan cerpen absturd.
Cerpen ini terinspirasi dari temen-temen di sekitar, yang mana dia pengen banget punya temen deket cowo ( temen ya bukan pacar). tapi sayangnya ga ada yang mau. Trus juga ada cowo yang selalu ngekode-in si cewe tapi cewenya itu ga nyadar-nyadar. Ada juga yang udah kebelet pengen ngerasain yang namanya pacaran tapi jodohnya masih diumpetin sama yang diatas. ada lagi yang udah nempel banget kaya prangko sama surat tapi pas di tanya "kalian pacaran?", jawabannya selalu "engga ko". dan yang terakhir yang paling sedih si ya.. yang hanya bisa mandangin seseorang dari jauh tanpa tau harus ngelakuin apa untuk deket sama DIA.
So, This is it...

Jomblo...? What’s Wrong



 
          “iiihhh Vi... lo dengerin gue ga sih?”
          “iya gue dengerin ko”, dengan malas mulut ku membuka menjawab pertanyaan yang terus dilontarkan oleh cewek yang berada di depan ku. Tangan ku sibuk mengikat tali sepatu ku.
          “kalo lo dengerin jawab dong pertamyaan gue, kapan lo bakal punya pacar? Lo ga iri apa sama temen-temen SD lo yang nge-upload foto sama gebetannya, temen SMP lo yang suka nulis nama pacarnya di BBM, di bio twitter trus juga temen-temen SMA lo yang bentar-bentar ganti pacar trus nge-post deh di Path atau ga di Instagram pake hastagnya with mine. Emang lo ga...”

Saturday, September 20, 2014

Welcome, Welcome and Welcomeeeee


Holaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa~
Duhhh ini blog kaya udah lama ga ada penghuninya...
ga ada pengurusnya...
dan.....
udah lama tercampakkan.... *okefixinilebay*
maafkan daku blog, huhuhu...

sekedar curhat aja,  ga nyangka kalo blog ini bakalan dibaca sama temen-temen sekelas. Bagi kawan-kawan yang udah TERLANJUR ngebaca blog ini so...

"Welcome to Cete's Blog"

selamat membaca cerpen2 absturd karya penulis amatiran,
oiya jangan lupa ninggalin jejak yaaa minimal komen lahhhh *pengenbanget*

Monday, June 30, 2014

Should I....? (Ending)


“Huhhh..”, helaku membuang napas panjang.
            Minggu ini sungguh amat melelahkan. Para dosen mata kuliah ku sepertinya telah berencana memberikan tugas serempak dan di kumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Huh, benar-benar menyebalkan. Dulu ketika aku masih duduk di bangku SMA, ku pikir menjadi mahasiswa akan menyenangkan karena akan terbebas dari tugas tapi nyatanya emm.. sama saja. Sampai-sampai Miss Alline, dosen yang tidak pernah memberikan tugas kini ikut-ikutan memberikan tugas. Kutatap kesal ke kertas yang ada digenggaman ku, membaca ulang tugas yang diberikan tugas oleh Miss Alline.

Thursday, June 19, 2014

Should I....? (Part 2)


Huh, kenapa Mr. Robin tega sekali memberi ku nilai C, padahal aku mengerjakan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Kapan aku bisa mendapat nilai A?”, runtuk ku memandang kertas lecak yang sudah ku remas-remas. Mr. Robin oh Mr. Robin. Memikirkan tentangnya mengingatkan ku dengan seseorang. Jutek, jarang senyum, berlagak so cool ya siapa lagi kalau bukan JEVAN dan satu lagi Mr.Robin itu pelit sekali dengan nilai, ini sudah semester 3 dan hanya sekali aku mendapatkan nilai B dari nya. Menyebalkan sekali bukan?
   “Andin, lebih baik kau shalat daripada memikirkan yang tidak-tidak”, ucapku bergeming. Aku jadi teringat sesuatu. Biasanya Jo yang akan mengucapkan itu tapi sampai sekarang aku tak tahu dimana Jo, terakhir aku melihatnya di acara Promnite dan setelah itu dia tak pernah muncul bahkan menghubungi ku juga tidak pernah. Huh Jo aku kangen.
BUKKK...
   Inilah akibatnya jika berjalan sambil melamun, tanpa ku sengaja aku menabrak seorang pria jangkung. Ku amati pria tersebut hendak meminta maaf tapi tunggu!, sepertinya aku mengenalinya.
   “Jevan! Kau Jevan kan?”

Wednesday, June 18, 2014

Should I....? (Part 1)

*cuapcuap ala author*
Holaaaaa semuanya..duhh udah lama ya ga ngepost... biasalah anak sekolahan sibuk dengan tugas-tugas belom lagi ulangan-ulangan dan yang paling klimax ya apa lagi kalo bukan ulangan semester. tapi untungnya itu semua udah  selesai dan I'M FREE NOW!! 
Eitss sepertinya belom deng masih menunggu hasil dan semoga hasilnya memuaskan. Aamiin...
mau cerita sedikit, pas lagi ulangan semester sejarah kemarin yang super susah. dari sekian soal saya cuma bisa ngerjain 5 soal dan itu pun juga ga yakin bener. padahal sisa waktunya masih 1 jam lagi tapi berhubung otak saya udah mentok dan engga tahu lagi mau nulis apa jadi yang saya lakuin cuma nyoret-nyoret kertas soal. dan entah datang dari mana tiba-tiba ide buat cerpen muncul. And...
This is it. Should I....? made by me, Dream Girl. Hope you like it, Guys...


            “pagi Jevan...”
            “Haiiii Jev....”
            “Jevan ini bekal untuk mu. Ku buatkan khusus untuk mu”
            Mata ku memincing ke sumber suara tersebut menatap para gadis lenceh dan centil yang sedang berusaha mencuri perhatian pria sombong nan angkuh. JEVANNO ANGGARA. Yup, pria yang sangat disanjung-sanjungkan oleh semua gadis di SMA TUNAS PELITA kecuali aku dan mungkin satu sekolah ini pun tahu siapa itu Jevanno bahkan ibu-ibu kantin pun juga ikut-ikutan menggosipi pria jutek tersebut.
            Cih, setidaknya dia mengucapkan terima kasih terlebih dahulu. Dasar pria angkuh”, ucapku berdecak kesal melihat tingkah Jevan yang langsung meninggalkan gadis yang telah memberinya bekal.
            “hei, kau kenapa?”, suara khas pria yang duduk bersebelahan dengan ku mengagetkanku. Ku majukan bibirku menunjuk kearah Jevan yang kini sedang duduk sendirian dikantin. Tidak, dia tidak sendiri melainkan bersam buku tebal yang selalu ia baca. Entahlah itu buku apa karena cover buku tersebut tersampul dengan kertas abu-abu mengkilat.
            “Jo, apa kau tahu kenapa Jevan selalu berlagak seperti itu?”, tanyaku pada Jonathan yang merupakan orang pertama yang ku kenal tiga tahun yang lalu di SMA ini yang kini menjadi sahabatku.
            “berlagak seperti apa?”
            Ck, perlukah ku jelaskan Jo?”, tanyaku dengan menatapnya kesal dan bukan jawaban yang kudapatkan tetapi dia malah menatap ku balik.
            “ya seperti itu, bertindak semaunya. Ini sudah tahun terakhir kita disekolah ini tetapi kenapa dia masih belum berubah. Setidaknya ia balas tersenyum ketika gadis-gadis centil itu menyapanya bukan melongos pergi begitu saja. Ya aku tahu dia memang ganteng tapi ga gitu juga dong.....”
            “HAHAHAHA.....”, tiba –tiba saja Jo memotong ucapan ku yang belum terselesaikan dengan ketawanya yang menggelegar sampai-sampai para pengunjung kantin menatap kita.
            “Stop Jo! Aku belum selesai dan kenapa kau tertawa? Aku tidak sedang melawak”
            “Andin... Andin...bukannya kita maksudku, aku, kau dan Jevan telah bersahabat selama tiga tahun dan ku rasa kau memang tahu jika sifat dia memang seperti yang kau bilang barusan. Dan kenapa pula kau masih mempermasalahkan tentang itu?”
            “siapa bilang aku dengannya bersahabat? Aku tidak menganggapnya sebagai sahabat!”
            “kenapa kau bilang seperti itu?”. Kini Jo menatap ku dengan tatapan heran atas ucapanku.
            “karena ku pikir dia juga tidak menganggapku sebagai sahabat”
            “alasannya?”, tanyanya lagi yang sukses membuatku jengkel. Kedua alis tebalnya hampir menyatu.
            “alasannya karena dia selalu pergi ketika aku datang menghampirimu dan dia hanya akan menemuimu jika aku tidak ada. Kalaupun dia menganggap ku sebagai sahabat kenapa juga dia tidak datang ke meja ini dan duduk bareng dengan kita bukan menyendiri dengan bukunya yang menyeramkan itu!”
            “Menyeramkan? Hahaha....”
            Jonathan kembali terkekah mendengarku mengucapkan kata menyeramkan. Coba saja kau liat buku itu, sudah tebal, warna kertasnya kumuh dan coklat kusam seperti keluaran tahun 80-an. Jika kau lihat mungkin kau juga akan bilang buku itu menyeramkan.
            “Sudahlah Andin lebih baik kau sholat Dhuha. Jernihkan pikiran mu dan ketahuilah Jevan tidak seburuk yang kau pikirkan”
            Ya itulah Jonathan Adrian yang selalu menyuruhku shalat jika aku sedang emosi. Walupun kita berbeda keyakinan tetapi dia selalu mengingatkan ku akan penting shalat. Pria dengan kacamatanya yang bertengger dihidung mancungnya amat berbeda sekali dengan Jevan. Jo selalu tersenyum dan menyapa balik gadis-gadis yang menyapanya. Tidak seperti Jevan yang selalu menyendiri huh dasar UNSOS!
            “baiklah, aku akan ke mesjid. Selagi aku shalat lebih baik kau mengerjakan ini dan setelah itu kau mengajariku menyelesaikannya. Bagaimana?”
            “okey”, ucapnya sembari menunjukan ibu jarinya dan aku beranjak meninggalkannya menuju ke masjid. Tapi sebelum kaki ku melangkah keluar dari kantin aku menatap kedua pria tersebut secara bergantian.
            Sungguh benar-benar berbeda, ucapku bergeming.
Selama  menuju ke Masjid pikiranku terus memutar memori saat pertama kali aku bertemu dengan Jevan. Saat itu aku tengah menunggu Jo di taman untuk belajar bersama dan tiba-tiba  saja ia datang dan langsung memperkenalkanku dengan Jevan. Aku pun dengan berantusias mengangkat tanganku hendak bersalaman dengannya tetapi apa yang dia lakukan?. Dia melongos pergi dan membiarkan tanganku yang menggantung tak berarti dan dengan entengnya Jo mengucapkan “dia memang seperti itu” dan aku hanya dapat terdiam bingung mendengarkan pernyataan Jo.
                                                                                    ***
            Ku pandangi deret-deret angka dan rumus-rumus yang telah membuat ku pusing. Fisika oh fisika. Kau membuat ku gila. Bagaimana tidak? sebulan lagi Ujian Nasional akan diadakan tapi sampai sekarang aku masih buta dengan soal-soal fisika dan belum lagi trigonometri  yang sukses membuat ku panas dingin melihat soal sin, cos, tangen, cotangen dan kawan-kawannya. Membayangkannya saja sudah membuatku ngeri.
Cciiiitttt....
Tiba – tiba decitan rem sebuah mobil membuyarkan lamunanku. Sebuah mobil berwarna merah menyala kini tepat berhenti di depan rumah Jo. Ya, saat ini aku sedang berada di rumah Jo yang telah bersedia ingin mengajarkanku. Lebih tepatnya aku merengek ingin diajarkan. Dan saat pintu mobil terbuka ku ketahui sang empunya.
            “Hai Jev, tumben sekali kau datang”, sapa Jo dan orang yang disapa kini berjalan mendekati kami berdua dengan mengangkat tangannya sebagai tanda ‘hai’.
            “aku ingin mengobrol dengan mu tapi sepertinya kau sedang ada tamu”, jawab Jevan yang kini memincingkan matanya ke arahku dengan tatapan membunuh.
            “bagaimana kalau kau gabung bersama kita? Emmm... belajar bersama?”, tawarku  berbasa-basi yang sebenarnya aku tidak sudi jika dia bergabung.
            “untuk apa aku belajar. Toh tanpa belajar pun aku bisa mengerjakan sial UN dengan mudah. Kau tahu IQ ku ini tinggi”
            Cih, sombong sekali kau!”
            “tapi itu memang kenyataannya”
            “mana ada orang ber-IQ tinggi tetapi tidak pernah masuk ke 3 besar. Boro-boro 3 besar, 10 besar pun kau tidak masuk. Bahkan aku tidak pernah melihat nama mu di daftar murid berprestasi”, sindirku yang mulai emosi dan ucapanku berhasil membuatnya tegang.
            “itu karena aku malas. Mungkin jika aku rajin aku bisa mengalahkan pria disamping mu!”
            “Buktikan!”
            “baiklah jika itu mau mu, aku akan membuktikannya. Dua bulan lagi kau akan melihat nama ku, Jevanno Anggara di daftar 25 siswa dengan nilai UN tertinggi”. Aku yang mendengarkan kalimat itu hanya dapat terkekah akan omongan kosongnya. BIG LOL Jevan!
            “Jo, aku akan tunggu di kamarmu dan jika gadis ini pulang temui aku”, ucap Jevan lagi dan langsung memasuki rumah Jo tanpa meminta izin kepada sang empunya.
            Cih, bahkan di rumah orang lain pun dia masih saja bertindak semaunya. Dasar tidak punya sopan santun!”. Entah kenapa saat aku melihatnya emosi ku terus naik membuatku ingin marah-marah.
            “Andin, sudah ku bilang Jevan memang seperti itu. kau ini seperti baru mengenalnya saja. Ingat kita bertiga sudah hampir 3 tahun bersahabat”
            “sahabat? Mungkin kau saja yang ia anggap sahabat. Untuk ku tidak”.
Sedetik kemudian Jo langsung merapku tajan dan itu artinya dia akan bilang ‘lebih baik kau shalat’.
            “kenapa menatapku seperti itu? kau mau menyuruhku shalat?”. Dia pun mengangguk pelan.
            “jernihkan pi...”
            “sayang sekali aku sedang tidak shalat”, ucapku memotong ucapannya yang sudah ku hapal pasti dia akan bileng ‘jernihkan pikiranmu dan Jevan tidak seperti yang kau bayangkan’.
            “yasudah, kalo kaya gitu lebih baik kita lanjutkan belajarnya. Kau tidak ingin gagal UN kan?”.
            Aku pun mengangguk mantap memandang kembali angka demi angka dan simbol-simbol yang hanya ku ketahui sebagian. Tapi , entah kenapa aku membayangkan wajah Jevan barusan. Wajahnya seperti orang sakit, pucat pasi. Ada apa dengannya ya?, pikir ku bertanya-tanya. Hell yeah, kenapa juga aku memikirkan orang sombong bermulut besar tersebut. tak ada untungnya!.
Hei jevan, cepatlah keluar kau dari otakku. Kau tau, kau itu mengganggu konsentrasiku. Ayo cepat keluar!. Bagaikan bak orang gila aku pun memukul-mukul kepala ku beberapa kali.
                                                                                    ***
            Lantunan musik terdengar indah memenuhi ruangan ini. Pandangan ku menyapu ke seluruh ruangan. Tawa canda, wajah-wajah bahagia dan gembira itulah yang kini ku lihat di ruangan promnite ini. Dan entah kenapa mataku terus berkeliaran seperti mencari seseorang, tetapi aku pun tak tahu siapa yang ku cari. Menyebalkan bukan?.
            Ku lihat di ujung sana Jo sedang tersenyum manis menyalami teman-temannya yang berlalu lalang memberi selamat. Ku langkahkan kaki ku mendekati pria yang kini tengah mengenakan tuxedo hitam dan sebuah kalung salib menggantung indah di dadanya. Tunggu!. Ada yang berbeda dari Jo. Dia tidak mengenakan kacamata yang selalu bertengger di hidung mancungnya. Ini pertama kalinya aku melihatnya tanpa kacamata.
            “kenapa?”, tanyanya mengerlingkan matanya ke arah ku yang tengah sibuk mengamatinya dari ujung sepatu hingga ke wajahnya. Pria ini sungguh tampan. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku pun langsung menghambur kedalam pelukannya, mendekapnya erat. Ia pun membalas pelukanku.
            “selamat telah menjadi lulusan terbaik. I’m proud of to be your bestfriend, Jonathan Adrian”, ucapku seraya melepaskan pelukannya.
            “Selamat untuk mu juga, Chairunnisa Andini yang resmi lulus dan telah bersedia menjadi sahabat ku”, balasnya dengan menatap mata ku dan aku hanya bisa tersenyum mendengarkannya.
            “Haloooo...semuaaaa!!!. Duhhh yang wajahnya pada seneng...”
Tiba-tiba saja suara MC mengalihkan pandangan ku dan Jo yang saling menatap dan bak seorang penyihir semua mata kini tengah menatap MC tersebut. Mendengarkan ocehannya dengan amat serius tidak mau terlewatkan satu kata pun.
            “oke kita akan lanjut ke acara berikutnya tapi sebelum lanjut, gue mau ngucapin Big Congrats for kita semua SMA TUNAS PELITA yang telah lulus. Perjuangan kita ga sia-sia guys. Okey, acara selanjutnya yaitu ‘Dance Together’. Jadi, lo lo semua dansa dengan lawan jenis lo, entah itu temen lo, gebetan lo atau pacar lo. Nah nanti, pas musiknya ganti, lo lo juga harus berganti pasangan yang berada di dekat lo. Gimana? Ngerti kan lo semua? Oke Lets Begin!”.
Dan seketika itu pula, semua orang menghambur pergi mencari pasangan dansanya.
            “mau berdansa dengan ku?”, tawar Jo dengan sebelah tangannya yang terulur ke arah ku.
            “dengan senang hati”, jawabku, meletakan tanganku diatas tangannya. Dan musik pun mulai mengalun indah menemani kita.
            “setelah ini kau akan melanjutkan kulliah dimana?”, tanya ku di tengah-tengah dansa ku dengan Jo.
            “entahlah aku juga tidak tahu”, aku pun menatap Jo dengan tatapan curiga mendengar jawabannya.
            Hei, hei, Dont look at me like that. Aku janji setelah aku diterima di universitas yang aku inginkan aku akan memberitahumu”
Aku hendak membuka mulut berniat membalas janji Jo tapi, suara musik kini telah berganti dan mengharuskan ku untuk melepaskan tangan Jo dan HAP!. Sebuah tangan seorang pria kini telah melekat di pinggang ku. Ku tatap pria berkaca mata dengan tatapan terkejut. Hell yeah, kenapa juga aku harus berdansa dengan dia?
            “JEVAN!”, ucap ku dengan refleks dan tanpa persetujuan dari ku, ia mengambil kedua tangan ku meletakkan di pundaknya.
            “sedang apa kau disini?”, tanya ku ketus.
            “tentu saja aku sedang berdansa dengan mu”.
            “ku kira kau tak akan datang dan lebih memilih menyendiri dengan buku tebal mu”
            “sebenarnya aku juga malas datang tapi... ada seseorang yang ingin ku temui”
            “siapa?”,tanyaku penasaran.
            “Kau!. Dan kedatangan ku ternyata tidak sia-sia, kau nampak cantik malam ini”
            Huh, terdengar sarkastik!”
            “Benarkah?, padahal aku mengucapkannya dengan tulus”
            “Whatever!. Lalu kenapa kau ingin menemui ku?”
            “emm.. kau sudah melihat daftar siswa yang mendapatkan nilai UN tertinggi?”
            “tentu saja aku sudah melihatnya”, jawab ku cepat dan baru ku ingat bahwa nama JEVANNO ANGGARA menempati urutan kedua setelah nama Jo. Sungguh patut dipertanyakan.
            “lalu apa reaksi mu?”
            “biasa saja karena aku sudah menduga dan percaya bahwa Jo yang akan menempati urutan teratas”.
            “aku dan Jo mendapatkan nilai yang sama dan kau tidak ingin memberiku selamat dan mengakui IQ ku yang tinggi ini?”
            “untuk apa aku memberi mu selamat? Aku tahu kau pasti belajar mati-matian demi membuktikan ucapanmu. Hahaha...”. Jevan yang mendengar ucapanku langsung menatapku tajam tidak terima dengan ucapan yang baru saja ku keluarkan dari mulutku.
            well, baiklah. Dengarkan baik-baik, aku hanya mengucapkannya sekali. Selamat telah menjadi lulusan terbaik dan terima kasih telah membuktikan janji mu. Once again big congrats and big thanks to you”, ucapku dengan frekuensi yang rendah tetapi aku yakin Jevan bisa mendengarkannya. Dan bisa ku lihat Jevan menarik ujung bibirnya membentuk senyuman. Oh God, ini pertama kalinya aku lihat ia tersenyum. Sungguh manis.
            How lucky Jo having you as his girlfriend.
            “ma.. maksud mu?”
            “iya, Jo beruntung menjadi milik mu dan aku cemburu mengetahui itu”
            Hei, a..a..aku.. sama Jo ti..dak....”
            Belum selesai aku menjelaskannya tapi musik telah berganti. Dear DJ atau siapa pun yang mengganti musik ini. Kau sungguh menggantinya di waktu  yang tidak tepat! Arggghhh...

        ~To be Continue~

Friday, April 18, 2014

1 Keputusan, 2 Cinta dan 3 Hati




Monte Carlo, Monaco
          “Zayn tunggu!. Dengarkan penjelasanku!, kau salah paham Zayn!”       
            “Apa kau bilang?, aku salah paham!. Kau yang salah Jess, kau sudah berselingkuh dengan pria bajingan itu!. aku sudah lelah dibohongi terus, lebih baik kita akhiri hubungan kita dan mulai detik ini jangan pernah hubungi ku lagi”    
            Bukkk...
Dentuman pintu taksiku terdengar jelas ditelingaku, seseorang pria yang ku ketahui bernama Zayn menaiki taksiku dan menutup pintu taksi ini dengan amat kasar. Rasa emosi yang meluap-luap memenuhi di wajah merah padamnya. Sebutir air bening diujung matanya turun mulus melewati pipinya.
You were my summer Love... you always will be my summer Love...
Sedetik kemudian suara ringtone ponselnya terdengar nyaring dan ku tahu pasti itu adalah telepon dari wanita yang baru saja berubah status menjadi single. Ia melemparkankan ponselnya ke sebelah taksi, membiarkan panggilan yang terus berulang-ulang.
            “Aku ini bukan pembunuh atau buronan yang sedang dicari polisi jadi berhentilah menatap ku seperti itu!”.                                                              
            “sial! Aku tertangkap basah”, pekik ku dalam hati.                           
           Hentakan suaranya yang terdengar dari penumpang taksi dibelakangku mengagetkanku. Sontak saja mataku langsung menatap jalan dan kembali fokus mengedarai taksi.                                                                                
            “Maaf Tuan, sekarang kita mau kemana?”, tanyaku dengan nada lembut mencoba untuk mengalihkan ucapan dia yang sebelumnya. Kulihat ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya berlahan-lahan. Tuhan, kenapa mata ini terus saja ingin menatapnya.                                                              
           “antarkan aku ke Bartlett Street”                                                             
             Ku anggukan kepalaku tanda mengerti. Suara yang ia keluarkan amat berbeda dengan suara sebelumnya, lebih lembut dan tak dibumbui oleh rasa emosi. Ku gas taksi yang ku kendarai untuk menuju jalan yang dimaksud oleh pria tersebut. jalan yang ku ketahui tidak jauh dari tempat aku berada.
                                                                        ***                                       
               Tanpa kusadari taksi yang ku kendarai sudah tepat di jalan Bartlett. Pria tersebut memberikan beberapa lembar uang dan tanpa sepatah kata pun ia langsung turun dari taksi ku. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan penumpang ku yang sedang bersedih hati. Selama aku menjadi supir taksi, ini pertama kalinya aku melihat seorang pria menangis di taksiku. Biasanya wanita-wanita cantik yang menumpahkan air mata di dalam taksiku tapi kali ini sangat bertolak belakang. Pria berjambul coklat hitam itu terus saja meneteskan air mata dari kedua mata hitamnya. Sepertinya ia sangat mencintai mantan kekasihnya yang baru ia putuskan. Rasanya aneh, bukankah Monaco itu kota teromantis walaupun tak seromantis kota Paris tapi kenapa masih saja ada orang yang berselingkuh. Sungguh kasihan dia!.
You were my summer Love... you always will be my summer Love...
            “Bukankah itu bunyi ponsel pria tadi?”, ucapku bingung kenapa bisa terdengar ringtone ponselnya padahal ia baru saja turun 10 menit yang lalu. Semakin lama kudengar semakin kencang bunyi ponsel tersebut dan saat ku tengokan kepala ku ke tempat pria itu duduk dan Yap! Benar saja ponselnya tertinggal di taksiku.           
            “Dasar ceoboh!”, umpatku
***
Tok...Tok.. Tok..                                                                                                    
               Ku ketuk pintu dengan dinding berwarna putih, malam ini kuputuskan untuk mengembalikan ponselnya. Sudah berkali-kali ku ketuk pintunya tetapi sepertinya rumah ini kosong tak ada penghuninya. Rasa bosan telah muncul di benakku. Bosan menunggu penghuni rumah yang tak kunjung membukakan pintu.                                              
            “siapa?”                                                                                                    
             Tiba-tiba kata pertanyaan itu terdengar ketika aku hendak melangkahkan kaki ku untuk meninggalkan rumah pria yang tadi siang ku temui. Saat kubalikan badanku, kudapatkan seorang pria yang bermata lembab. Rambutnya yang tadi pagi disisr rapi kini tampak berantakan. Wajahnya yang tadi siang berwarna merah padam kini berubah menjadi seorang yang amat frustasi. Ia tampak seperti orang yang tersesat yang kehilangan arah. Ku langkahkan kaki ku mendekatinya.                           
            “aku ingin mengembalikan ini”, ucapku memulai pembicaraan dengan nada yang canggung seraya menyerahkan banda pipih berwarna hitam. Ia menatap bingung kearah ku, mengerutkan keningnya dan membuat kedua alis tebalnya hampir menyatu. Tangan kananya mulai ia ulurkan untuk mengambil benda miliknya. Kerutan dikeningnya kini telah digantikan oleh rasa kebingungan yang memuncak.   
            “ini seperti ponselku?, ucapnya dengan nada bingung.                        
            “iya itu memang punya mu”                                                                       
            “lalu, kenapa bisa ada dikamu? Kau mencurinya!”                                              
“Sial! Apa-apaan dia, seenaknya saja menuduh orang. Sepertinya keputusanku mengembalikan ponselnya lebih baik tak usah di kembalikan. Dasar pria nyebeliin!” , umpatku di dalam hati yang didongkol.                                        
            “aku tidak mencurinya, kau sendiri yang meninggalkannya di taksiku. Kalaupun aku mencurinya, aku tak perlu bersusah payah untuk mengembalikannya kepada pemiliknya!”                                                                    
           “tunggu, tadi kau bilang aku meninggalkannya di taksimu? Jadi, kau ini supir taksi?”                                                                           
         “ya, memangnya kenapa? Kau lupa akulah yang mengantarkanmu pulang tadi siang”                                                                                                                                            
            “emm.. maaf aku tidak ingat”                                                                                
Aneh sekali, masa dia tidak ingat. Apakah efek dari patah hati membuat kita lupa ingatan?, kurasa tidak tapi kenapa dia tidak ingat?
            “oke tak masalah, emm... kau terlihat tak enak badan lebih baik kau istirahat, aku akan pulang”. Hatiku terus saja memaksaku untuk mengeluarkan kalimat itu dari mulutku. Kalimat yang sekaligus mengakhiri pembicaraan.       
        “Tunggu!”, serunya yang memberhentikan langkahku.            
            “masuklah aku akan membuatkan coklat hangat sebagai ucapan maaf ku telah menuduhmu yang tidak-tidak”                          
            “baiklah, sepertinya satu cangkir coklat hangat dapat menghangatkan tubuhku yang memulai membeku menunggumu yang amat lama membukakan pintu”, keluhku dengan diakhiri tawa yang hambar dan saat itu pula ia tersenyum tipis kearahku.                                                                           
                                                            ***                                                     
            Kaki ku mulai memasuki rumah yang luasnya mungkin 3 kali dari luas rumahku. Ku amati barang-barang yang ada dihadapan mata. Semuanya tertata rapi dan banyak sekali foto-foto yang berpajangan didinding bercat putih susu. Foto pria tersebut  dengan wanita yang kurasa mantan kekasihnya yang baru ia putuskan tadi siang.                    
            “Kau tunggu disini, aku akan kembali”, kuanggukan kepalaku setelah kalimat perintah yang terdengar dari mulutnya.
            Mataku terus menyapu seisi ruangan dan berhenti tepat dipojok ruangan. Benda yang ada diujung sana merayuku untuk mendekatinya. Kusentuh benda berwarna hitam dan putih sehingga menimbulkan dentingan bunyi khas piano. Tanpa kusadari jari-jari ku telah menciptakan dentingan nada-nada yang indah dari sebuah lagu yang sangat femiliar untuk ku. The greatest prize sebuah lagu yang amat ku sukai, lagu yang memiliki makna yang begitu dalam. Seperti terhipnotis aku larut dalam nada-nada yang tertangkap oleh gendang telingaku.
            “I never look away I never in this place You’re standing here and I can see your face. Ohh.. i won the greatest prize. Ohh.. I’m in my paradise..”   
Tiba-tiba suara diujung sana membuatku tersontak kaget. Ia menyanyikannnya lirik tersebut dengan sepenuh hati. Bagaimana ia bisa tau bagian liriknya? 
            “suaramu bagus”, pujiku setelah dia mengakhiri lagu tersebut.
            “lagu itu mengingatkanku pada ‘dia’, lagu yang kunyanyikan dihadapannya saat ku tahu dia menerimaku sebagai kekasihnya. Saat aku mendapatkan dia sebagai hadiah terbaikku yang pernah ku dapatkan”., ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tahu yang dimaksud ‘dia’ olehnya adalah mantan kekasihnya. Mendengar itu semua membuatku begitu pilu dan iba. “tapi... tapi kenapa dia begitu tega? Kenapa dia tega berselingkuh? Apakah cintaku ini tidak lebih besar dari cintanya? Apakah kasih sayang yang kuberikan selama ini kurang? Aku benci wanita!!! Mereka semua pembohong!!!”.
            Benteng pertahanannya kini runtuh, buliran air yang bening meluncur indah di pipinya yang tirus. Air matanya seketika tumpah saat ia berteriak mengatakan Ia benci wanita. Ku ulurkan kedua tanganku memeluk pundaknya. Isakan demi isakan terus keluar seiring dengan air matanya yang membasahi bajuku. Pria ini benar-benar rapuh.
            “Terkadang apa yang kau pastikan belum tentu benar dimata wanita. Wanita tidak hanya membutuhkan cinta dan kasih sayang, mereka juga membutuhkan bagaimana cara pasangannya mencintainya, memanjakannya bak seorang putri raja. Jika kau menganggap semua wanita pembohong itu sama saja kau menghina Ibu mu sendiri karena biar bagaimana pun Beliau adalah seorang wanita dan satu lagi jangan pernah membenci wanita, kau tak akan mungkin dapat merasakan indahnya dunia ini jika tak ada wanita. Dan terakhir cinta tak dapat diukur, cinta hanya dapat dirasakan”, ucapku panjang lebar. Kuusap-usapkan rambut coklatnya yang acak-acakan mencoba meredamkan emosinya.                                                                         
             Setelah beberapa menit, ia menarik tubuhnya dari pelukanku. “thanks”, ucapnya sambil menyeka sisa-sisa air matanya.
             “sepertinya kita belum berkenalan, namaku Zayn”, sambungnya lagi sambil mengulurkan sebelah tangan kanannya, kuraih tangannya dan mengucapkan namaku “Aurora”.
            Bebrapa detik kita saling terdiam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kita masing-masing. “emm.. bagaimana dengan coklat hangatnya?”, ucap canggung mencoba keluar dari kesunyian. Zayn menggaruk-garukan belakang kepalanya yang diakhiri tawa hambarnya.                                            
           “emm.. maaf aku tidak jadi membuatnya setelah ku dengar dentingan piano, ku kira siapa yang memainkannya dan setelah ku lihat ternyata kau”        
            “oke baiklah.. kau harus beristirahat sekarang kau begitu terlihat kacau. Aku akan pulang sekarang. Good night”, ucapku mengakhiri pertemuan malam ini lebih tepatnya pertemuan pertama. Ku balikan badan hendak untuk kembali ke rumah tapi setelah beberapa langkah Justi memanggilku.                                                                    
            “Aurora?”, ku balikan tubuhku menghadap Zayn yang masih terduduk diam  
            “Apakah besok kau bisa menemaniku?”                                                      
            “tapi, bagaimana dengan pekerjaanku?”                                                  
            “aku akan bilang kepada bos mu, bagaimana?”                                        
           “baiklah, asal kau tidak membuatku kehilangan pekerjaan. Hahaha..”         
           “terima kasih... emm senang berkenalan dengan mu”, ucap Zayn yang diakhiri senyuman. Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum manawan. Senyuman yang indah dan tulus.                                                                                                                                                                            ***                                                                 
“apakah kau bisa melakukannya, menjauhi dirinya. Ku mohon lakukan itu demi aku, aku tahu aku memang salah tapi sungguh aku masih mencintainya dan aku yakin dia juga masih mencintaiku. Ku mohon menjauhlah darinya”
Cappucino yang baru saja masuk ke kerongkongan ku terasa begitu pahit di lidah setelah ku dengar perempuan dihadapanku ini memintaku untuk menjauhi Zayn. Perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah mantan kekasih Zayn, perempuan yang telah mencampakkan Zayn. Jessica, itulah namanya. Nama yang cantik seperti pemiliknya, pantas saja Zayn cinta mati dengannya. Sejak sebulan yang lalu saat Zayn meminta untuk menemaninya, kita mulai menjadi sahabat dan semakin dekat. sebulan ini pula ia selalu membicarakan mantan kekasihnya seperti masih terbayang-bayang oleh wanita yang dihadapanku sekarang ini. Mungkin ini saatnya untuk mempersatukan mereka walaupun hati ku ini harus menahan rasa sakit yang sangat-sangat menyakitkan. Aku tahu aku salah, karena telah jatuh cinta kepada orang yang tak bisa berhenti mencintai mantan kekasihnya.                                     
            “baiklah, aku akan melakukan itu tapi... ku mohon kepadamu untuk tidak melukai hatinya lagi. Bisakah kau melakukan itu?”                                                        “aku akan melakukannya, kau tenang saja dan terima kasih kau telah menuruti kemauanku”, ucapnya dengan nada yang manis sereya memelukku.                                                                                                ***                                                                 
            otakku terus saja mengingat-ingat kejadian yang baru saja ku lakukan di Cafe tadi siang. Kejadian yang paling bodoh yang pernah ku lakukan. Bagaimana tidak bodoh, aku membiarkan orang yang kucintai jatuh ke tangan orang lain, orang yang pernah menyakitinya. Egois jika aku memaksakan kehendakku itulah alasan kenapa aku rela membiarkan Jessica merebut Zayn karena biar bagaimanapun Zayn masih mencintainya.                                                                                                 
Drtt..drttt..drttt..
            ku ambil ponselku yang menimbulkan getaran. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak ku kenal. Saat ku baca pesannya kini ku tahu siapa pengirimnya. Jessica, dialah sang pemilik nomor ini.                                     
            Aurora, apakah kau tahu Zayn dimana sekarang? Aku pergi ke rumahnya tapi aku tidak menemuinya?.
             Kalimat itulah yang saat ini terpampang jelas dilayar ponselku. “sepertinya aku tahu dimana dia”. Jari-jari ku langsung mengetik nama sebuah tempat yang ku yakini Zayn berada disana. Setelah ku tekan tombol Send, aku langsung menggas taksiku menuju tempat yang kumaksud untuk memastikannya.
Taman Mawar Princess Grace                                                                               
         kakiku terus saja melangkah memasuki taman yang sebulan yang lalu kudatangi bersama Zayn. Dengan ditemani cahaya bulan aku melihat seorang pria yang sedang menunduk. Kedua tangannya ia letakkan di dengkulnya menyanggah kepalanya.                 
            “Zayn”, kupanggil namanya dan saat itu pula ia mengangkat kepalanya.      “Aurora”                                                                                                         
           “ternyata benar kau ada disini”                                                       
          “kenapa kau bisa tahu aku ada disini?”                                        
           “bukankah kau sendiri yang bilang kalau taman ini tempat favorit mu”                       
            “lalu, kenapa kau kemari?”                                                                               
            “aku mencari mu, pulanglah Jessica mengkhawatirkanmu”, wajahnya tampak lesu setelah aku menyebutkan nama gadis itu.                                                                 
            “kau tahu dia memintaku untuk kembali padanya?”
            “kenapa kau sedih, bukankah itu keinginanmu untuk menjadi miliknya lagi dan bukankah kau mencintainya”                     
            “ya aku memang mencintainya tapi itu dulu sebelum ku tahu ternyata yang kucintai bukan dia tetapi kau, Aurora”                                     
Apakah telingaku tak salah dengar, dia bilang dia mencintaiku. Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak, bagaimana mungkin Zayn jatuh cinta kepadaku, kepada supir taksi.                                                                                                             “kau salah Zayn, yang kau cintai itu bukan aku tapi Jessica, cintamu kepadaku hanyalah cinta sesaat tetapi cintamu kepada Jessica adalah cinta yang utuh”, ucapku seraya mengusap-usapkan sebelah kanan pipinya. Sementara Zayn hanya terdiam memandangiku lekat-lekat seperti tidak menyetujui argumentasiku. Tiba-tiba sebuah sinar terang terlihat memancarkan ke arah kami berdua. Ku sipitkan kedua mataku berusaha melihat kesumber cahaya tersebut. seorang wanita berdiri disana dan ku tahu dia adalah Jessica.                                                    
            “kau lihat wanita diujung sana, dia bagaikan seekor burung yang terlepas dari sangkarnya. Jika seekor burung yang terlepas pasti akan terbang jauh dan tak akan pernah kembali. Tapi dia berbeda, dia kembali dan itu artinya dia adalah burung termahal. Karena itu kembalilah padanya, kesempatan tidak datang dua kali”, ucapku dengan tegar berusaha payah menahan air mata untuk tidak turun dihadapan Zayn.  “baiklah, aku akan mengikuti apa yang kau mau. Tapi, ketahuilah cintaku ini tulus dan bukan cinta sesaat”, setelah kedua bibirnya mengucapkan kalimat yang terdengar ada sebuah penekanan disetiap kata yang ia keluarkan. Zayn langsung berlalu lalang meninggalkanku sendirian dan saat itu pula air mataku menetes. Sungguh, aku benar-benar bodoh.                                                                                                                                                                                                                                           ***                                                     
            2 minggu telah berlalu, setelah pertemuan malam itu ku putuskan untuk tidak menemui Zayn dan selama 2 minggu ini aku mencoba mengabaikan rasa cintaku kepada Zayn. Selama 2 minggu ini pula Zayn terus menghubungiku, meneleponku bagaikan seperti seorang minum obat. Pagi, siang, dan malam ia selalu mengirimkan pesan yang berisikan pesan yang sama memintaku untuk menemuinya. Rasa ingin bertemu dengannya terus saja menggerogoti hatiku yang pada kahirnya aku menerima ajakannya tersebut menemuinya ditempat terakhir kita bertemu. Jam tanganku telah menunjukan pukul 10 tepat dan itu artinya aku telah telat selama satu jam. Aku memang sengaja melakukan ini kerena aku hanya ingin mengetahui apakah Zayn benar-benar ingin menemuiku. Dan ketika ku tiba di taman itu, ku dapatkan seorang pria berjaket hoodie biru.                                                                       
            “Aurora”, ucpanya yang menyadari kehadiranku. Wajahnya masih tetap sama seperti 2 minggu yang lalu tetapi raut muka kini berbeda, ia terlihat lebih sumringah. “akhirnya kau datang juga”, ucapnya lagi dengan nada yang puas.
           “kenapa kau masih ada disini”, jawabku dengan nada sinis. 
           “karena aku tahu kau pasti akan datang”, tidak ada raut kekesalan diwajahnya yang ada hanya rasa senang ynag begitu dominan seperti mendapatkan harta karun
.          “aku tidak punya banyak waktu, jadi kau katakan saja apa yang mau kau katakan”                                 “baiklah, aku ingin menemuimu karena aku ingin memastikan kalau kau juga mencintaiku seperti aku yang mencintaimu”          
            “Haha... kau  memintaku menemuimu untuk membahas soal ini?, Zayn sudah ku bilang kalau aku tidak mencintaimu dan sudah berkali-kalu pula ku katakan cintamu kepada ku hanyalah cinta sesaat”    
          “kau bohong! , aku tahu tentang mu dan aku tahu kau juga mencintaiku. Katakan, katakan kalau kau juga mencintaiku”, ucap Zayn. Kedua tangannya memegang kedua lengan kananku memaksaku mengatakan apa yang ia pinta.
     “Tahu apa kau tentang ku? Kenapa kau keras kepala Zayn sudah ku bilang aku tak mencintaimu”, jawabku seraya menepis kedua tangannya yang masih menggantung dilenganku. Sementara hati ku terus meronta-ronta untuk bilang kepadanya bahwa aku benar-benar mencintainya.
        “aku tahu kau telah mencintaiku sejak kau memelukku ketika malam itu, ketika kau mengembalikan ponselku, ketika kau memandangiku kala itu dan pancaran matamu menyiratkan kalau kau mencintaiku...”  
          “sungguh, kau adalah orang yang sangat sok tahu yang pernah kutemui, aku memang memandangimu karena aku merasa kasihan kepadamu, kau seperti orang rapuh yang akan mati dihari itu”, dengan naada yang berteriak aku megucapkannya, memotong ucapan yang belom diselesaikan oleh Zayn.Ia menatapku dengan tatapan kecewa  
           “jika kau memang benar-benar tak mencintaiku, datanglah ke acara pertunanganku dengan Jessica”          
     “pertunangan? Kau dan Jessica?”                                                                        
     “Ku mohon datang lah besok, jika kau datang itu tandanya kau telah membuktikan ucapanmu”                                                                                                     
“kau bilang kau mencintaiku  tetapi kenapa kau menerima pertunagan ini. Haha.. konyol, kau benar-benar konyol!”                                                                                  
“maka dari itu, katakan kalau kau mencintaiku. Jika kau mengatakannya aku akan membatalkan pertunangan itu”                                                                    
           “kau gila Zayn!. Apakah kau tidak punya hati?. Jika kau melakukan itu itu sama saja kau menhancurkan 2 hati perempuan sekaligus. Dan ku pastikan aku akan datang besok”                                                                                                          
“aku akan tunggu kedatanganmu”                                                                                                                                                ***                                                                 
jika kau bilang aku ini pembohong, ya kau benar!                               
Aku telah membohongi perasaanku ini.                                      
Bagiku kau itu seperti sebuah piano yang berwarna hitam dan putih          
 putih mu membuatku berharap kau pasti akan kembali kepadaku tapi
 hitam mu itu membuat harapan itu palsu saat kau bilang kau akan bertunangan....
walaupun mata ini tidak meneteskan air mata ketika kau mengatakan itu
tapi ketahuilah hati ini menangis, menangisi kenyataan pahit yang harus kuterima...                                                                              
mungkin peryataan cinta ini telah terlambat tapi kau harus tahu bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu, Zayn Jawadd Malik...
            -Aurora –

            Sepertinya taman ini telah menjadi tempat fovoritku, 30 menit sudah aku melamun di taman ini. Mengingat-ingat kembali pada saat Zayn membawa ku ketaman ini untuk pertama kalinya. Tapi sekarang mungkin dia telah bertunangan. Aku telah membuktikan ucapanku yaitu datang ke tempat pertungannya. Aku kesana bukan untuk melihat acara pertunangannya melainkan hanya untuk memberikan sebuah surat yang berisikan curahan hatiku yang tak sanggup kuucapkan secara langsung dihadapan Zayn.
            “Aurora”, ku balikan tumbuhku ke sumber suara yangmeneriaki namaku dan kulihat seorang diujung sana memakai Toxedo berwarna hitam. Pria dengan jambul keemasan yang selalu menghiasi kepalanya.     Dengan wajah yang sumringah ia berlari mendektai ku.                                                                                 
  “Zayn?, kenapa kau ada disini?”, tanyaku bingung bukankah seharusnya ia berda ditempat pertunangannya.                                                                                          
            “aku mencari calon tunanganku”, jawab Zayn yang semkin membuatku bingung. 
            “kau akan bertunangan ditaman ini, di tempat favorit mu?”, tanyaku lagi dan ku lihat ia menganggukan kepalanya.                                                                    
     “lalu dimana Jessica? Kenapa dia tidak datang bersama mu?”                                  

“ya aku akan bertunangan di taman ini tetapi bukan dengan Jessica melainkan denganmu, Miss Aurora izinkanlah aku Zayn Javad Malik untuk memasangkan cincin ini dijarimu”, ucapan Zayn membuatku benar-benar tersontak kaget dan tanpa persetujuan dari ku ia langsung mengangkat tangan kananku memasangkan cincin itu ke jari manisku. Dan tanpa diperintahkan air mataku menetes, air mata kebahagian. Aku tak percaya Zayn akan melakukan ini, melamarku di tempat favorite kita berdua. This is the greatest prize i ever had.     

-THE END-

*hanya saran, jika membaca cerpen ini cobalah sambil mendengarkan lagu Cinta Datang terlambat – Maudy Ayunda dan The Greatest Prize – Natt & Alex Wolf*