Monte
Carlo, Monaco
“Zayn tunggu!. Dengarkan penjelasanku!, kau salah paham Zayn!”
“Apa kau
bilang?, aku salah paham!. Kau yang salah Jess, kau sudah berselingkuh dengan
pria bajingan itu!. aku sudah lelah dibohongi terus, lebih baik kita akhiri
hubungan kita dan mulai detik ini jangan pernah hubungi ku lagi”
Bukkk...
Dentuman pintu
taksiku terdengar jelas ditelingaku, seseorang pria yang ku ketahui bernama Zayn
menaiki taksiku dan menutup pintu taksi ini dengan amat kasar. Rasa emosi yang
meluap-luap memenuhi di wajah merah padamnya. Sebutir air bening diujung
matanya turun mulus melewati pipinya.
You were my
summer Love... you always will be my summer Love...
Sedetik
kemudian suara ringtone ponselnya terdengar nyaring dan ku tahu pasti itu
adalah telepon dari wanita yang baru saja berubah status menjadi single. Ia
melemparkankan ponselnya ke sebelah taksi, membiarkan panggilan yang terus
berulang-ulang.
“Aku ini bukan pembunuh atau buronan
yang sedang dicari polisi jadi berhentilah menatap ku seperti itu!”.
“sial!
Aku tertangkap basah”, pekik ku dalam hati.
Hentakan
suaranya yang terdengar dari penumpang taksi dibelakangku mengagetkanku. Sontak
saja mataku langsung menatap jalan dan kembali fokus mengedarai taksi.
“Maaf
Tuan, sekarang kita mau kemana?”, tanyaku dengan nada lembut mencoba untuk
mengalihkan ucapan dia yang sebelumnya. Kulihat ia menarik napas dalam-dalam
dan menghembuskannya berlahan-lahan. Tuhan, kenapa mata ini terus saja ingin
menatapnya.
“antarkan
aku ke Bartlett Street”
Ku
anggukan kepalaku tanda mengerti. Suara yang ia keluarkan amat berbeda dengan
suara sebelumnya, lebih lembut dan tak dibumbui oleh rasa emosi. Ku gas taksi
yang ku kendarai untuk menuju jalan yang dimaksud oleh pria tersebut. jalan
yang ku ketahui tidak jauh dari tempat aku berada.
***
Tanpa
kusadari taksi yang ku kendarai sudah tepat di jalan Bartlett. Pria tersebut
memberikan beberapa lembar uang dan tanpa sepatah kata pun ia langsung turun
dari taksi ku. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan penumpang ku yang
sedang bersedih hati. Selama aku menjadi supir taksi, ini pertama kalinya aku
melihat seorang pria menangis di taksiku. Biasanya wanita-wanita cantik yang
menumpahkan air mata di dalam taksiku tapi kali ini sangat bertolak belakang.
Pria berjambul coklat hitam itu terus saja meneteskan air mata dari kedua mata
hitamnya. Sepertinya ia sangat mencintai mantan kekasihnya yang baru ia
putuskan. Rasanya aneh, bukankah Monaco itu kota teromantis walaupun tak
seromantis kota Paris tapi kenapa masih saja ada orang yang berselingkuh.
Sungguh kasihan dia!.
You were my
summer Love... you always will be my summer Love...
“Bukankah itu
bunyi ponsel pria tadi?”, ucapku bingung kenapa bisa terdengar ringtone
ponselnya padahal ia baru saja turun 10 menit yang lalu. Semakin lama kudengar
semakin kencang bunyi ponsel tersebut dan saat ku tengokan kepala ku ke tempat
pria itu duduk dan Yap! Benar saja ponselnya tertinggal di taksiku.
“Dasar
ceoboh!”, umpatku
***
Tok...Tok..
Tok..
Ku
ketuk pintu dengan dinding berwarna putih, malam ini kuputuskan untuk
mengembalikan ponselnya. Sudah berkali-kali ku ketuk pintunya tetapi sepertinya
rumah ini kosong tak ada penghuninya. Rasa bosan telah muncul di benakku. Bosan
menunggu penghuni rumah yang tak kunjung membukakan pintu.
“siapa?”
Tiba-tiba
kata pertanyaan itu terdengar ketika aku hendak melangkahkan kaki ku untuk
meninggalkan rumah pria yang tadi siang ku temui. Saat kubalikan badanku,
kudapatkan seorang pria yang bermata lembab. Rambutnya yang tadi pagi disisr
rapi kini tampak berantakan. Wajahnya yang tadi siang berwarna merah padam kini
berubah menjadi seorang yang amat frustasi. Ia tampak seperti orang yang
tersesat yang kehilangan arah. Ku langkahkan kaki ku mendekatinya.
“aku ingin mengembalikan ini”,
ucapku memulai pembicaraan dengan nada yang canggung seraya menyerahkan banda
pipih berwarna hitam. Ia menatap bingung kearah ku, mengerutkan keningnya dan
membuat kedua alis tebalnya hampir menyatu. Tangan kananya mulai ia ulurkan
untuk mengambil benda miliknya. Kerutan dikeningnya kini telah digantikan oleh
rasa kebingungan yang memuncak.
“ini seperti ponselku?, ucapnya
dengan nada bingung.
“iya itu memang punya mu”
“lalu,
kenapa bisa ada dikamu? Kau mencurinya!”
“Sial!
Apa-apaan dia, seenaknya saja menuduh orang. Sepertinya keputusanku
mengembalikan ponselnya lebih baik tak usah di kembalikan. Dasar pria
nyebeliin!” , umpatku di dalam hati yang didongkol.
“aku tidak mencurinya, kau sendiri
yang meninggalkannya di taksiku. Kalaupun aku mencurinya, aku tak perlu
bersusah payah untuk mengembalikannya kepada pemiliknya!”
“tunggu,
tadi kau bilang aku meninggalkannya di taksimu? Jadi, kau ini supir taksi?”
“ya,
memangnya kenapa? Kau lupa akulah yang mengantarkanmu pulang tadi siang”
“emm.. maaf aku tidak ingat”
Aneh sekali,
masa dia tidak ingat. Apakah efek dari patah hati membuat kita lupa ingatan?, kurasa
tidak tapi kenapa dia tidak ingat?
“oke tak masalah, emm... kau
terlihat tak enak badan lebih baik kau istirahat, aku akan pulang”. Hatiku
terus saja memaksaku untuk mengeluarkan kalimat itu dari mulutku. Kalimat yang
sekaligus mengakhiri pembicaraan.
“Tunggu!”,
serunya yang memberhentikan langkahku.
“masuklah aku akan membuatkan coklat
hangat sebagai ucapan maaf ku telah menuduhmu yang tidak-tidak”
“baiklah, sepertinya satu cangkir
coklat hangat dapat menghangatkan tubuhku yang memulai membeku menunggumu yang
amat lama membukakan pintu”, keluhku dengan diakhiri tawa yang hambar dan saat
itu pula ia tersenyum tipis kearahku.
***
Kaki ku mulai memasuki rumah yang
luasnya mungkin 3 kali dari luas rumahku. Ku amati barang-barang yang ada
dihadapan mata. Semuanya tertata rapi dan banyak sekali foto-foto yang
berpajangan didinding bercat putih susu. Foto pria tersebut dengan wanita yang kurasa mantan kekasihnya
yang baru ia putuskan tadi siang.
“Kau tunggu disini, aku akan kembali”,
kuanggukan kepalaku setelah kalimat perintah yang terdengar dari mulutnya.
Mataku terus menyapu seisi ruangan
dan berhenti tepat dipojok ruangan. Benda yang ada diujung sana merayuku untuk
mendekatinya. Kusentuh benda berwarna hitam dan putih sehingga menimbulkan
dentingan bunyi khas piano. Tanpa kusadari jari-jari ku telah menciptakan
dentingan nada-nada yang indah dari sebuah lagu yang sangat femiliar untuk ku. The
greatest prize sebuah lagu yang amat ku sukai, lagu yang memiliki makna
yang begitu dalam. Seperti terhipnotis aku larut dalam nada-nada yang
tertangkap oleh gendang telingaku.
“I never look away I never in this
place You’re standing here and I can see your face. Ohh.. i won the greatest
prize. Ohh.. I’m in my paradise..”
Tiba-tiba suara
diujung sana membuatku tersontak kaget. Ia menyanyikannnya lirik tersebut
dengan sepenuh hati. Bagaimana ia bisa tau bagian liriknya?
“suaramu bagus”, pujiku setelah dia
mengakhiri lagu tersebut.
“lagu itu mengingatkanku pada ‘dia’,
lagu yang kunyanyikan dihadapannya saat ku tahu dia menerimaku sebagai
kekasihnya. Saat aku mendapatkan dia sebagai hadiah terbaikku yang pernah ku
dapatkan”., ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tahu yang dimaksud ‘dia’
olehnya adalah mantan kekasihnya. Mendengar itu semua membuatku begitu pilu dan
iba. “tapi... tapi kenapa dia begitu tega?
Kenapa dia tega berselingkuh? Apakah cintaku ini tidak lebih besar dari
cintanya? Apakah kasih sayang yang kuberikan selama ini kurang? Aku benci
wanita!!! Mereka semua pembohong!!!”.
Benteng pertahanannya kini runtuh,
buliran air yang bening meluncur indah di pipinya yang tirus. Air matanya
seketika tumpah saat ia berteriak mengatakan Ia benci wanita. Ku ulurkan kedua
tanganku memeluk pundaknya. Isakan demi isakan terus keluar seiring dengan air
matanya yang membasahi bajuku. Pria ini benar-benar rapuh.
“Terkadang apa yang kau pastikan
belum tentu benar dimata wanita. Wanita tidak hanya membutuhkan cinta dan kasih
sayang, mereka juga membutuhkan bagaimana cara pasangannya mencintainya,
memanjakannya bak seorang putri raja. Jika kau menganggap semua wanita
pembohong itu sama saja kau menghina Ibu mu sendiri karena biar bagaimana pun
Beliau adalah seorang wanita dan satu lagi jangan pernah membenci wanita, kau
tak akan mungkin dapat merasakan indahnya dunia ini jika tak ada wanita. Dan
terakhir cinta tak dapat diukur, cinta hanya dapat dirasakan”, ucapku panjang
lebar. Kuusap-usapkan rambut coklatnya yang acak-acakan mencoba meredamkan
emosinya.
Setelah
beberapa menit, ia menarik tubuhnya dari pelukanku. “thanks”, ucapnya sambil
menyeka sisa-sisa air matanya.
“sepertinya kita belum berkenalan, namaku Zayn”,
sambungnya lagi sambil mengulurkan sebelah tangan kanannya, kuraih tangannya
dan mengucapkan namaku “Aurora”.
Bebrapa detik kita saling terdiam,
tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kita masing-masing. “emm..
bagaimana dengan coklat hangatnya?”, ucap canggung mencoba keluar dari
kesunyian. Zayn menggaruk-garukan belakang kepalanya yang diakhiri tawa
hambarnya.
“emm.. maaf aku tidak jadi
membuatnya setelah ku dengar dentingan piano, ku kira siapa yang memainkannya
dan setelah ku lihat ternyata kau”
“oke baiklah.. kau harus
beristirahat sekarang kau begitu terlihat kacau. Aku akan pulang sekarang.
Good night”, ucapku mengakhiri pertemuan malam ini lebih tepatnya pertemuan
pertama. Ku balikan badan hendak untuk kembali ke rumah tapi setelah beberapa
langkah Justi memanggilku.
“Aurora?”, ku balikan tubuhku
menghadap Zayn yang masih terduduk diam
“Apakah
besok kau bisa menemaniku?”
“tapi,
bagaimana dengan pekerjaanku?”
“aku
akan bilang kepada bos mu, bagaimana?”
“baiklah, asal kau tidak membuatku
kehilangan pekerjaan. Hahaha..”
“terima
kasih... emm senang berkenalan dengan mu”, ucap Zayn yang diakhiri senyuman.
Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum manawan. Senyuman yang indah dan
tulus. ***
“apakah kau
bisa melakukannya, menjauhi dirinya. Ku mohon lakukan itu demi aku, aku tahu
aku memang salah tapi sungguh aku masih mencintainya dan aku yakin dia juga
masih mencintaiku. Ku mohon menjauhlah darinya”
Cappucino yang
baru saja masuk ke kerongkongan ku terasa begitu pahit di lidah setelah ku
dengar perempuan dihadapanku ini memintaku untuk menjauhi Zayn. Perempuan yang
tak lain dan tak bukan adalah mantan kekasih Zayn, perempuan yang telah
mencampakkan Zayn. Jessica, itulah namanya. Nama yang cantik seperti
pemiliknya, pantas saja Zayn cinta mati dengannya. Sejak sebulan yang lalu saat
Zayn meminta untuk menemaninya, kita mulai menjadi sahabat dan semakin dekat.
sebulan ini pula ia selalu membicarakan mantan kekasihnya seperti masih
terbayang-bayang oleh wanita yang dihadapanku sekarang ini. Mungkin ini saatnya
untuk mempersatukan mereka walaupun hati ku ini harus menahan rasa sakit yang
sangat-sangat menyakitkan. Aku tahu aku salah, karena telah jatuh cinta
kepada orang yang tak bisa berhenti mencintai mantan kekasihnya.
“baiklah, aku akan melakukan itu
tapi... ku mohon kepadamu untuk tidak melukai hatinya lagi. Bisakah kau melakukan
itu?” “aku
akan melakukannya, kau tenang saja dan terima kasih kau telah menuruti
kemauanku”, ucapnya dengan nada yang manis sereya memelukku. ***
otakku terus saja mengingat-ingat
kejadian yang baru saja ku lakukan di Cafe tadi siang. Kejadian yang paling
bodoh yang pernah ku lakukan. Bagaimana tidak bodoh, aku membiarkan orang yang
kucintai jatuh ke tangan orang lain, orang yang pernah menyakitinya. Egois jika
aku memaksakan kehendakku itulah alasan kenapa aku rela membiarkan Jessica
merebut Zayn karena biar bagaimanapun Zayn masih mencintainya.
Drtt..drttt..drttt..
ku
ambil ponselku yang menimbulkan getaran. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak
ku kenal. Saat ku baca pesannya kini ku tahu siapa pengirimnya. Jessica, dialah
sang pemilik nomor ini.
Aurora, apakah kau tahu Zayn
dimana sekarang? Aku pergi ke rumahnya tapi aku tidak menemuinya?.
Kalimat itulah yang saat ini terpampang jelas
dilayar ponselku. “sepertinya aku tahu dimana dia”. Jari-jari ku langsung
mengetik nama sebuah tempat yang ku yakini Zayn berada disana. Setelah ku tekan
tombol Send, aku langsung menggas taksiku menuju tempat yang kumaksud
untuk memastikannya.
Taman Mawar
Princess Grace
kakiku
terus saja melangkah memasuki taman yang sebulan yang lalu kudatangi bersama Zayn.
Dengan ditemani cahaya bulan aku melihat seorang pria yang sedang menunduk.
Kedua tangannya ia letakkan di dengkulnya menyanggah kepalanya.
“Zayn”, kupanggil namanya dan saat
itu pula ia mengangkat kepalanya. “Aurora”
“ternyata
benar kau ada disini”
“kenapa
kau bisa tahu aku ada disini?”
“bukankah kau sendiri yang bilang kalau taman
ini tempat favorit mu”
“lalu, kenapa kau kemari?”
“aku
mencari mu, pulanglah Jessica mengkhawatirkanmu”, wajahnya tampak lesu setelah
aku menyebutkan nama gadis itu.
“kau tahu dia memintaku untuk
kembali padanya?”
“kenapa kau sedih, bukankah itu
keinginanmu untuk menjadi miliknya lagi dan bukankah kau mencintainya”
“ya aku memang mencintainya tapi itu
dulu sebelum ku tahu ternyata yang kucintai bukan dia tetapi kau, Aurora”
Apakah
telingaku tak salah dengar, dia bilang dia mencintaiku. Rasanya aku ingin
tertawa terbahak-bahak, bagaimana mungkin Zayn jatuh cinta kepadaku, kepada
supir taksi. “kau
salah Zayn, yang kau cintai itu bukan aku tapi Jessica, cintamu kepadaku
hanyalah cinta sesaat tetapi cintamu kepada Jessica adalah cinta yang utuh”,
ucapku seraya mengusap-usapkan sebelah kanan pipinya. Sementara Zayn hanya
terdiam memandangiku lekat-lekat seperti tidak menyetujui argumentasiku. Tiba-tiba
sebuah sinar terang terlihat memancarkan ke arah kami berdua. Ku sipitkan kedua
mataku berusaha melihat kesumber cahaya tersebut. seorang wanita berdiri disana
dan ku tahu dia adalah Jessica.
“kau lihat wanita diujung sana, dia
bagaikan seekor burung yang terlepas dari sangkarnya. Jika seekor burung yang
terlepas pasti akan terbang jauh dan tak akan pernah kembali. Tapi dia berbeda,
dia kembali dan itu artinya dia adalah burung termahal. Karena itu kembalilah
padanya, kesempatan tidak datang dua kali”, ucapku dengan tegar berusaha payah
menahan air mata untuk tidak turun dihadapan Zayn. “baiklah, aku akan mengikuti apa yang kau mau. Tapi, ketahuilah
cintaku ini tulus dan bukan cinta sesaat”, setelah kedua bibirnya mengucapkan
kalimat yang terdengar ada sebuah penekanan disetiap kata yang ia keluarkan. Zayn
langsung berlalu lalang meninggalkanku sendirian dan saat itu pula air mataku
menetes. Sungguh, aku benar-benar bodoh. ***
2 minggu telah berlalu, setelah
pertemuan malam itu ku putuskan untuk tidak menemui Zayn dan selama 2 minggu
ini aku mencoba mengabaikan rasa cintaku kepada Zayn. Selama 2 minggu ini pula Zayn
terus menghubungiku, meneleponku bagaikan seperti seorang minum obat. Pagi,
siang, dan malam ia selalu mengirimkan pesan yang berisikan pesan yang sama
memintaku untuk menemuinya. Rasa ingin bertemu dengannya terus saja
menggerogoti hatiku yang pada kahirnya aku menerima ajakannya tersebut
menemuinya ditempat terakhir kita bertemu. Jam tanganku telah menunjukan pukul
10 tepat dan itu artinya aku telah telat selama satu jam. Aku memang sengaja
melakukan ini kerena aku hanya ingin mengetahui apakah Zayn benar-benar ingin
menemuiku. Dan ketika ku tiba di taman itu, ku dapatkan seorang pria berjaket
hoodie biru.
“Aurora”, ucpanya yang menyadari
kehadiranku. Wajahnya masih tetap sama seperti 2 minggu yang lalu tetapi raut
muka kini berbeda, ia terlihat lebih sumringah. “akhirnya
kau datang juga”, ucapnya lagi dengan nada yang puas.
“kenapa kau masih ada disini”, jawabku dengan nada sinis.
“karena
aku tahu kau pasti akan datang”, tidak ada raut kekesalan diwajahnya yang ada
hanya rasa senang ynag begitu dominan seperti mendapatkan harta karun
. “aku tidak punya banyak waktu, jadi
kau katakan saja apa yang mau kau katakan” “baiklah,
aku ingin menemuimu karena aku ingin memastikan kalau kau juga mencintaiku seperti
aku yang mencintaimu”
“Haha... kau memintaku menemuimu untuk membahas soal ini?, Zayn
sudah ku bilang kalau aku tidak mencintaimu dan sudah berkali-kalu pula ku
katakan cintamu kepada ku hanyalah cinta sesaat”
“kau
bohong! , aku tahu tentang mu dan aku tahu kau juga mencintaiku. Katakan,
katakan kalau kau juga mencintaiku”, ucap Zayn. Kedua tangannya memegang kedua
lengan kananku memaksaku mengatakan apa yang ia pinta.
“Tahu apa kau tentang ku? Kenapa kau keras kepala Zayn sudah ku
bilang aku tak mencintaimu”, jawabku seraya menepis kedua tangannya yang masih
menggantung dilenganku. Sementara hati ku terus meronta-ronta untuk bilang
kepadanya bahwa aku benar-benar mencintainya.
“aku tahu kau telah mencintaiku
sejak kau memelukku ketika malam itu, ketika kau mengembalikan ponselku, ketika
kau memandangiku kala itu dan pancaran matamu menyiratkan kalau kau
mencintaiku...”
“sungguh,
kau adalah orang yang sangat sok tahu yang pernah kutemui, aku memang
memandangimu karena aku merasa kasihan kepadamu, kau seperti orang rapuh yang
akan mati dihari itu”, dengan naada yang berteriak aku megucapkannya, memotong
ucapan yang belom diselesaikan oleh Zayn.Ia menatapku dengan tatapan kecewa
“jika
kau memang benar-benar tak mencintaiku, datanglah ke acara pertunanganku dengan
Jessica”
“pertunangan? Kau dan Jessica?”
“Ku
mohon datang lah besok, jika kau datang itu tandanya kau telah membuktikan
ucapanmu”
“kau
bilang kau mencintaiku tetapi kenapa kau
menerima pertunagan ini. Haha.. konyol, kau benar-benar konyol!”
“maka
dari itu, katakan kalau kau mencintaiku. Jika kau mengatakannya aku akan membatalkan
pertunangan itu”
“kau
gila Zayn!. Apakah kau tidak punya hati?. Jika kau melakukan itu itu sama saja
kau menhancurkan 2 hati perempuan sekaligus. Dan ku pastikan aku akan datang
besok”
“aku akan
tunggu kedatanganmu” ***
jika kau
bilang aku ini pembohong, ya kau benar!
Aku telah membohongi
perasaanku ini.
Bagiku kau itu
seperti sebuah piano yang berwarna hitam dan putih
putih mu membuatku berharap kau pasti akan
kembali kepadaku tapi
hitam mu itu membuat harapan itu palsu saat
kau bilang kau akan bertunangan....
walaupun mata
ini tidak meneteskan air mata ketika kau mengatakan itu
tapi
ketahuilah hati ini menangis, menangisi kenyataan pahit yang harus kuterima...
mungkin peryataan
cinta ini telah terlambat tapi kau harus tahu bahwa aku telah jatuh cinta
kepadamu, Zayn Jawadd Malik...
-Aurora
–
Sepertinya
taman ini telah menjadi tempat fovoritku, 30 menit sudah aku melamun di taman
ini. Mengingat-ingat kembali pada saat Zayn membawa ku ketaman ini untuk
pertama kalinya. Tapi sekarang mungkin dia telah bertunangan. Aku telah
membuktikan ucapanku yaitu datang ke tempat pertungannya. Aku kesana bukan
untuk melihat acara pertunangannya melainkan hanya untuk memberikan sebuah
surat yang berisikan curahan hatiku yang tak sanggup kuucapkan secara langsung
dihadapan Zayn.
“Aurora”,
ku balikan tumbuhku ke sumber suara yangmeneriaki namaku dan kulihat seorang
diujung sana memakai Toxedo berwarna hitam. Pria dengan jambul keemasan yang
selalu menghiasi kepalanya. Dengan
wajah yang sumringah ia berlari mendektai ku.
“Zayn?, kenapa kau ada
disini?”, tanyaku bingung bukankah seharusnya ia berda ditempat pertunangannya.
“aku
mencari calon tunanganku”, jawab Zayn yang semkin membuatku bingung.
“kau akan
bertunangan ditaman ini, di tempat favorit mu?”, tanyaku lagi dan ku lihat ia menganggukan
kepalanya.
“lalu
dimana Jessica? Kenapa dia tidak datang bersama mu?”
“ya aku akan bertunangan di taman
ini tetapi bukan dengan Jessica melainkan denganmu, Miss Aurora izinkanlah aku Zayn
Javad Malik untuk memasangkan cincin ini dijarimu”, ucapan Zayn membuatku
benar-benar tersontak kaget dan tanpa persetujuan dari ku ia langsung
mengangkat tangan kananku memasangkan cincin itu ke jari manisku. Dan tanpa
diperintahkan air mataku menetes, air mata kebahagian. Aku tak percaya Zayn
akan melakukan ini, melamarku di tempat favorite kita berdua. This is the
greatest prize i ever had.
-THE END-
*hanya saran, jika membaca cerpen ini cobalah sambil
mendengarkan lagu Cinta Datang terlambat – Maudy Ayunda dan The Greatest Prize –
Natt & Alex Wolf*