“Jika kau bilang cinta itu manis kau benar,
Manis ketika kau berada didekat ku,
Jika kau bilang cinta itu masam kau pun benar,
Masam ketika kau mencoba mendekatinya,
Jika kau bilang cinta itu pahit kau juga benar,
Pahit ketika ku tahu kau telah menjadi miliknya.”
Dia bodoh. Dia selalu membuat
onar dan setiap guru yang mengajar dia selalu saja dimarahi seakan-akan sudah
menjadi kebiasaan bagi guru-guru untuk memarahinya. Dia orang yang pernah ku
benci. Tapi tak tahu mengapa aku mencintainya. Benar kata orang, benci dan
cinta itu beda tipis. Sejak semester dua, dia pindah duduk di depan tempat
duduk ku. Awalnya aku merasa risih duduk berhadapan dengannya tapi, lama
kelamaan kita menjadi dekat. Aku memanggilnya Zio. Dan sejak aku dekat dengannya,
argumentasiku ternyata salah. Dia tidak seburuk dari yang kukira. Dibalik
wajahnya yang selalu menunduk saat guru memarahinya tapi ia memiliki kemauan
yang besar untuk menjadi yang lebih baik.
Suatu hari seorang guru memarahinya
didepan anak murid yang lain. Guru bahasa inggris itu merendahkan Zio dan saat
itu pula wajah merah padamnya terlihat di wajahnya yang sedang menahan emosi
kedua tangannya menggenggam erat.
“kau
ini kenapa bodoh dekali, masa baca story telling masih acak-acakkan, bahkan anak
SD pun lebih baik dengan mu”
Kalimat yang menusuk itu terlontar
dari mulut seorang pria berkumis tebal yang tak lain adalah Mr. Robin guru
bahasa Inggris . Zio menatap guru kejam itu dengan tatapan mematikan. Buku-buku
tangannya terlihat jelas seperti ingin menonjok sang guru. Untung emosinya
masih dapat diredamkan. Anak-anak yang lain terdiam dan menatap Zio lirih dengan tatapan mata yang iba.
“baik, saya akan buktikan kalo saya
tak sebodoh yang Bapak bilang dan jika saya tak berhasil membuktikannya saya
rela nilai Bahasa Inggris saya mendapatkan nilai nol dirapot saya”
Aku terpaku mendengarnya, tak ku
sangka Zio dapat mengucapkan kalimat itu. kalimat yang diucapkan dengan
menggebu-gebu. Kedua tangannya tak lagi mengenggem erat melainkan menunjuk-nunjuk
dirinya tepat didadanya saat ia mengucapkan kata ‘SAYA’.
Sama halnya dengan anak-anak lain,
bola mata mereka melotot seperti ingin keluar dari kelopak mata. Sang guru pun
ikut kaget, kedua mata nya menatap muridnya yang berambut hitam pekat yang baru
saja mengucapkan kalimat yang tak pernah ia sangka akan keluar dari mulut bocah
laki-laki itu.
“sepertinya ini akan menjadi
perang dunia ke tiga. Guru Vs Murid”, pikir ku dalam hati sambil bergidik
ngeri membayangkannya.
“oke, akan Bapak tunggu pembuktianmu
dan jika kau berhasil Bapak akan memberikan nilai seratus dirapotmu TAPI, jika
kau tidak berhasil ucapanmu akan Bapak turuti menulis angka nol dirapot mu.
Bapak beri waktu selama dua minggu”
Ada sedikit penekanan disetiap kata
yang dikeluarkan oleh sang Guru. Setelah ia mengucapkan kalimat yang
benar-benar mematikan itu ia berlalu lalang meninggalkan kelas.
Saat ku ketahui guru kejam itu telah
pergi jauh, aku langsung mencolek pundak Zio. Beberapa kali ku colek tapi Zio
tetap saja tak meu menolah sehingga ku putuskan ke mejanya. Ku lihat wajahnya
yang bersawo matang, kedua matangnya menatap kosong dan dapat kupastikan ia
sedang memikirkan kelakuan bodohnya yang baru saja ia lakukan. Ku
kibas-kibaskan tanganku di depan wajahnya dan apa yang kulakuan itu berhasil
membuatnya tersadar dari lamunnannya.
“Zio, kenapa lo ngelakuin ini pake
bilang mau ngebuktiin segala”
“gue bilang kaya gitu, karena
gue ga mau terus-terusan jadi bulan-bulanan guru, selalu mgerendahin gue. Emang
lo pikir enak direndahin terus sama si ‘Kumis Tebal’ dan guru-guru lainnya?”
“ya, tentu aja ga enak. Tapi ga gitu
juga caranya pake bilang ngasih nilai nol, malah waktunya dua minggu, dua
minggu itu cepet banget Ziooooo...”
Ucapku yang dibumbui dengan rasa
geregetan, geregetan menghadapai kelakuan cowok yang dihadapanku. Rasanya ingin
melemparkannya ke kutub utara. Otakku dibuat bingung oleh kelakuan cerobohnya,
memikirkan bagaimana memecahkan permasalahan ini.
“Via”
Tiba-tiba seseorang menyebutkan
namaku dengan frekuensi amat rendah dan hampir tak terdengar. Aku langsung
menolah kearah Zio, karena ku tahu dia lah sang pemilik suara itu dan yang
lebih meyakinkan suara itu miliknya karena ia selalu memanggilku ‘Via’, berbeda
dengan teman-temanku yang lain yang selalu memanggilku ‘Sovi’ atau ‘Sovia’.
“Via, gue boleh minta tolong ga?”
“apa?”
“gimana kalo lo ngajarin bahasa
inggris ke gue selama dua minggu”
“kenapa harus gue?”
“karena lo, udah gue anggep sahabat
gue, lagi pula bahasa Inggris lo kan bagus. Plisss ajarin gue”
Ku tatap kedua bola matanya yang
seakan-akan sedang memohon, telapak tangannya ia satukan di depan wajahnya. Aku
pun tak kuasa menatapnya dan kata ‘Baiklah’ langsung keluar dari mulutku.
“baiklah, gue mau bantuin lo tapi
kalo gagal gimana? Lo ga bakal nyalahin gue kan?”
“jangan bilang gagal kalau kita belum
mencoba, inget kata idola lo, ‘NEVER SAY NEVER’”
Wajahnya kini telah digantikan
dengan raut muka ceria, senyumnya terus menghiasi kala ia mengucapkan kata
penyemangat itu.
“tapi, waktunya kan dua minggu?
Kira-kira lo punya ide gitu?”
Zio meggelengkan kepalanya beberapa
kali.
“gimana kalo lo nyanyi pake bahasa
inggris, gue yakin lo bisa dan dua minggu itu waktu yang cukup untuk ngapalin
lirik serta nadanya. Lebih baik lo cari judul lagu yang mau lo nyayiin setelah
itu kita akan mulai latihannya tiga kali seminggu sehabis pulang sekolah.
Gimana setuju?”
Ku jelaskan ideku yang muncul secara
tiba-tiba dengan panjang lebar agar ia mengerti apa yang ku maksud.
“oke deh, besok kita mulai latihannya”
Ku anggukan kepalaku sebagai tanda
persetujuan.
***
Keesokan harinya...
“Viaaaaaa.....”
Seruan namaku terdengar begitu
kencang dari arah pintu kelas dan kulihat Zio dengan wajah bersemangat
menggendong tas punggungnya.
“Gue udah nemuin lagu yang cocok
untuk gue nyanyiin”
Zio mengucapkannya dengan satu
napas. Ia tak langsung duduk ditempat duduknya melainkan berdiri disamping
bangku ku. Aku yang sedang duduk mengadahkan kepala ku untuk melihatnya yang lebih tinggi dari ku.
“apa?”, tanyaku tanpa ekspresi
“Just The Way You Are Bruno Mars”
“yakin mau nyanyi itu?”
“ya, gue yakin?”
“oke kita latihan pas pulang
sekolah”
Setelah ku ucapkan kalimat iru,
senyum sumringahnya langsung terlihat. Ia mencubit pipiku gemas.
“Makasih Via lo temen gue yang
paliiiiiinggg baik”
Dengan refleks telapak tangan ku
langsung mengelus pipiku.
***
Bel berbunyi panjang yang menandakan
waktumya pulang. Semua murid keluar kelas seperti tak sabar untuk sampai ke
rumah. Dan menyisakan aku dan Zio. Perasaan risih karena hanya kita berdua yang
dikelas langsung muncul, tapi tak tahu mengapa aku merasa senang.
“coba lo tulis lirik lagunya, habis
itu lo nyanyiin”
Dia langsung mengikuti instruksiku,
jari telunjuknya bergesekan dengan hapenya yang mencari lirik lagu Bruno Mars.
Saat ia telah selesai menulis ia langsung menyanyikannya. Rasa ingin tertawa
muncul kala ia selesai menyanyikannya. Benar-benar buruk, nada yang salah
terdengar dimana-mana dan yang benar-benar buruk yaitu saat ia mengucapkan kosakata
bahasa inggrisnya.
“coba deh lo baca liriknya tiap bait,
tapi ga usah pake nada baca biasa aja”
Ucapku seraya memerintah dan ia pun
langsung mengikutinya.
“ohh... her ha-ir her ha-ir...”
“itu dibacanya heir bukan hair, coba
ulangi lagi”
Dia terus mengulangi kata-kata yang
salah dengan yang kubenarkan. Terlihat sekali rasa semangatnya untuk latihan.
Semangat untuk membuktikan bahwa dia bisa.
***
Semenjak hari latihan pertama Zio
selalu menawarkanku untuk diantar pulang olehnya. Aku selalu menolaknya tapi
dia terus memaksaku. Dia bilang ini sebagai wujud terima kasihnya. Dan semenjak
saat itu, perasaan lain muncul. Perasaan lebih dari seorang sahabat, rasa untuk
menjadi miliknya, dan rasa untuk terus bersama dengannya. Aku tak tahu mengapa
perasaan itu muncul. Tapi aku memungkiri perasaan itu. ternyata aku salah aku
benar-benar mencintainya, menurut papatah kalo kita sedang jatuh cinta pasti
setiap ingin tidur dia selalu datang di pikiran kita. Dan kuakui papatah itu
benar. Tak tahu kenapa aku selalu membayangkan wajahnya, mengingat-ingat apa
yang telah lakukan disekolah. Tapi , apa dia juga memiliki peraasaan yang sama?
Entahlah...
***
Hari ini hari telahir latihan,
karena kebosanannya latihan dikelas terus, Zio mengajakku ke taman belakang sekolah.
Aku pun mengikuti idenya yang lumayan bagus.
Prok..prok..prok...
Ku tepukan kedua telapak tanganku
saat Zio telah menyanyikan lagu Bruno Mars. Ia membawakannya hampir sempurna
dan begitu menakjubkan. Tak kusangka ia bisa melakukan itu dan itu tandanya apa
yang ia lakukan tidak sia-sia.
“perfect, perubahan yang sangat
pesat. Tak ada lagi penyebutan kosakata yang salah dan tak ada lagi nada-nada
yang melenceng dan itu artinya kau berhasil, yeyyy!!!”
Ucapku kesenangan sambil
berjingkrak-jingkrakan. Zio pun juga ikut senang, rasa puas terpancar dari
wajahnya.
“oiya sudah lama gue ingin
menannyakan kenapa lo memilih lagu Bruno Mars?”
Tanyaku sambil menatap mata Zio
lekat-lekat.
“karena gue pikir lagu itu cocok
dengan gue tapi lebih tepatnya gue ingin menyanyikan lagu itu untuk seseorang
yang gue cintai, seseorang yang selalu membantu gue, memberi gue semagat, dan
masih banyak lagi”.
Pikiranku langsung bercabang-cabang,
apakah wanita itu aku? Apakah ia juga mencintaiku? Dia bilang selalu membantunya
aku pun juga selalu membantunya, penyemangatnya aku pun juga melakukan itu kala
ia mulai pasrah apa benarkah wanita itu aku?
“apa gue tahu orangnya?”
Tanyaku berusaha memastikan wanita
yang ia maksud adalah diriku.
“lo sangat-sangat mengetahuinya dan
gue bakalan ngasih kejutan untuknya besok”
Bingo! Benar apa yang aku pikirkan
wanita itu tak lain dan tak salah lagi adalah aku sendiri. Aku merasa
sangat-sangat senang seakan-akan terbang kelangit ke tujuh bersama bidadari
cantik lainnya. Cinta ku kini terbalaskan.
“coba lo nyanyikan lagi sebagai
latihan terakhir”
Mataku terus menatapnya dan tak mau
memandang objek lain. Zio bernyanyi dengan sungguh-sunguh seperti bernyanyi
dengan hati dan pada saat bagian akhir sebelah tangannya merogoh kantong
celananya mengeluarkan sebatang coklat. Ia memberikan coklat itu kepada ku.
“ambillah, ini special untuk lo. Karena
lo, gue jadi seperti ini”
Kuambil coklat itu dan kutunjukan
senyum manisku.
“thanks”
***
Ku lihat Zio yang berdiri didepan
kelas yang menjadi pusat perhatian, ia telah menyanyikan bagian pertama sampai
bagian reff dengan baik. Dan pada saat bagian terakhir ia melangkahkan kakinya
menuju tempat dudukku. Jantungku langsung berdetak lebih cepat, apakah ini yang
ia maksud kemarin? Ingin memberikan kejutan?
Selangkah demi langkah Zio mulai
mendekat dan saat itu pula adrenalinku seperti diuji. Tapi kenapa dia tak
berhenti di depanku, ia terus berjalan ke arah belakang kelas dan...
Dan kalimat akhir lagu tersebut
berakhir di depan Tiara, wanita berponi depan. Ternyata wanita itu dia dan
bukan aku. Sakit, itulah yang kurasakan. Rasa sakit ini terus bertambah saat
Zio mengeluarkan kertas origami merah berbentuk hati dan mengucapkan “would you
be my girlfriend?”
Tangan kanan Tiara mulai bergerak
dan mengambil kertas itu, menganggukan kepalanya dan tersenyum manis ke arah
Zio. Aku melihat adegan itu hanya mempu berpura-pura senyum dengan mata yang
telah berkaca-kaca. Mengutuk diriku sendiri yang terlalu percaya diri kalau
wanita itu aku, tapi ternyata cewek lain. Mungkin rasa cinta ini hanya aku saja
yang tahu dan tak akan pernah terungkap.
- The End -
No comments:
Post a Comment