Wednesday, June 17, 2015

Saat Dia Datang


“Jika kau bilang cinta itu manis kau benar,
Manis ketika kau berada didekat ku,
Jika kau bilang cinta itu masam kau pun benar,
Masam ketika kau mencoba mendekatinya,
Jika kau bilang cinta itu pahit kau juga benar,
Pahit ketika ku tahu kau telah menjadi miliknya.”





            Dia bodoh. Dia selalu membuat onar dan setiap guru yang mengajar dia selalu saja dimarahi seakan-akan sudah menjadi kebiasaan bagi guru-guru untuk memarahinya. Dia orang yang pernah ku benci. Tapi tak tahu mengapa aku mencintainya. Benar kata orang, benci dan cinta itu beda tipis. Sejak semester dua, dia pindah duduk di depan tempat duduk ku. Awalnya aku merasa risih duduk berhadapan dengannya tapi, lama kelamaan kita menjadi dekat. Aku memanggilnya Zio. Dan sejak aku dekat dengannya, argumentasiku ternyata salah. Dia tidak seburuk dari yang kukira. Dibalik wajahnya yang selalu menunduk saat guru memarahinya tapi ia memiliki kemauan yang besar untuk menjadi yang lebih baik.


            Suatu hari seorang guru memarahinya didepan anak murid yang lain. Guru bahasa inggris itu merendahkan Zio dan saat itu pula wajah merah padamnya terlihat di wajahnya yang sedang menahan emosi kedua tangannya menggenggam erat.
          “kau ini kenapa bodoh dekali, masa baca story telling masih acak-acakkan, bahkan anak SD pun lebih baik dengan mu”
            Kalimat yang menusuk itu terlontar dari mulut seorang pria berkumis tebal yang tak lain adalah Mr. Robin guru bahasa Inggris . Zio menatap guru kejam itu dengan tatapan mematikan. Buku-buku tangannya terlihat jelas seperti ingin menonjok sang guru. Untung emosinya masih dapat diredamkan. Anak-anak yang lain terdiam dan menatap Zio lirih  dengan tatapan mata yang iba.
            “baik, saya akan buktikan kalo saya tak sebodoh yang Bapak bilang dan jika saya tak berhasil membuktikannya saya rela nilai Bahasa Inggris saya mendapatkan nilai nol dirapot saya”
            Aku terpaku mendengarnya, tak ku sangka Zio dapat mengucapkan kalimat itu. kalimat yang diucapkan dengan menggebu-gebu. Kedua tangannya tak lagi mengenggem erat melainkan menunjuk-nunjuk dirinya tepat didadanya saat ia mengucapkan kata ‘SAYA’.
            Sama halnya dengan anak-anak lain, bola mata mereka melotot seperti ingin keluar dari kelopak mata. Sang guru pun ikut kaget, kedua mata nya menatap muridnya yang berambut hitam pekat yang baru saja mengucapkan kalimat yang tak pernah ia sangka akan keluar dari mulut bocah laki-laki itu.
            “sepertinya ini akan menjadi perang dunia ke tiga. Guru Vs Murid”, pikir ku dalam hati sambil bergidik ngeri membayangkannya.
            “oke, akan Bapak tunggu pembuktianmu dan jika kau berhasil Bapak akan memberikan nilai seratus dirapotmu TAPI, jika kau tidak berhasil ucapanmu akan Bapak turuti menulis angka nol dirapot mu. Bapak beri waktu selama dua minggu”
            Ada sedikit penekanan disetiap kata yang dikeluarkan oleh sang Guru. Setelah ia mengucapkan kalimat yang benar-benar mematikan itu ia berlalu lalang meninggalkan kelas.
            Saat ku ketahui guru kejam itu telah pergi jauh, aku langsung mencolek pundak Zio. Beberapa kali ku colek tapi Zio tetap saja tak meu menolah sehingga ku putuskan ke mejanya. Ku lihat wajahnya yang bersawo matang, kedua matangnya menatap kosong dan dapat kupastikan ia sedang memikirkan kelakuan bodohnya yang baru saja ia lakukan. Ku kibas-kibaskan tanganku di depan wajahnya dan apa yang kulakuan itu berhasil membuatnya tersadar dari lamunnannya.
            “Zio, kenapa lo ngelakuin ini pake bilang mau ngebuktiin segala”
                        “gue bilang kaya gitu, karena gue ga mau terus-terusan jadi bulan-bulanan guru, selalu mgerendahin gue. Emang lo pikir enak direndahin terus sama si ‘Kumis Tebal’ dan guru-guru lainnya?”
            “ya, tentu aja ga enak. Tapi ga gitu juga caranya pake bilang ngasih nilai nol, malah waktunya dua minggu, dua minggu itu cepet banget Ziooooo...”
            Ucapku yang dibumbui dengan rasa geregetan, geregetan menghadapai kelakuan cowok yang dihadapanku. Rasanya ingin melemparkannya ke kutub utara. Otakku dibuat bingung oleh kelakuan cerobohnya, memikirkan bagaimana memecahkan permasalahan ini.
            “Via”
            Tiba-tiba seseorang menyebutkan namaku dengan frekuensi amat rendah dan hampir tak terdengar. Aku langsung menolah kearah Zio, karena ku tahu dia lah sang pemilik suara itu dan yang lebih meyakinkan suara itu miliknya karena ia selalu memanggilku ‘Via’, berbeda dengan teman-temanku yang lain yang selalu memanggilku ‘Sovi’ atau ‘Sovia’.
            “Via, gue boleh minta tolong ga?”
            “apa?”
            “gimana kalo lo ngajarin bahasa inggris ke gue selama dua minggu”
            “kenapa harus gue?”
            “karena lo, udah gue anggep sahabat gue, lagi pula bahasa Inggris lo kan bagus. Plisss ajarin gue”
            Ku tatap kedua bola matanya yang seakan-akan sedang memohon, telapak tangannya ia satukan di depan wajahnya. Aku pun tak kuasa menatapnya dan kata ‘Baiklah’ langsung keluar dari mulutku.
            “baiklah, gue mau bantuin lo tapi kalo gagal gimana? Lo ga bakal nyalahin gue kan?”
            “jangan bilang gagal kalau kita belum mencoba, inget kata idola lo, ‘NEVER SAY NEVER’”
            Wajahnya kini telah digantikan dengan raut muka ceria, senyumnya terus menghiasi kala ia mengucapkan kata penyemangat itu.
            “tapi, waktunya kan dua minggu? Kira-kira lo punya ide gitu?”
            Zio meggelengkan kepalanya beberapa kali.
            “gimana kalo lo nyanyi pake bahasa inggris, gue yakin lo bisa dan dua minggu itu waktu yang cukup untuk ngapalin lirik serta nadanya. Lebih baik lo cari judul lagu yang mau lo nyayiin setelah itu kita akan mulai latihannya tiga kali seminggu sehabis pulang sekolah. Gimana setuju?”
            Ku jelaskan ideku yang muncul secara tiba-tiba dengan panjang lebar agar ia mengerti apa yang ku maksud.
            “oke deh, besok kita mulai latihannya”
            Ku anggukan kepalaku sebagai tanda persetujuan.
                                                                                    ***

            Keesokan harinya...
                       
            “Viaaaaaa.....”
            Seruan namaku terdengar begitu kencang dari arah pintu kelas dan kulihat Zio dengan wajah bersemangat menggendong tas punggungnya.
            “Gue udah nemuin lagu yang cocok untuk gue nyanyiin”
            Zio mengucapkannya dengan satu napas. Ia tak langsung duduk ditempat duduknya melainkan berdiri disamping bangku ku. Aku yang sedang duduk mengadahkan kepala ku untuk  melihatnya yang lebih tinggi dari ku.
            “apa?”, tanyaku tanpa ekspresi
            “Just The Way You Are Bruno Mars”
            “yakin mau nyanyi itu?”
            “ya, gue yakin?”
            “oke kita latihan pas pulang sekolah”
            Setelah ku ucapkan kalimat iru, senyum sumringahnya langsung terlihat. Ia mencubit pipiku gemas.
            “Makasih Via lo temen gue yang paliiiiiinggg baik”
            Dengan refleks telapak tangan ku langsung mengelus pipiku.
***
            Bel berbunyi panjang yang menandakan waktumya pulang. Semua murid keluar kelas seperti tak sabar untuk sampai ke rumah. Dan menyisakan aku dan Zio. Perasaan risih karena hanya kita berdua yang dikelas langsung muncul, tapi tak tahu mengapa aku merasa senang.
            “coba lo tulis lirik lagunya, habis itu lo nyanyiin”
            Dia langsung mengikuti instruksiku, jari telunjuknya bergesekan dengan hapenya yang mencari lirik lagu Bruno Mars. Saat ia telah selesai menulis ia langsung menyanyikannya. Rasa ingin tertawa muncul kala ia selesai menyanyikannya. Benar-benar buruk, nada yang salah terdengar dimana-mana dan yang benar-benar buruk yaitu saat ia mengucapkan kosakata bahasa inggrisnya.
            “coba deh lo baca liriknya tiap bait, tapi ga usah pake nada baca biasa aja”
            Ucapku seraya memerintah dan ia pun langsung mengikutinya.
            “ohh... her ha-ir her ha-ir...”
            “itu dibacanya heir bukan hair, coba ulangi lagi”
            Dia terus mengulangi kata-kata yang salah dengan yang kubenarkan. Terlihat sekali rasa semangatnya untuk latihan. Semangat untuk membuktikan bahwa dia bisa.
***
            Semenjak hari latihan pertama Zio selalu menawarkanku untuk diantar pulang olehnya. Aku selalu menolaknya tapi dia terus memaksaku. Dia bilang ini sebagai wujud terima kasihnya. Dan semenjak saat itu, perasaan lain muncul. Perasaan lebih dari seorang sahabat, rasa untuk menjadi miliknya, dan rasa untuk terus bersama dengannya. Aku tak tahu mengapa perasaan itu muncul. Tapi aku memungkiri perasaan itu. ternyata aku salah aku benar-benar mencintainya, menurut papatah kalo kita sedang jatuh cinta pasti setiap ingin tidur dia selalu datang di pikiran kita. Dan kuakui papatah itu benar. Tak tahu kenapa aku selalu membayangkan wajahnya, mengingat-ingat apa yang telah lakukan disekolah. Tapi , apa dia juga memiliki peraasaan yang sama? Entahlah...
***
            Hari ini hari telahir latihan, karena kebosanannya latihan dikelas terus, Zio mengajakku ke taman belakang sekolah. Aku pun mengikuti idenya yang lumayan bagus.
            Prok..prok..prok...
            Ku tepukan kedua telapak tanganku saat Zio telah menyanyikan lagu Bruno Mars. Ia membawakannya hampir sempurna dan begitu menakjubkan. Tak kusangka ia bisa melakukan itu dan itu tandanya apa yang ia lakukan tidak sia-sia.
            “perfect, perubahan yang sangat pesat. Tak ada lagi penyebutan kosakata yang salah dan tak ada lagi nada-nada yang melenceng dan itu artinya kau berhasil, yeyyy!!!”
            Ucapku kesenangan sambil berjingkrak-jingkrakan. Zio pun juga ikut senang, rasa puas terpancar dari wajahnya.
            “oiya sudah lama gue ingin menannyakan kenapa lo memilih lagu Bruno Mars?”
            Tanyaku sambil menatap mata Zio lekat-lekat.
            “karena gue pikir lagu itu cocok dengan gue tapi lebih tepatnya gue ingin menyanyikan lagu itu untuk seseorang yang gue cintai, seseorang yang selalu membantu gue, memberi gue semagat, dan masih banyak lagi”.
            Pikiranku langsung bercabang-cabang, apakah wanita itu aku? Apakah ia juga mencintaiku? Dia bilang selalu membantunya aku pun juga selalu membantunya, penyemangatnya aku pun juga melakukan itu kala ia mulai pasrah apa benarkah wanita itu aku?
            “apa gue tahu orangnya?”
            Tanyaku berusaha memastikan wanita yang ia maksud adalah  diriku.
            “lo sangat-sangat mengetahuinya dan gue bakalan ngasih kejutan untuknya besok”
            Bingo! Benar apa yang aku pikirkan wanita itu tak lain dan tak salah lagi adalah aku sendiri. Aku merasa sangat-sangat senang seakan-akan terbang kelangit ke tujuh bersama bidadari cantik lainnya. Cinta ku kini terbalaskan.
            “coba lo nyanyikan lagi sebagai latihan terakhir”
            Mataku terus menatapnya dan tak mau memandang objek lain. Zio bernyanyi dengan sungguh-sunguh seperti bernyanyi dengan hati dan pada saat bagian akhir sebelah tangannya merogoh kantong celananya mengeluarkan sebatang coklat. Ia memberikan coklat itu kepada ku.
            “ambillah, ini special untuk lo. Karena lo, gue jadi seperti ini”
            Kuambil coklat itu dan kutunjukan senyum manisku.
            “thanks”
***
            Ku lihat Zio yang berdiri didepan kelas yang menjadi pusat perhatian, ia telah menyanyikan bagian pertama sampai bagian reff dengan baik. Dan pada saat bagian terakhir ia melangkahkan kakinya menuju tempat dudukku. Jantungku langsung berdetak lebih cepat, apakah ini yang ia maksud kemarin? Ingin memberikan kejutan?
            Selangkah demi langkah Zio mulai mendekat dan saat itu pula adrenalinku seperti diuji. Tapi kenapa dia tak berhenti di depanku, ia terus berjalan ke arah belakang kelas dan...
            Dan kalimat akhir lagu tersebut berakhir di depan Tiara, wanita berponi depan. Ternyata wanita itu dia dan bukan aku. Sakit, itulah yang kurasakan. Rasa sakit ini terus bertambah saat Zio mengeluarkan kertas origami merah berbentuk hati dan mengucapkan “would you be my girlfriend?”
            Tangan kanan Tiara mulai bergerak dan mengambil kertas itu, menganggukan kepalanya dan tersenyum manis ke arah Zio. Aku melihat adegan itu hanya mempu berpura-pura senyum dengan mata yang telah berkaca-kaca. Mengutuk diriku sendiri yang terlalu percaya diri kalau wanita itu aku, tapi ternyata cewek lain. Mungkin rasa cinta ini hanya aku saja yang tahu dan tak akan pernah terungkap.



- The End -


No comments:

Post a Comment