Wednesday, June 17, 2015

Saat Dia Datang


“Jika kau bilang cinta itu manis kau benar,
Manis ketika kau berada didekat ku,
Jika kau bilang cinta itu masam kau pun benar,
Masam ketika kau mencoba mendekatinya,
Jika kau bilang cinta itu pahit kau juga benar,
Pahit ketika ku tahu kau telah menjadi miliknya.”





            Dia bodoh. Dia selalu membuat onar dan setiap guru yang mengajar dia selalu saja dimarahi seakan-akan sudah menjadi kebiasaan bagi guru-guru untuk memarahinya. Dia orang yang pernah ku benci. Tapi tak tahu mengapa aku mencintainya. Benar kata orang, benci dan cinta itu beda tipis. Sejak semester dua, dia pindah duduk di depan tempat duduk ku. Awalnya aku merasa risih duduk berhadapan dengannya tapi, lama kelamaan kita menjadi dekat. Aku memanggilnya Zio. Dan sejak aku dekat dengannya, argumentasiku ternyata salah. Dia tidak seburuk dari yang kukira. Dibalik wajahnya yang selalu menunduk saat guru memarahinya tapi ia memiliki kemauan yang besar untuk menjadi yang lebih baik.

Gara-Gara Sendok


“Pokoknya kau harus datang besok”
“Tapi jarak daari sini ke Pakistan jauh, Ra”
“Aku tidak mau tahu, kau harus datang. Awas saja jika kau tidak menampakkan batang hidungmu, aku akan berhenti menjadi sahabatmu”

Rangkaian ucapan-ucapan itu terdengar jelas dibenaknya seorang gadis berambut brunette. Ucapan demi ucapan yang mengingatkannya kembali disaat sahabatnya yang keras kepala tiba-tiba meneleponnya ditengah malam,