“Pokoknya kau
harus datang besok”
“Tapi jarak
daari sini ke Pakistan jauh, Ra”
“Aku tidak mau
tahu, kau harus datang. Awas saja jika kau tidak menampakkan batang hidungmu,
aku akan berhenti menjadi sahabatmu”
Rangkaian
ucapan-ucapan itu terdengar jelas dibenaknya seorang gadis berambut brunette.
Ucapan demi ucapan yang mengingatkannya kembali disaat sahabatnya yang keras
kepala tiba-tiba meneleponnya ditengah malam,
meminta dirinya untuk berkunjung ke rumah sahabatnya yang bernama Aurora. Kata per kata yang dikeluarkan oleh Aurora membuatnya tak bisa menolak permintaan tersebut. si gadis langsung memasukan beberapa potong pakaiannya kedalam koper kecil berwarna orange miliknya. Setelah semua barang-barang yang ia perlukan masuk ke kopernya, ia langsung mengambil ponselnya yang ia letakkan di meja rias. Lantas menekan bebrapa digit angka, deretan angka-angka yang merupakan nomor Costumer Service Airport untuk menanyakan keberangkatan pesawat menuju negara yang berada di Timur Tengah, Pakistan.
meminta dirinya untuk berkunjung ke rumah sahabatnya yang bernama Aurora. Kata per kata yang dikeluarkan oleh Aurora membuatnya tak bisa menolak permintaan tersebut. si gadis langsung memasukan beberapa potong pakaiannya kedalam koper kecil berwarna orange miliknya. Setelah semua barang-barang yang ia perlukan masuk ke kopernya, ia langsung mengambil ponselnya yang ia letakkan di meja rias. Lantas menekan bebrapa digit angka, deretan angka-angka yang merupakan nomor Costumer Service Airport untuk menanyakan keberangkatan pesawat menuju negara yang berada di Timur Tengah, Pakistan.
“hhuftt”,
gadis itu menghela napas panjang setelah mengetahui jadwal keberangkatannya
besok. Ia lantas membaringkan tubuhnya ke spring bed yang hanya dapat
ditempati oleh satu orang, meredakan rasa khawatir terhadap sahabatnya.
“semoga tidak
terjadi sesuatu yang buruk”, ucapnya dalam hati yang diikuti kedua kelopak
matanya yang mulai menutupi sepasang matanya.
Langkah demi
langkah yang ia pijaki ke jalan yang baru pertama kali ia lewati. Ini pertama
kalinya gadis itu menapakan kedua kakinya di negeri orang. Kedua bola mata
maniknya mengamati orang-orang yang berlalu lalang dihadapannya. Melihat
gadis-gadis di seberang sana yang berpenampilan berbeda jauh dengan dirinya.
Gadis-gadis yang berpenampilan sengaja menutupi seluruh rambut mereka dengan
dibaluti scraf diatas kepalanya. Tak hanya kedua matanya yang
berkeliaran mengamati ke seluruh pandangannya tetapi kedua telinganya pun ikut
memanjang mendengar ucapan-ucapan yang terasa begitu asing ditelinganya.
Perkataan yang ia tidak ketahui apa maksudnya. Untung saja ia bertemu dengan
seorang pria yang menguasai bahasanya, pria yang baru saja keluar dari tempat
ibadah umat Muslim. Gadis tersebut langsung menanyakan alamat Aurora,
beruntungnya lagi pria yang berada dihadapannya mengenal Aurora sehingga
bersedia mengantarkan dirinya ketempat tujuannya.
Langkahan
kakinya berhenti tepat didepan pekarangan rumah sahabatnya, mengamati dengan
raut muka yang bingung kenapa kediaman Aurora terlihat cukup ramai. “Apakah
Aurora sakit?”, desisnya menduga-duga. Kedua bola matanya terus menerawang
kedalam rumah tersebut diikuti dengan langkah kedua kakinya yang maju mendekati
bilik rumah tersebut. matanya menyapu kesemua sudut dan mendapati para personil
One Direction yang juga datang dan pandangannya berhenti kearah gadis
berkerudung kuning yang tengah duduk berdampingan dengan seorang pemuda
berwajah ketimuran.
“Angle?”,
suara cempereng yang bersumber dari gadis berkerudung kuning mengerjapkan kedua
kelopak matanya, sedetik kemudian ia tersenyum.
“Masuklah?”,
serunya lagi. Gadis yang bernama Angle pun menuruti perintah tersebut. “Ku kira
kau tidak akan datang, terima kasih kau telah datang ke acara pesta
kecil-kecilan perayaan pernikahan aku dengan Zayn”, nada ucapan terima kasih
yang terlontarkan terdengar sumringah, diiringi senyuman bahagia saat
menyebutkan nama pria yang berada disamping gadis yang kini tengah memeluk
dirinya. Gadis brunette itu
memalingkan wajahnya kesisi pria beralis hitam tebal. Pria itu ikut tersenyum
bahagia. Berbarengan dengan senyuman yang muncul kedua kakinya terasa lemas.
Lemas bukan karena lelah dalam perjalanan melainkan mendengar ucapan yang baru
Aurora katakan. Ya, memang bukan sesuatu yang buruk untuk Aurora tetapi sesuatu
yang buruk untuk dirinya sendiri mengetahui kenyataan bahwa Aurora telah
mengganti statusnya menjadi istri dari seorang Zayn Malik dan telah menyandang
nama ‘Malik’ dibelakang namanya.
***
Potongan-potongan
ingatan tersebut kembali muncul di pikirann gadis berambut brunette yang
kini tengah duduk dibawah pohon mahoni. Serangakaian kejadian yang ia lalui dua
hari yang lalu ketika ia baru tiba dirumah sahabatnya, Aurora. Gadis itu
mengadahkan wajahnya kelangit mencoba melihat matahari yang begitu menyilaukan
matanya. Gadis yang berusaha tegar untuk menerima kenyataan pahit. Angin
mendesir membuat daun-daun mahoni berguguran, merasakan benda yang tak terlihat
oleh kasat mata menerpa wajahnya yang menimbulkan rasa sejuk di saraf-saraf
kulitnya. Rambut brunette-nya bergerak-gerak mengikuti hembusan arah
angin yang berusaha menutupi sebagian wajahnya. Ia menyelipkan helaian-helaian
rambutnya di belakang telinganya. Taangan kanannya membuka sebuah buku yang
berada diatas pangkuannya dengan berlahan-lahan, membuka lembar demi lembar
mencari halaman kosong yang hanya terisikan garis-garis horizontal berjarak
sama panjang.
Sulit bagiku
untuk menerima kenyataan ini, menerima kenyataan bahwa seorang sahabat
membohongi diri kita. Kau bilang, ia hanya sepupu jauhmu tapi ternyata ia
seorang mantan pacarmu yang detik ini telah menjadi suami sah untuk dirimu. Ku kira
selama ini kita bersahabat baik tetapi aku salah menilai mu. Aku kecewa padamu,
Aurora.
Ujung pena
yang ia pegang bergerak begitu cepat menciptakan lembaran kosong tersebut
terpenuhi oleh goresan-goresan kata yang merupakan curahan hatinya saat ini.
Setitik air mata jatuh tepat mengenai kata terakhir yang ia tulis, membuat
deretan huruf-huruf tersebut mulai memudar.
Tiba-tiba
sebelah kanan pundaknya terasa seperti ditepuk pelan, lantas ia membalikan
wajahnya kesisi kanannya. Air mata yang baru saja ia keluarkan membuat
pandangannya buram.
“hai, kau
sahabatnya Aurora kan?”, suara khas pria terdengar jelas menyapanya sementara
gadis yang disapa bukannya langsung menjawab melainkan ia memalingkan wajahmya kembali menghapus air
matanya dengan kasar dan menutup buku yang masih berada diatas pengkuannya,
meletakan benda itu disampingnya.
“namamu Angle
kan?”, ucap pria tersebut untuk kedua kalinya. Mendengar namanya disebut, gadis
itu mengadahkan kembali wajahnya kearah pria yang berdiri disampingnya
menampilkan senyuman ramah. Seorang pria dengan beju berlengan panjang yang
sengaja ia gulung sampai batas siku. Senyumannya memudar ketika kedua bola mata
mereka saling beradu pandang.
“kau
menangis?”, pria bermata coklat hangat itu menatapnya dengan tatapan lirih
berusaha duduk mendekati gadis disebelahnya. Sebelah tangan kanannya, ia
ulurkan kewajah gadis tersebut mencoba menghapus sisa-sisa air matanya. Belum
sempat ia menyentuh cairan bening di wajah gadis tersebut, tangan gadis itu
langsung menepis pelan tanganya.
“Aku harus
pergi, kau bisa memiliki tempat ini sekarang”, gadis itu bengkit dari duduknya
bergegas meninggalkan pria yang menatapnya dengan pandangan nanar kearah
punggung gadis tersebut yang lama kelamaan semakin jauh. Setelah gadis bernama
Angle itu tak dapat terlihat lagi, pria itu melonjorkan kaki jenjangnya dan
membaringkan tubuh tegapnya diatas rerumputan hijau. Menyanggahkan kedua
lengannya sebagai bantalan kepalanya.
“apakah gadis
itu menangis karena aku datang dan memutuskan untuk pergi menjauhiku?”, tanya
pria tersebut dengan nada yang merasa bersalah. Ia menengokkan kepalanya kesisi
kirinya ketempat gadis itu duduk beberapa menit yang lalu, berharap gadis itu
datang kembali tetapi nihil yang ia temukan hanyalah sebuah buku berwarna peach
bertulisan Angle’s Days sebagai cover buku tersebut.
***
Pria bermata
cokelat hangat itu menyatukan bokongnya ke sofa yang terasa empuk. Kedua
tangannya membolak-balik sebuah buku yang baru ia temukan di bawah pohon mahoni.
Tangannya terasa gatal ingin membuka buku tersebut tetapi hatinya terus
mengatakan jangan membukanya. Tiba-tiba sebuah foto yang terselip dibuku
tersebut jatuh diatas lantai. Pria tersebut membungkukan badannya mengambil
foto tersebut dan membalikan sisi depannya yang menampilkan seorang pria yang
sangat femiliar untuknya.
“Zayn?”,
desisnya. Pertahananya kini runtuh, ia semakin penasaran kenapa foto teman satu
band-nya itu bisa berada diselipan buku tersebut. Tangannya mencoba
membuka lembaran-lembaran buku tersebut membaca goresan-goresan kata tersebut
didalam hati.
Aku ingin
seperti sebuah sendok,
Memiliki tubuh
yang tak mudah rapuh,
Yang akan
selalu berbentuk tetap dikala dirinya bersentuhan keras dengan piring,
Yang tak akan
mudah berubah bentuk ketika dirinya tiba-tiba jatuh.
Lembaran pertama telah ia baca, seperti
terhipnotis ia terus membuka lembaran berikutnya sampai ke lembaran terakhir.
Ia membaca tulisan dilembaran terakhir berulang-ulang dan kini ia mengetahui
kebenarannya. Kebenaran yang membuat dirinya tersontak kaget.
“gadis itu
menyukai Zayn”, ungkapnya
Bagi seorang
atlet, cinta itu seperti medali atau piala hasil dari suatu kemenangan.
Bagi seseorang
pria, cinta itu adalah proses menunggu tanpa akhir yang berubah menjadi
perasaan yang sebenarnya.
Bagi seorang
wanita, cinta itu adalah sebuah rahasia yang tidak boleh diketahui orang.
Sebuah suara
yang terdengar di sebelah kiri telinganya sontak membuat pria yang kini amat
serius memandangi kata per kata yang tertulis dibuku yang sedang yang pegang
terkejut. Suara khas dari pria berambut blonde yang juga ikut membaca sebagian kalimat di
lembaran buku tersebut. Pria bermata cokelat hangat itu langsung menutup buku
tersebut rapat-rapat, melarang pria berbaju garis-garis itu membacanya lebih
lanjut.
“Hey
Liam, kenapa kau tak ikut pergi dengan kita tadi? Sepertinya kau berusaha
mengurung dirimu diruangan ini”, sambung pria berambut blonde itu lagi diikuti
dengan kegaduhan yang diciptakan oleh dua makhluk berambut pirang dan blonde
sedikit ikal disampingnya.
“Louis? Harry?
Niall? kenapa kalian ada disini? Dan sejak kapan kalian masuk?”, pria yang
memiliki nama Liam malah berbalik bertanya, ia bingung kenapa ruangan ini telah
terisi oleh tiga makhluk yang ia sama sekali tidak tahu kapan mereka datang.
“Harry!
Niall!, bisakah kalian berhenti membuat kegaduhan?”, sambungnya lagi yang
melihat kearah dua makhluk teraneh yang memperebutkan posisi duduk disamping
anggota tertua One Direction, Louis. Dua makhluk tersebut langsung
terdiam memberhentikan aksinya setelah mendapat omelan dari Liam.
“Niall?”
Kedua bola
mata biru milik Niall melotot saat Liam memanggil namanya. Ia takut jika Liam
tiba-tiba memarahinya kembali.
“Liam, kau
tidak bermaksud memarahiku kan?”
“Jika kau mau
aku bersedia memarahimu sekarang”
“tidak! Aku
tidak mau”, ucap Niall sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“aku hanya
ingin bertanya, emm... bagaimana perasaan mu ketika kau tahu cinta mu itu
bertepuk sebelah tangan?”
Pertanyaan Liam
mampu membuat semua pasang mata yang ada diruangannya menatap tepat kearahnya
begitu pula dengan Niall.
“maaf Niall,
aku tak bermaksud membuat mu...”
“rasanya itu
seperti emm... kau mengikuti suatu perlombaan, setiap hari kau telah berlatih
keras tapi pada akhirnya kau kalah dari orang yang hanya berlatih dengan
cuma-cuma. Ya, seperti itulah”
“ya Liam,
kenapa kau tiba-tiba menanyakan tentang cinta bertepuk sebelah tangan? Apakah
kau sedang mengalaminya”, pertanyaan spontan yang keluar dari mulut Harry
membuat kedua mata Liam mendelik tajam.
“tidak, aku
hanya ingin tahu saja. Hanya itu”, mendengar jawaban Liam membuat ketiga
makhluk dihadapannya menatap curiga seperti tidak yakin dengan jawaban Liam.
“Yea!!!
Hentikan tatapan menjijikan itu”, ucap Liam yang merasa risih dengan tatapan
layaknya seorang polisi yang mengintrogasi seorang pencopet.
***
Dinginnya es
krim yang dipegang gadis berambut brunette membuat saraf-saraf kulitnya
kedinginan. Buliran-buliran air yang menempel di dinding cup es krim tersebut
meluncur kebawah membasahi kedua tangannya. Bola matanya memandang kearah depan
dengan tatapan kosong, mengamati pepohonan hijau yang bergoyang-goyang
mengikuti hembusan angin. Menyusuri burung-burung yang bebas berterbangan
kesana-kemari.
“tanganmu bisa
membeku jika kau terus mendiamkan es krim itu”, suara yang berasal dari arah
belakang tubuhnya membuat gadis itu membalikan pandangannya kesumber suara
tersebut. Ia mendapati pria jangkung yang ia temui kemarin ditempat yang sama
pula.
“jika tanganku
tidak dingin maka hatiku yang akan dingin”.
Pria itu
mengernyit tak mengerti perkataan yang baru saja dilontarkan gadis yang berada
didepannya. Ia menurunkan tubuhnya menyatukan bokongnya ke rerumputan yang ia
pijaki, mencoba duduk tepat disebelah gadis tersebut.
“untuk apa kau
kesini? Kau tidak bergabung dengan teman-teman se-band mu itu?”, tanya gadis
itu menjulurkan bibir tipisnya menunjuk empat orang pria diujung seberang ana
yang berlarian mengejar satu sama lain lalu menyemprotkan pistol air yang
mereka pegang bak seorang anak kecil yang bermain perang-perangan.
“jika
pertanyaanmu aku balik, kenapa kau disini? Kenapa kau tidak bergabung dengan
kami? Kau akan menjawab apa?”, pria itu bertanya balik ke gadis yang masih
memgang cup es krim, tetesan-tetesan air ditangannya bagaikan lem yang
merekatkan kedua tangannya dengan dinding cup es krim.
“emm, aku
tidak akan bergabung karena aku lebih suka di tempat ini”, jawab gadis itu
menatap balik pria disebelahnya.
“itulah
jawabanku”.
“maksudmu?”
“jawaban atas
pertanyaanmu sebelumnya?”
“ck”,
gadis itu berdecak kecal tak terima jawabannya dikopi oleh pria disebelhnya
yang sedamg menyengir kuda. Ia mengangkat tangannya yang penuh dengan air
mencoba membuka tutup cup es krim, sebelah tangannya lagi mengambil salah satu
dari dua benda berbentuk panjang terbuat
dari logam yang berada disamping tempat duduknya. Tiba-tiba bibir tipisnya
mengembang menciptakan senyuman licik. Ia mengangkat benda putih mengkilat
keabu-abuan itu kearah pria disebelahnya. Pria itu langsung mencondongkan
tubuhnya kebelakang mencoba menjauhkan diri dari benda itu.
“jauhkan benda
itu!”, teriak pria itu ketakutan sementara gadis didepannya cekikikan melihat
dirinya melihat dirinya yang masih mencondongkan tubuhnya.
“Hahaha..,
ternyata fact-fact ynag aku baca benar, aku tak menyangka haha..”, ucap
gadis itu menjauhkan benda yang memiliki bentuk yang berbeda di kedua ujungnya.
Pria itu bernapas lega lantas membenarkan posisi duduknya.
“memangnya apa
yang kau baca?”
“kau mau
tau?”, pria itu lantas menganggukan kepalanya beberapa kali.
“emm, Liam
Payne salah satu dari personil boyband The boys atau yang kerap dikenal One
Direction memiliki ketakutan terhadap sendok, ia selalu menggunakan garpu
saat mekan es krim. Haha.. benar-benar konyol”, ejek gadis itu. Sendok yang ia
pegang ia masukan kedalam cup es krim, mengambil cairan dingin yang kini mulai
mencair lalu memasukan kedalam mulutnya. Manis dari rasa es krim tersebut langsung menjalar di
papilia lidahnya.
“aku tidak
takut, aku hanya.. hanya...”
“jika kau
tidak takut, coba buka mulutmu”, pinta gadis tersebut menyodorkan sesendok es krim
ke arah mulut pria yang bernama Liam, tapi sayang Liam mengunci mulutnya
rapat-rapat.
“ayo cepat
buka mulutmu, aku tidak mengidap HIV/AIDS jadi kau tenang saja”, ujung sendok
tersebut telah menyentuh bibir Liam dengan ragu-ragu mulut pria itu berlahan-lahan
terbuka. Seperti seorang Ibu, gadis itu menyuapi Liam dengan pelan-pelan dan
seketika itu pula dinginnya cairan tersebut menyebar ke langit-langit mulutnya.
Rasa manis yang ia kecap terasa berbeda dengan rasa manis es krim lainnya.
Mungkin ini efek dari sendok tersebut, pikirnya. Gadis dihadapannya tersenyum
puas telah berhasil memasukan benda yang selama ini Liam takuti kedalam mulut
pria tersebut.
“karena kau
sudah tak takut lagi dengan sendok, maka aku akan memberikanmu ini”, gadis itu
menyerahkan sendok yang masih dilapisi oleh plastik putih bening transparan.
Raut muka bingung langsung muncul diwajah Liam yang kemudian mengambil benda
itu, membolak-balik mengamati benda yang pernah ia takuti. Si pengasih pun
memasukan kembali sesendok es krim ke dalam mulutnya menikmati cairan manis
yang dinginnya sudah mulai hilang.
“anggap saja
sendok itu sebagai awal pertemanan kita”, seru gadis itu diakhiri dengan
senyuman manisnya.
“Angle?”,
gadis itu memalingkan wajahnya menatap pria bermata cokelat hangat.
“kenapa?”
“aku ingin
mengembalikan ini”, ucap pria itu seraya menyerahkan sebuah buku berwarna peach.
Buku yang membuat dirinya mengetahui semua tentang gadis dihadapannya terutama
perasaan gadis tersebut terhadap sahabatnya, Zayn Malik. Angle pun mengambilnya
dan sebuah sumringah langsung muncul.
“Ya ampuuunn,
akhirnya buku ini kembali. Kau tau, aku mencarinya semalaman suntuk. Merelakan
waktu tidurku demi mencari benda ini. Tapi, kenapa kau bisa menemukannya?”.
nada suara gadis itu terdengar bahagia. Ia merapatkan buku itu kedadanya
seakan-akan tak ingin kehilangan benda yang membuatnya tidak bisa tidur
semalaman.
“kau
meninggalkannya kemarin”, jawab Liam.
“ouh
begitu, emm... bagaimana jika sendok yang tadi aku berikan sekaligus ucapan
terima kasihku karena, kau telah menemukan buku ini?”
“Tidak! Aku
tidak mau!”, mendengar penolakan Liam gadis itu langsung mendengus kesal. Ia
kembali memasukan es krimnya meredamkan rasa kesalnya.
“lalu, kau mau
apa?”
“Apakah kau
yakin akan menuruti kemauanku?”, pria itu bertanya balik.
“yah, apa
boleh buat. Akan ku coba”, jaab gadis tersebut yang terdengar pasrah.
“tiga
permintaan! Aku ingin kau memenuhi tiga permintaanku”
“Apa? Tiga
permintaan? Itu terlalu banyak”, protes Angle sambil menggeleng-gelengkan kepala
tidak menyutujui kemauan Liam.
“Yasudah¸
jika kau tidak mau, kembalikan buku itu!”
“Tapi ini kan
punyaku!”
“kau lupa, kau
telah menghilangkannya dan akulah penemunya. Jadi, hak milik buku itu ada
ditanganku”
“Huft,
baiklah baiklah. Sebutkan tiga permintaan mu itu”, gadis itu pun menyerah. Ia
tak menyangka seorang Liam Payne yang memiki phobia aneh ternyata cukup licik.
Kini emosi Angle makin menuncak dengan ceoat ia memakan es krimnya lagi dan
lagi. Belum selesai ia menelan es krim dimulutnya ia lantas menyuap lagi
membuat mulutnya terpenuhi cairan putih kental tercampur coklat manis.
“Angle?”
“Apa? Cepat
katakan permintaanmu”. Mendadak Liam menulurkan tangannya mendekati wajah
Angle. Tangan kanan Liam menyentuh permukaan bibir tipis Angle itu mencoba
menghapus sisa-sisa es krim yang menempel di bibir gadis bruneette itu.
mendapat perlakuan yang secara tiba-tiba membuat gadis tersebut kikuk, ia
merasakan seperti kupu-kupu berterbangan di perutnya menciptakan rasa geli.
Kedua bola matanya saling bertemu pandang dengan bola mata berwarna cokelat
hangat yang kini sedang menatapnya sendu. Ia seakan-akan terhipnotis oleh
pancaran mata pria tersebut.
“permintaan
pertamuku, aku ingin kau menjawab pertanyaanku. Apakah kau menyukai Zayn?”,
Angle mengerjapkan kelopak matanya, kedua bola matanya seperti ingin keluar
seperti ikan lohan. Ia terkejut kenapa tiba-tiba Liam menanyakan tentang itu.
“dari mana kau
tau? Kau membaca buku itu?”
“jangan
menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain!”. Skakmat! Kini gadis itu
tak bisa mengeluarkan suaranya bibirnya terasa berat untuk berucap, ia
menggigit bibir bawahnya kini perasaan yang selama ini ia tutupi akhirnya
terbongkar pula.
“Ternyata
benar kau menyukai pria ketimuran itu”, ucap Liam sambil menarik tangannya yang
baru saja menyentuh bibir Angle.
“kau tenang
saja aku tidak akan membocorkannya kepada Zayn, kau tenang saja”, serunya lagi.
“akan ku
pegang ucapanmu, lalu apa permintaanmu selanjutmya?”
“emm... aku
ingin sendokmu itu!”. jari telunjuk Liam menunjuk kearah sendok yang berada di
dalam cup es krim yang tinggal seperempat bagian.
“kenapa kau
menginginkan sendok ini?. Kau tau? Sendok yang baru saja aku berikan ke kamu
itu salah satu sendok yang belum pernah ku gunakan”
“tapi aku
menginginkan sendok itu. karena sendok itulah yang pertama kali masuk kedalam
mulutku. Jadi, berikan sendok itu kepadaku!”
Seperti tidak
rela Angle mengambil benda yang terbuat dari logam dan memberikannya kepada
Liam.
“ini!, jangan
sampai kau menghilangkan sendok ini!”
“jangan
khawatir”
“lalu, apa
permintaan terakhirmu. Cepat katakan aku tidak punya banyak waktu”
“memangnya kau
mau kemana?”
“nanti sore
aku akan segera pulang”
“pulang?
Kenapa kau tidak pulang bersama dengan kami, One Direction?”
“pulang
bersama 1D? Haha, bisa-bisa aku tidak sampai di rumah melainkan mati di bunuh
oleh fans fanatik mu itu”.
“yea! Kenapa
kau berpikir buruk dengan fans ku?”
“argh, kau banyak tanya. Cepat katakan permintaan
terakhirmu?”
“baiklah jika
itu mau mu?”. Angle memanjangkan telinganya berusa mendengar ucapan Liam, ia
berharap pria itu tidak akan meminta yang aneh-aneh yang dapat membuatnya
bungung.
“bisakah kau
melupakan Zayn. Karena aku tak ingin kau terus larut dalam kesedihanmu”. Memang
bukan permintaan aneh tapi benar-benar aneh. Kenpa pria itu selalu membuatnya
terkejut. Membuatnya dia melupakan cara bernapas dan membuat seketika zat
oksigen disekitarnya menghilang.
“a... a..
aku...”
“ketika kau
telah melupakannya maka disaat itu pula aku akan mengembalikan sendok ini”
“a.. a.. aku
harus pergi. Maaf”. Gadis itu bingung harus menjawab apa, yang bisa ia lakukan
hanyalah menghindari pria disebelahnya dengan cara pergi dari tempat itu secepat
mungkin. Sementara Liam merasa bingung kenapa gadis itu selalu meninggalkannya
disaat ia menunggu jawabannya.
***
“Niall,
pelankan cara makan mu. Kau bisa tersedak jika makanmu seperti itu”, ucap
seorang pria kepada sahabatnya yang seperti orang kelaparan. Sementara pria
yang diberi nasehat tetap saja asyik memakan makanannya terburu-buru, ia tak
mempedulikan nasihat dari sahabatnya.
“aku sudah
terbiasa dengan cara makan seperti ini”, mendengar ucapan tersebut, pria itu
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lantas menyatukan bokongnya dikursi makan.
“boys,
sepertinya besok kita akan kembali ke London”, ucap kak Louis yang duduk diapit
oleh Harry dan Niall.
“besok? Huh,
padahal aku masih betah disini”,
ucap Niall sambil memasang muka memelas.
“aku tahu, kau
bukan betah disini tapi kau betah dengan makanan yang ada disini. Iya kan,
pirang?”, Aurora yang duduk disamping Zayn langsung menimpali Niall membuka aib
Niall yang suka makan.
“yea pendek!
Kenapa kau selalu saja menyemprotku dengan kata-kata jahilmu”, balas Niall
sembari memasukan sesendok kuah sayur kedalam mulutnya. Aurora yang mendapat
gentakan kecil dari Niall hanya menjulurkan lidahnya keara pria berambut
pirang.
“Liam, kenapa
kau tidak memakan sayurnya?”, Louis yang sedang menggigit sayuran kesukaanya,
wortel menatap Liam yang hanya berdiam dimeja makan.
“ahh,
aku tau kenapa kau tidak makan. Kau tidak bisa memakan sayur ini dengan garpu
kan?. Bagaiman jika soup nya untuk ku saja?”, ucap Niall dengan makanan
yang penuh dimulutnya.
“siapa bilang
aku tidak bisa memakannya? Aku bisa!”.
Liam langsung merogoh kantong celananya mengambil benda panjang yang
mengkilat. Benda yang ia ambil dari gadis yang tadi pagi ia temui. Semua pasang
mata yang ada diruangan tersebut langsung menghentikan makannya menatap Liam
yang kini sedang memegang benda yang pria itu takuti.
“Liam,
bukannya kau....”
“apa? Takut
sendok?” balas Liam yang memotong pertanyaan Harry. Harry pun langsung
mengangguk mendengar ucapan Liam.
“tapi itu
dulu, sekrang ketakutanku sudah hilang”
Niall. Harry,
kak Louis, Zayn dan Aurora langsung melongo mendengar ucapan Liam. Mereka
seakan-akan tidak percaya.
***
Hembusan angin
membuat permukaan air danau bergerak-gerak. Daun-daun mahoni yang mulai
menguning berhamburan jatuh tertiup angin mengenai rambut seorang pria
berpakaian kemeja lengan panjang yang sengaja ia gulungkan hingga batas siku.
Pria itu menarik napasnya dalam-dalam merasakan udara sejuk masuk kedalam
paru-parunya mengenai alveoulus, meregakan rasa lelahnya yang selama dua bulan
ini telah disibukan oleh pekerjaan. Rasa lelahnya mungkin akan segera lenyap
setelah ia menemui gadis yang saat ini ia tunggu. Gadis yang selama ini ia
rindukan. Gadis yang membuat rasa takutnya hilang terhadap sendok. Ia berdiri
tepat dibibir danau memperhatikan permukaan danau tersebut menciptakan bayangan
dirinya.
“Huh,
kenapa dia lama sekali?”, ucap pria itu kesal yang sejak dua puluh menit yang
lalu telah berdiri menunggu seorang gadis. Lantas ia membungkukan punggungnya
mengambil segumpal kerikil yang berada ditanah yang ia pijaki. Ia
menyemplungkan benda keras itu kedalam danau membuat permukaan air danau menghasilkan
lingkaran dan bunyi ‘plung’.
“Dia datang?
Dia tidak datang? Dia datang? Dia tidak datang?....”
Satu persatu
kerikil itu dicemplungkan dibarengi dengan kedua bibir yang terus berucap
menanyakan kedatangan gadis itu. rasa gundahnya mulai muncul, ia takut jika
gadis itu tiba-tiba membatalkan janjinya.
“Aku datang,
Liam”. Mendengar suara yang tiba-tiba muncul membuat pria bernama Liam
membalikan tubuhnya mendapati gadis berambut brunette.
“Yea!,
kenapa kau lama sekali?. Kau yang membuat janji tapi kau yang terlambat, ck”
“maaf Liam,
tadi aku ada urusan mendadak”.
“emm, aku
ingin kau mengembalikan sendok ku”
“apa? Kau
menyuruhku menemuimu hanya untuk itu. Huh, ku kira kau akan bilang
‘sudah lama ya kita tak bertemu. Aku kangen padamu Liam’”, pria itu menjawab
dengan nada yang dibuat-buat menyerupai suara wanita.
“Bukankah
kalimat itu yang akan kau katakan padaku? Kau merindukan ku kan?”.
Liam tersipu
malam mendengar ucapan lawan bicaranya. Sementara gadis itu menyengir kuda apa
yang diucapkannya ternyata benar.
“Ya aku
merindukanmu tapi hanya sedikit”, jawab pria itu dengan gelagat kikuk.
“sedikit? Aku
tak percaya!. Lebih baik sekarang kembalikan sendok ku!”, tangan gadis itu
terulurkan memperlihatkan ruas-ruas garis di telapak tangannya.
“Tidak! Aku tak
mau!”
“kenapa?
Bukankah jika kau sudah melupakan pria itu kau akan mengembalikannya?”
“memangnya kau
sudah melupakan Zayn?”
“untuk apa aku
meminta sendok itu jika aku belum berhasil melupakan pria itu. sekarang cepat
keluarkan sendok itu!”
Pria itu merogoh
kantung belakang jeansnya,
mengambil benda yang selama dua bulan ini selalu dibawanya kemanapun ia pergi.
“sini!,
berikan sendok itu!”, seru gadis itu lagi.
“tidak bisa!”
“kenapa tidak
bisa?”
“karena...
karena aku jatuh cinta kepada pemilik sendok ini. I love spoon and I love
you”.
Mata gadis itu
melotot mendengar kalimat terakhir yang baru diucapkan Liam, tenggorokannya
terasa tercekak, udara disekitarnya seakan akan menghilang. Dan disaat itu pula
dunia terasa berhenti. Apa aku tak salah dengar, pekik gadis itu.
“A...a.. apa
maksud mu?”, dengan bersusah payah gadis itu mengumpulkan energi yang masih
tersisa meminta penjelasan dari pria yang berada dihadapannya.
Bukkk...
Tiba-tiba
suara dentuman keras terdengar seperti suara buah yang terjatuh dibalik pohon
yang tidak jauh dari hadapan dua insan yang masih saling menatap menanti
jawaban. Kedua pasang mereka langsung menatap pohon itu mencoba ingin tahu buah
apa yang terjatuh. Tetapi bukan buah yang terjatuh melainkan seorang pria
berambut pirang.
“Niall?’,
desis Liam dengan suara pelan kenapa tiba-tiba ada pria itu.
“Yea! Harry,
kenapa kau mendorongku?”
“Bukan aku
Niall, tapi kak Louis”, protes pria berambut blonde yang sedikit curly,
tidak terima atas tuduhan Niall yang masih terduduk ditanah.
“tanganku
digigit semut jadi, aku refleks mendorong kalian”, ucap pria berbaju
garis-garis yang berada dibalik punggung Harry. Jari-jari tangannya menggaruk
tangan sebelahnya yang sedikit memrah terkena gigitan hewan kecil.
“Niall? Harry?
Kak Louis? Kenapa kalain ada disini?. Kalian membuntuti ku sejak tadi?”, ucap
Liam yang baru sadar ternyata ketiga sahabat teranehnya itu mengikutinya
sementara, ketiga pelaku tersebut hanya menyengir kuda gagal menjalankan
misinya sebagai pengintip.
“Hei,
Liam seharusnya kau mengatakan ini kepada Angle. Kau tau Angle sebelum aku
bertemu denganmu aku sangat takut dengan sendok tapi setelah aku bertemu
denganmu ketakutanku adalah aku sangat takut kehilangnmu. So, please be my
girlfriend”, bagaikan raja gombal, Louis mengeluarkan kata-kata rayuan
kepada Liam. Sebelah tangannya, mengambil tangan Niall dan mengucapkan
rayuannya menjadikan pria pirang itu sebagai Angle. Harry yang melihat adegan
itu langsung cemburu dan menarik paksa tangan Niall.
“kak Lou, caramu
itu sudah basi. Liam kau harus melihatku dan mempraktekannya setelah ini.
Karenamu ketakautanku terhadap sendok telah menghilang, karena kamu aku
mengetahui betapa pentingnya sendok untuk orang-orang, dan karena kamu pula,
aku mengetahui betapa pentingnya engkau untuk diriku, Angle”, usai kalimat itu
berakhir Harry langsung mengecup puncak tangan Niall. Niall yang berpura-pura
berperan sebagai Angle lantas tersipu malu.
Liam yang
merasa dipojoki oleh teman-temannya hanya memukul pelan kepalanya beberapa kali
dengan sendok yang ia pegang. Ia merasa kesal sekaligus malu, kini rencanya
menyatakan perasaannya kepada Angle benar-benar kacau. Sementara gadis itu
hanya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah konyol tiga sahabat teraneh Liam.
Kepala Liam yang ia ketuk-ketukan dengan sendok mulai mengeluarkan rasa sakit
lantas ia meurukan tangannya.
Tiba-tiba saat
tangannya sudah ia turunkan, ia merasa tangan Angle menyetuhnya. Mengeratkan jari-jari tangannya dengan tangan
Liam yang masih memegang benda yang mempertemukannya dengan cintanya. Senyuman
manis gadis itu langsung merekah saat Liam menatapnya.
“I love
spoon and I love you, too”, ucap gadis itu dengan suara pelan seperti
berbisik.
- The End-
No comments:
Post a Comment