Sekolah....?
Hyyyyy!!!! *jerit histeris*ya ampun udah lama banget ga ngepost. Biasalah beban pelajar yang paling atas tingkatannya. sibuk banget sama yang namanya tugas akhir dan segala test yang beremembel - embel (?) ujian. Pas setelah ujian Nasional mungkin bisa ngerasaan udara bebas ehh gatau nya malah semakin hilang udaranya. setiap hari dijejelin soal SBM. udah ah~ gamau ngeluh mulu.
oiya mau tau engga besok pengumuman SNMPTN lhoo.. dari tadi tuh bulak - balik buka kulkas minum air dingin buat ngilangin deg - degan. tapi yang ada malah kembung. (loh ko malah jadi curhat ). Yaudah deh ~ pokoknya Bagi yang membaca 'blog ini' doain saya ya semoga bisa diterima di PTN yang saya idam- idamkan.
Post-an kali ini masih sama dengan post sebelumnya yaa berisikan cerpen - cerpen amatir yang saya buat.
Walaupun cerpemmya fiksi tapi secara keseluruhan ini seperti yang saat alami di SMA. Termasuk guru - guru yang ada di cerpen ini memang beneran ada. Sekedar info cerpen ini pernah saya ikutkan di lomba #KenapaSekolah dan harus bersaing dengan 635 naskah. Tapi ternyata tidak berjodoh .-. ( tuh kan curhat lagi ).
So, this is.... Sekolah...?
Sekolah....?
“Mom, apakah kau lihat buku
jurnal ku?”, tanyaku sedikit berteriak kepada mama ku yang mungkin saat ini
sedang sibuk dengan celemak dan peralatan masaknya.
“Kau coba cari saja
sendiri. Kau tidak mau kan sarapan mu berwarna hitam”, jawabnya yang tidak
membantu sama sekali.
“bisakah kau mengingat
terakhir kali meletakkannya?”, tanya ku lagi yang mulai kesal dengan kebiasaaan
beliau yang selalu merapikan kamar ku namun selalu lupa dimana ia meletakan
barang - barang ku. Dan bodohnya aku selalu malas untuk membereskan kamar,
alhasil ya seperti inilah. Sudah setengah jam aku sibuk mencarinya namun
hasilnya nihil dan tak ada tanda – tanda balasan daari mama ku.
“Bisa gila aku jika tidak
menemukannya. Kenapa juga aku menyelipkan kertas kerangka essay ku di buku
tersebut. Bodoh... bodoh! c’mon jurnal perlihatkan batang hidung mu”.
“Zyan, cepat turun
sarapannya sudah siap!”
Ku hiraukan teriakan mama
dan terus mencari objek yang masih belum terlihat. Ku hentikan pencarian ku. Diam
sejenak, mencoba mengingat bagian mana yang belum diperiksa. Meja belajar,
tempat tidur, kolong tempat tidur, bawah bantal sudah ku geledah tapi tetap
saja tak ada. Haruskah aku mencarinya di kloset?
Tunggu! masih tersisa satu
tempat lagi. Tumpukan novel. Mata ku menyapu ke sudut ruangan mencari titik
keberadaan benda tersebut.
“I found you,
Haha...”, ucapku setengah gembira melihat buku bersampul ungu yang terselip
diantara tumpukan koleksi novel tebal ku. Bak orang yanng dendam, ku tarik
paksa buku tersebut dan membuat tumpukan tersebut bagaikan menara yang
kehilangan keseimbangan. Buukkk...
Ku ambil satu persatu
hamparan novel tebal yang kini telah mulai memudar, memisahkannya berdasarkan
ukuran. Namun ada satu novel yang memiliki ukuran tersendiri. Saat ku lihat cover
nya ternyata itu bukanlah koleksi novel ku melainkan buku tahunan sekolah ku
yang sudah tebal akan debu – debu halus. Ku tatap cover buku tersebut
lebih lama, memandang barisan yang dibuat oleh angkatan ku membentuk angka dari
nama sekolah ku. 66.
Berlahan - lahan ku buka hard
cover nya yang saat dibuka akan menunjukan pop up bergambar sekolah
ku yang minimalis atau istilah kasarnya kecil. Lembar demi lembar telah ku buka
menampilkan sosok yang sudah lama tidak ku temui. Para guru yang mulai keriput
di setiap inchi wajahnya namun masih memiliki semangat mengajar walaupun
terkadang anak didiknya sibuk mengobrol dan hanya mengganggapnya berdongeng.
Guru dengan kumis hitam tebalnya kini menjadi pusat perhatian ku. Kumisnya yang
akan selalu terangkat ketika tersenyum manis namun dibalik senyuman manisnya
ada hawa – hawa misteri yang aku rasakan. Emm... lebih tepatnya rasa takut.
Tepat dibawah foto Beliau
terdapat seorang guru yang sangat berisi, I mean...emm kelebihan berat
badan yang selalu dianggap oleh kawan- kawan ku guru yang paling galak dan yang
paling reseh tapi bagi ku dia adalah guru yang amat baik walaupun wajah
baiknya tidak terlihat di wajahnya yang cukup bulat. Fertiny, itulah namanya
atau yang lebih dikenal sebagai Bu Fer, namanya mungkin akan selalu diejek
ketika pelajaran kimia di mulai khususnya pada bab larutan penyangga (Buffer).
Semakin jauh ku buka
lembaran demi lembaran dan semakin memori ku larut akan kejadian – kejadian di
tahun terakhir semasa SMA. Jenuh, ya itulah yang ku rasakan saat beberapa ujian
yang harus ku tempuh sebagai persyaratan kelulusan. Di mulai dari ujian praktik
yang berhasil membuat ku tepat berada di puncak titik elastis. Titik kejenuhan.
Sampai – sampai aku berpikir, kenapa aku harus sekolah? Kenapa pula aku harus
mengikuti segala ujian yang menyebalkan ini? Memangnya ujian praktik ini akan
dipertanyakan di dunia pekerjaan? Kurasa tidak!
Pada saat itu, aku berusaha
melawan rasa jenuh akan ujian tersebut dengan menyibukkan diri ku untuk membuat
suatu hal yang bisa membuat ku bertahan untuk tidak kalah dengan pikaran ku
akan segala ujian yang nantinya akan ku hadapi. Ku putuskan untuk membuat short
movie, kini hasil keisengan ku tersebut telah terbungkus rapi di dalam
benda bulat tipis yang salah satu sisinya mengkilat. Tanpa ku sadari short
movie yang ku buat telah memiliki tempat tersendiri didalam buku tahunan
yang saat ini ku pandangi. Barisan huruf kapital membentuk kata ‘KENAPA HARUS
SEKOLAH?’ terpampang jelas di benda yang mirip donat tersebut yang ku jadikan
sebagai judul untuk hasil karya keisengan ku.
Detik pertama saat film
tersebut diputar menampilkan sekolah ku yang sangat minimalis namun kenangan
yang di sekolah ini tidak seminimalis sekolah ini. Aktor pertama pun muncul
yaitu mantan ketua osis, Ervin Bagaskara. Cowok berkharisma dengan tampangnya
yang cukup bijaksana but not wise at all.
“Jembatan kesuksesan”,
jawabnya saat ditanyai kenapa kita harus sekolah. Jawaban yang sangat simple
namun memiliki arti yang lebih dari kata simple.
Aktor selanjutnya, Thomas
Arifin dan Thomas Arif. Si Duo Kembar yang memiliki tingkat ke-playboy-an yang
sama namun memiliki gaya rambut yang berbeda. “kenapa kita harus sekolah? Kaerna
dengan kita sekolah kita dapat dengan mudah menemukan bidadari kita”, ungkapnya yang membutku melongo mati kutu
mendengarnya. Memangnya kalian pikir sekolah ini tempat ajang cari jodoh. Ckck.
Wajah Si Duo Kembar kini
digantikan oleh gadis si penggemar Negeri Ginseng. Lebih tepatnya mengidolakan
artis – artis di negera tersebut dan selalu menganggap Korea jauh lebih baik
dibandingkan Indonesia. Argumen yang membuat ku setuju namun tak sepenuhnya
setuju.
“Karena
gue pengen kaya jadi gue harus sekolah”, ya seperti itulah jawabannya. Jawaban
yang terdengar mainstream namun benar apa adanya.
“sekolah itu tuntutan, bro...”
“kanapa harus sekolah? Emm, mungkin menuruti
keinginan orang tua..”
“sekolah? Menghibur diri. Thats
all..”
“tentu saja kita ke sekolah untuk mencari nilai
sebanyak – banyaknya untuk bisa lulus.”
“untuk mendapatkan
pendidikan...”
Film tersebut terus
berputar manampilkan teman – teman seperjuangan beserta alasan mereka mengenai
sekolah. Jujur saja argumentasi tersebut pada saat itu belum mampu membangkitkan
semangat ku untuk tetap besekolah namun aku pun puas setidaknya mereka
merelakan 5 menit mereka terbuang untuk melengkapi proses pembuatan short
movie ini. Tapi diantara alasan-alasan tersebut ada satu alasan yang mampu
membuat ku sedikit sadar akan pentingnya sekolah. Alasan tersebut datang dari
mantan ketua kelas ku.
“Mungkin lo beranggapan
sekolah itu bisa dimana aja, di rumah, di pasar, bahkan di jalan pun bisa. Tapi
hanya bersekolah di sekolah lah yang akan kalian rasain bagaimana rasa akan
kebersamaan mencontek PR, kekeluargaan, rasanya mencontek ketika ulangan,
bersembunyi ke kantin saat ada mata pelajaran yang kosong dan sesuka hati melanggar
pelangggaran sekolah. Even your feeling of love akan lo rasain di
sekolah. Rasanya jatuh cinta, jeles dan yang terakhir patah hati. Semua
hal - hal itu hanya bisa lo rasain di sekolah. Mungkin memang bisa ngerasain
hal-hal romance tersebut di luar sekolah tapi akan lebih klimax
lagi jika lo ngerasain itu semua disini. Di sekolah kita!”, ungkapnya yang
berbicara sebijak mungkin dan didukung pula dengan tampangnya yang memang sudah
terlihat dewasa.
Menit-menit terakhir pun
berlalu menampilkan sosok diriku yang aku sadari terdapat perbedaan yang amat contrass
dengan diri ku yang sekarang.
“Hai nama gue Zyana
Andriani. Well, kenapa gue buat video ini untuk... oke sebenernya untuk
menyibukkan diri dan menghilangkan jauh - jauh pikiran negatif ataupun ketakutan
ujian – ujian yang bakal gue hadapi. So, this is my reason kenapa kita
harus sekolah. Dari sekolah inilah kita bisa melihat dunia yang lebih luas yang
kita mulai dengan langkah kecil ketika berada di SD hingga beranjak ke SMA. Mungkin
kalian berpikir kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan dari pendidikan
yang ia emban namun pendidikanlah yang menjadi kendaraan kita untuk menuju ke
kesuksesan tersebut. Jika pun ada seseorang yang sukses tanpa malahap bangku
sekolah, karena orang tersebut telah mendapatkan bonus dari Tuhan YME, yaitu
suatu keberuntungan. Dan jika kita hanya berharap akan keberuntuang itu salah
karena hidup tidak akan pernah beruntung jika kita hanya mengandalkan
keberuntungan. Dan yang terakhir, sekolah bukanlah suatu tuntutan ataupun suatu
kewajiban namun suatu keinginan yang harus dimiliki oleh setiap orang”,
ungkapku yang terkesan menggebu – gebu dan diakhiri dengan yel-yel penyemangat
ala Full House
“AJA! AJA! FIGHTING!”
Di menit ke 49, film ku pun
berakhir dengan menampilkan layar hitam gelap diikuti dengan iringan lagu
andalan angkatan ku Ingatlah Hari ini dari Project Pop.
Kamu sangat berarti Istimewa dihati
Selamanya dihati rasa ini. Jika tua nanti
Kita t’lah hidup masing – masing
Ingatlah hari ini...
“Zyana, ayo cepat turun!
Sarapan mu sudah mulai dingin!”
Ku tutup buku tahunan ku
dan berusaha meletakkannya sebaik mungkin. Memastikan tempat tersebut cocok
untuknya agar Mom tidak membiarkannya ditempatkan di tempat lain yang nantinya
pasti akan lupa.
“okey Mom i’ll be right
there!”
The end
No comments:
Post a Comment