*cuapcuap ala author*
Holaaaaa semuanya..duhh udah lama ya ga ngepost... biasalah anak sekolahan sibuk dengan tugas-tugas belom lagi ulangan-ulangan dan yang paling klimax ya apa lagi kalo bukan ulangan semester. tapi untungnya itu semua udah selesai dan I'M FREE NOW!!
Eitss sepertinya belom deng masih menunggu hasil dan semoga hasilnya memuaskan. Aamiin...
mau cerita sedikit, pas lagi ulangan semester sejarah kemarin yang super susah. dari sekian soal saya cuma bisa ngerjain 5 soal dan itu pun juga ga yakin bener. padahal sisa waktunya masih 1 jam lagi tapi berhubung otak saya udah mentok dan engga tahu lagi mau nulis apa jadi yang saya lakuin cuma nyoret-nyoret kertas soal. dan entah datang dari mana tiba-tiba ide buat cerpen muncul. And...
This is it. Should I....? made by me, Dream Girl. Hope you like it, Guys...
“pagi Jevan...”
“Haiiii Jev....”
“Jevan ini bekal untuk mu. Ku
buatkan khusus untuk mu”
Mata ku memincing ke sumber suara
tersebut menatap para gadis lenceh dan centil yang sedang berusaha mencuri
perhatian pria sombong nan angkuh. JEVANNO ANGGARA. Yup, pria yang sangat
disanjung-sanjungkan oleh semua gadis di SMA TUNAS PELITA kecuali aku dan
mungkin satu sekolah ini pun tahu siapa itu Jevanno bahkan ibu-ibu kantin pun
juga ikut-ikutan menggosipi pria jutek tersebut.
“Cih, setidaknya dia
mengucapkan terima kasih terlebih dahulu. Dasar pria angkuh”, ucapku berdecak
kesal melihat tingkah Jevan yang langsung meninggalkan gadis yang telah
memberinya bekal.
“hei, kau kenapa?”, suara khas pria
yang duduk bersebelahan dengan ku mengagetkanku. Ku majukan bibirku menunjuk
kearah Jevan yang kini sedang duduk sendirian dikantin. Tidak, dia tidak
sendiri melainkan bersam buku tebal yang selalu ia baca. Entahlah itu buku apa
karena cover buku tersebut tersampul dengan kertas abu-abu mengkilat.
“Jo, apa kau tahu kenapa Jevan
selalu berlagak seperti itu?”, tanyaku pada Jonathan yang merupakan orang
pertama yang ku kenal tiga tahun yang lalu di SMA ini yang kini menjadi
sahabatku.
“berlagak seperti apa?”
“Ck, perlukah ku jelaskan
Jo?”, tanyaku dengan menatapnya kesal dan bukan jawaban yang kudapatkan tetapi
dia malah menatap ku balik.
“ya seperti itu, bertindak semaunya.
Ini sudah tahun terakhir kita disekolah ini tetapi kenapa dia masih belum
berubah. Setidaknya ia balas tersenyum ketika gadis-gadis centil itu menyapanya
bukan melongos pergi begitu saja. Ya aku tahu dia memang ganteng tapi ga gitu
juga dong.....”
“HAHAHAHA.....”, tiba –tiba saja Jo memotong
ucapan ku yang belum terselesaikan dengan ketawanya yang menggelegar
sampai-sampai para pengunjung kantin menatap kita.
“Stop Jo! Aku belum selesai dan
kenapa kau tertawa? Aku tidak sedang melawak”
“Andin... Andin...bukannya kita
maksudku, aku, kau dan Jevan telah bersahabat selama tiga tahun dan ku rasa kau
memang tahu jika sifat dia memang seperti yang kau bilang barusan. Dan kenapa
pula kau masih mempermasalahkan tentang itu?”
“siapa bilang aku dengannya
bersahabat? Aku tidak menganggapnya sebagai sahabat!”
“kenapa kau bilang seperti itu?”.
Kini Jo menatap ku dengan tatapan heran atas ucapanku.
“karena ku pikir dia juga tidak
menganggapku sebagai sahabat”
“alasannya?”, tanyanya lagi yang
sukses membuatku jengkel. Kedua alis tebalnya hampir menyatu.
“alasannya karena dia selalu pergi
ketika aku datang menghampirimu dan dia hanya akan menemuimu jika aku tidak
ada. Kalaupun dia menganggap ku sebagai sahabat kenapa juga dia tidak datang ke
meja ini dan duduk bareng dengan kita bukan menyendiri dengan bukunya yang
menyeramkan itu!”
“Menyeramkan? Hahaha....”
Jonathan kembali terkekah
mendengarku mengucapkan kata menyeramkan. Coba saja kau liat buku itu, sudah
tebal, warna kertasnya kumuh dan coklat kusam seperti keluaran tahun 80-an.
Jika kau lihat mungkin kau juga akan bilang buku itu menyeramkan.
“Sudahlah Andin lebih baik kau
sholat Dhuha. Jernihkan pikiran mu dan ketahuilah Jevan tidak seburuk yang kau
pikirkan”
Ya itulah Jonathan Adrian yang selalu
menyuruhku shalat jika aku sedang emosi. Walupun kita berbeda keyakinan tetapi
dia selalu mengingatkan ku akan penting shalat. Pria dengan kacamatanya yang
bertengger dihidung mancungnya amat berbeda sekali dengan Jevan. Jo selalu
tersenyum dan menyapa balik gadis-gadis yang menyapanya. Tidak seperti Jevan
yang selalu menyendiri huh dasar UNSOS!
“baiklah, aku akan ke mesjid. Selagi
aku shalat lebih baik kau mengerjakan ini dan setelah itu kau mengajariku
menyelesaikannya. Bagaimana?”
“okey”, ucapnya sembari menunjukan
ibu jarinya dan aku beranjak meninggalkannya menuju ke masjid. Tapi sebelum
kaki ku melangkah keluar dari kantin aku menatap kedua pria tersebut secara
bergantian.
Sungguh benar-benar berbeda, ucapku bergeming.
Selama menuju ke Masjid pikiranku terus memutar
memori saat pertama kali aku bertemu dengan Jevan. Saat itu aku tengah menunggu
Jo di taman untuk belajar bersama dan tiba-tiba
saja ia datang dan langsung memperkenalkanku dengan Jevan. Aku pun
dengan berantusias mengangkat tanganku hendak bersalaman dengannya tetapi apa
yang dia lakukan?. Dia melongos pergi dan membiarkan tanganku yang menggantung
tak berarti dan dengan entengnya Jo mengucapkan “dia memang seperti itu” dan
aku hanya dapat terdiam bingung mendengarkan pernyataan Jo.
***
Ku pandangi deret-deret angka dan
rumus-rumus yang telah membuat ku pusing. Fisika oh fisika. Kau membuat ku
gila. Bagaimana tidak? sebulan lagi Ujian Nasional akan diadakan tapi sampai
sekarang aku masih buta dengan soal-soal fisika dan belum lagi
trigonometri yang sukses membuat ku
panas dingin melihat soal sin, cos, tangen, cotangen dan kawan-kawannya.
Membayangkannya saja sudah membuatku ngeri.
Cciiiitttt....
Tiba – tiba
decitan rem sebuah mobil membuyarkan lamunanku. Sebuah mobil berwarna merah
menyala kini tepat berhenti di depan rumah Jo. Ya, saat ini aku sedang berada
di rumah Jo yang telah bersedia ingin mengajarkanku. Lebih tepatnya aku
merengek ingin diajarkan. Dan saat pintu mobil terbuka ku ketahui sang empunya.
“Hai Jev, tumben sekali kau datang”,
sapa Jo dan orang yang disapa kini berjalan mendekati kami berdua dengan
mengangkat tangannya sebagai tanda ‘hai’.
“aku ingin mengobrol dengan mu tapi
sepertinya kau sedang ada tamu”, jawab Jevan yang kini memincingkan matanya ke
arahku dengan tatapan membunuh.
“bagaimana kalau kau gabung bersama
kita? Emmm... belajar bersama?”, tawarku
berbasa-basi yang sebenarnya aku tidak sudi jika dia bergabung.
“untuk apa aku belajar. Toh tanpa
belajar pun aku bisa mengerjakan sial UN dengan mudah. Kau tahu IQ ku ini
tinggi”
“Cih, sombong sekali kau!”
“tapi itu memang kenyataannya”
“mana ada orang ber-IQ tinggi tetapi
tidak pernah masuk ke 3 besar. Boro-boro 3 besar, 10 besar pun kau tidak masuk.
Bahkan aku tidak pernah melihat nama mu di daftar murid berprestasi”, sindirku
yang mulai emosi dan ucapanku berhasil membuatnya tegang.
“itu karena aku malas. Mungkin jika
aku rajin aku bisa mengalahkan pria disamping mu!”
“Buktikan!”
“baiklah jika itu mau mu, aku akan
membuktikannya. Dua bulan lagi kau akan melihat nama ku, Jevanno Anggara di
daftar 25 siswa dengan nilai UN tertinggi”. Aku yang mendengarkan kalimat itu
hanya dapat terkekah akan omongan kosongnya. BIG LOL Jevan!
“Jo, aku akan tunggu di kamarmu dan
jika gadis ini pulang temui aku”, ucap Jevan lagi dan langsung memasuki rumah
Jo tanpa meminta izin kepada sang empunya.
“Cih, bahkan di rumah orang
lain pun dia masih saja bertindak semaunya. Dasar tidak punya sopan santun!”.
Entah kenapa saat aku melihatnya emosi ku terus naik membuatku ingin
marah-marah.
“Andin, sudah ku bilang Jevan memang
seperti itu. kau ini seperti baru mengenalnya saja. Ingat kita bertiga sudah
hampir 3 tahun bersahabat”
“sahabat? Mungkin kau saja yang ia
anggap sahabat. Untuk ku tidak”.
Sedetik kemudian
Jo langsung merapku tajan dan itu artinya dia akan bilang ‘lebih baik kau
shalat’.
“kenapa menatapku seperti itu? kau
mau menyuruhku shalat?”. Dia pun mengangguk pelan.
“jernihkan pi...”
“sayang sekali aku sedang tidak
shalat”, ucapku memotong ucapannya yang sudah ku hapal pasti dia akan bileng
‘jernihkan pikiranmu dan Jevan tidak seperti yang kau bayangkan’.
“yasudah, kalo kaya gitu lebih baik
kita lanjutkan belajarnya. Kau tidak ingin gagal UN kan?”.
Aku pun mengangguk mantap memandang kembali
angka demi angka dan simbol-simbol yang hanya ku ketahui sebagian. Tapi , entah
kenapa aku membayangkan wajah Jevan barusan. Wajahnya seperti orang sakit,
pucat pasi. Ada apa dengannya ya?, pikir ku bertanya-tanya. Hell yeah,
kenapa juga aku memikirkan orang sombong bermulut besar tersebut. tak ada
untungnya!.
Hei jevan,
cepatlah keluar kau dari otakku. Kau tau, kau itu mengganggu konsentrasiku. Ayo
cepat keluar!. Bagaikan bak orang gila aku pun memukul-mukul
kepala ku beberapa kali.
***
Lantunan musik terdengar indah
memenuhi ruangan ini. Pandangan ku menyapu ke seluruh ruangan. Tawa canda,
wajah-wajah bahagia dan gembira itulah yang kini ku lihat di ruangan promnite
ini. Dan entah kenapa mataku terus berkeliaran seperti mencari seseorang,
tetapi aku pun tak tahu siapa yang ku cari. Menyebalkan bukan?.
Ku lihat di ujung sana Jo sedang
tersenyum manis menyalami teman-temannya yang berlalu lalang memberi selamat.
Ku langkahkan kaki ku mendekati pria yang kini tengah mengenakan tuxedo hitam
dan sebuah kalung salib menggantung indah di dadanya. Tunggu!. Ada yang berbeda
dari Jo. Dia tidak mengenakan kacamata yang selalu bertengger di hidung
mancungnya. Ini pertama kalinya aku melihatnya tanpa kacamata.
“kenapa?”, tanyanya mengerlingkan
matanya ke arah ku yang tengah sibuk mengamatinya dari ujung sepatu hingga ke
wajahnya. Pria ini sungguh tampan. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku pun
langsung menghambur kedalam pelukannya, mendekapnya erat. Ia pun membalas
pelukanku.
“selamat telah menjadi lulusan
terbaik. I’m proud of to be your bestfriend, Jonathan Adrian”, ucapku
seraya melepaskan pelukannya.
“Selamat untuk mu juga, Chairunnisa
Andini yang resmi lulus dan telah bersedia menjadi sahabat ku”, balasnya dengan
menatap mata ku dan aku hanya bisa tersenyum mendengarkannya.
“Haloooo...semuaaaa!!!. Duhhh yang
wajahnya pada seneng...”
Tiba-tiba saja
suara MC mengalihkan pandangan ku dan Jo yang saling menatap dan bak seorang
penyihir semua mata kini tengah menatap MC tersebut. Mendengarkan ocehannya
dengan amat serius tidak mau terlewatkan satu kata pun.
“oke kita akan lanjut ke acara
berikutnya tapi sebelum lanjut, gue mau ngucapin Big Congrats for kita semua
SMA TUNAS PELITA yang telah lulus. Perjuangan kita ga sia-sia guys. Okey, acara
selanjutnya yaitu ‘Dance Together’. Jadi, lo lo semua dansa dengan lawan
jenis lo, entah itu temen lo, gebetan lo atau pacar lo. Nah nanti, pas musiknya
ganti, lo lo juga harus berganti pasangan yang berada di dekat lo. Gimana?
Ngerti kan lo semua? Oke Lets Begin!”.
Dan seketika itu
pula, semua orang menghambur pergi mencari pasangan dansanya.
“mau berdansa dengan ku?”, tawar Jo
dengan sebelah tangannya yang terulur ke arah ku.
“dengan senang hati”, jawabku,
meletakan tanganku diatas tangannya. Dan musik pun mulai mengalun indah
menemani kita.
“setelah ini kau akan melanjutkan
kulliah dimana?”, tanya ku di tengah-tengah dansa ku dengan Jo.
“entahlah aku juga tidak tahu”, aku
pun menatap Jo dengan tatapan curiga mendengar jawabannya.
“Hei, hei, Dont look at me like
that. Aku janji setelah aku diterima di universitas yang aku inginkan aku
akan memberitahumu”
Aku hendak
membuka mulut berniat membalas janji Jo tapi, suara musik kini telah berganti
dan mengharuskan ku untuk melepaskan tangan Jo dan HAP!. Sebuah tangan seorang
pria kini telah melekat di pinggang ku. Ku tatap pria berkaca mata dengan
tatapan terkejut. Hell yeah, kenapa juga aku harus berdansa dengan dia?
“JEVAN!”, ucap ku dengan refleks dan
tanpa persetujuan dari ku, ia mengambil kedua tangan ku meletakkan di
pundaknya.
“sedang apa kau disini?”, tanya ku
ketus.
“tentu saja aku sedang berdansa
dengan mu”.
“ku kira kau tak akan datang dan
lebih memilih menyendiri dengan buku tebal mu”
“sebenarnya aku juga malas datang
tapi... ada seseorang yang ingin ku temui”
“siapa?”,tanyaku penasaran.
“Kau!. Dan kedatangan ku ternyata
tidak sia-sia, kau nampak cantik malam ini”
“Huh, terdengar sarkastik!”
“Benarkah?, padahal aku
mengucapkannya dengan tulus”
“Whatever!. Lalu kenapa kau ingin
menemui ku?”
“emm.. kau sudah melihat daftar
siswa yang mendapatkan nilai UN tertinggi?”
“tentu saja aku sudah melihatnya”,
jawab ku cepat dan baru ku ingat bahwa nama JEVANNO ANGGARA menempati urutan
kedua setelah nama Jo. Sungguh patut dipertanyakan.
“lalu apa reaksi mu?”
“biasa saja karena aku sudah menduga
dan percaya bahwa Jo yang akan menempati urutan teratas”.
“aku dan Jo mendapatkan nilai yang
sama dan kau tidak ingin memberiku selamat dan mengakui IQ ku yang tinggi ini?”
“untuk apa aku memberi mu selamat?
Aku tahu kau pasti belajar mati-matian demi membuktikan ucapanmu. Hahaha...”.
Jevan yang mendengar ucapanku langsung menatapku tajam tidak terima dengan
ucapan yang baru saja ku keluarkan dari mulutku.
“well, baiklah. Dengarkan
baik-baik, aku hanya mengucapkannya sekali. Selamat telah menjadi lulusan
terbaik dan terima kasih telah membuktikan janji mu. Once again big congrats
and big thanks to you”, ucapku dengan frekuensi yang rendah tetapi aku
yakin Jevan bisa mendengarkannya. Dan bisa ku lihat Jevan menarik ujung
bibirnya membentuk senyuman. Oh God, ini pertama kalinya aku lihat ia
tersenyum. Sungguh manis.
“How lucky Jo having you as his
girlfriend.”
“ma.. maksud mu?”
“iya, Jo beruntung menjadi milik mu
dan aku cemburu mengetahui itu”
“Hei, a..a..aku.. sama Jo
ti..dak....”
Belum selesai aku menjelaskannya
tapi musik telah berganti. Dear DJ atau siapa pun yang mengganti musik ini.
Kau sungguh menggantinya di waktu yang
tidak tepat! Arggghhh...
~To be Continue~