Monday, June 30, 2014

Should I....? (Ending)


“Huhhh..”, helaku membuang napas panjang.
            Minggu ini sungguh amat melelahkan. Para dosen mata kuliah ku sepertinya telah berencana memberikan tugas serempak dan di kumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Huh, benar-benar menyebalkan. Dulu ketika aku masih duduk di bangku SMA, ku pikir menjadi mahasiswa akan menyenangkan karena akan terbebas dari tugas tapi nyatanya emm.. sama saja. Sampai-sampai Miss Alline, dosen yang tidak pernah memberikan tugas kini ikut-ikutan memberikan tugas. Kutatap kesal ke kertas yang ada digenggaman ku, membaca ulang tugas yang diberikan tugas oleh Miss Alline.

Thursday, June 19, 2014

Should I....? (Part 2)


Huh, kenapa Mr. Robin tega sekali memberi ku nilai C, padahal aku mengerjakan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Kapan aku bisa mendapat nilai A?”, runtuk ku memandang kertas lecak yang sudah ku remas-remas. Mr. Robin oh Mr. Robin. Memikirkan tentangnya mengingatkan ku dengan seseorang. Jutek, jarang senyum, berlagak so cool ya siapa lagi kalau bukan JEVAN dan satu lagi Mr.Robin itu pelit sekali dengan nilai, ini sudah semester 3 dan hanya sekali aku mendapatkan nilai B dari nya. Menyebalkan sekali bukan?
   “Andin, lebih baik kau shalat daripada memikirkan yang tidak-tidak”, ucapku bergeming. Aku jadi teringat sesuatu. Biasanya Jo yang akan mengucapkan itu tapi sampai sekarang aku tak tahu dimana Jo, terakhir aku melihatnya di acara Promnite dan setelah itu dia tak pernah muncul bahkan menghubungi ku juga tidak pernah. Huh Jo aku kangen.
BUKKK...
   Inilah akibatnya jika berjalan sambil melamun, tanpa ku sengaja aku menabrak seorang pria jangkung. Ku amati pria tersebut hendak meminta maaf tapi tunggu!, sepertinya aku mengenalinya.
   “Jevan! Kau Jevan kan?”

Wednesday, June 18, 2014

Should I....? (Part 1)

*cuapcuap ala author*
Holaaaaa semuanya..duhh udah lama ya ga ngepost... biasalah anak sekolahan sibuk dengan tugas-tugas belom lagi ulangan-ulangan dan yang paling klimax ya apa lagi kalo bukan ulangan semester. tapi untungnya itu semua udah  selesai dan I'M FREE NOW!! 
Eitss sepertinya belom deng masih menunggu hasil dan semoga hasilnya memuaskan. Aamiin...
mau cerita sedikit, pas lagi ulangan semester sejarah kemarin yang super susah. dari sekian soal saya cuma bisa ngerjain 5 soal dan itu pun juga ga yakin bener. padahal sisa waktunya masih 1 jam lagi tapi berhubung otak saya udah mentok dan engga tahu lagi mau nulis apa jadi yang saya lakuin cuma nyoret-nyoret kertas soal. dan entah datang dari mana tiba-tiba ide buat cerpen muncul. And...
This is it. Should I....? made by me, Dream Girl. Hope you like it, Guys...


            “pagi Jevan...”
            “Haiiii Jev....”
            “Jevan ini bekal untuk mu. Ku buatkan khusus untuk mu”
            Mata ku memincing ke sumber suara tersebut menatap para gadis lenceh dan centil yang sedang berusaha mencuri perhatian pria sombong nan angkuh. JEVANNO ANGGARA. Yup, pria yang sangat disanjung-sanjungkan oleh semua gadis di SMA TUNAS PELITA kecuali aku dan mungkin satu sekolah ini pun tahu siapa itu Jevanno bahkan ibu-ibu kantin pun juga ikut-ikutan menggosipi pria jutek tersebut.
            Cih, setidaknya dia mengucapkan terima kasih terlebih dahulu. Dasar pria angkuh”, ucapku berdecak kesal melihat tingkah Jevan yang langsung meninggalkan gadis yang telah memberinya bekal.
            “hei, kau kenapa?”, suara khas pria yang duduk bersebelahan dengan ku mengagetkanku. Ku majukan bibirku menunjuk kearah Jevan yang kini sedang duduk sendirian dikantin. Tidak, dia tidak sendiri melainkan bersam buku tebal yang selalu ia baca. Entahlah itu buku apa karena cover buku tersebut tersampul dengan kertas abu-abu mengkilat.
            “Jo, apa kau tahu kenapa Jevan selalu berlagak seperti itu?”, tanyaku pada Jonathan yang merupakan orang pertama yang ku kenal tiga tahun yang lalu di SMA ini yang kini menjadi sahabatku.
            “berlagak seperti apa?”
            Ck, perlukah ku jelaskan Jo?”, tanyaku dengan menatapnya kesal dan bukan jawaban yang kudapatkan tetapi dia malah menatap ku balik.
            “ya seperti itu, bertindak semaunya. Ini sudah tahun terakhir kita disekolah ini tetapi kenapa dia masih belum berubah. Setidaknya ia balas tersenyum ketika gadis-gadis centil itu menyapanya bukan melongos pergi begitu saja. Ya aku tahu dia memang ganteng tapi ga gitu juga dong.....”
            “HAHAHAHA.....”, tiba –tiba saja Jo memotong ucapan ku yang belum terselesaikan dengan ketawanya yang menggelegar sampai-sampai para pengunjung kantin menatap kita.
            “Stop Jo! Aku belum selesai dan kenapa kau tertawa? Aku tidak sedang melawak”
            “Andin... Andin...bukannya kita maksudku, aku, kau dan Jevan telah bersahabat selama tiga tahun dan ku rasa kau memang tahu jika sifat dia memang seperti yang kau bilang barusan. Dan kenapa pula kau masih mempermasalahkan tentang itu?”
            “siapa bilang aku dengannya bersahabat? Aku tidak menganggapnya sebagai sahabat!”
            “kenapa kau bilang seperti itu?”. Kini Jo menatap ku dengan tatapan heran atas ucapanku.
            “karena ku pikir dia juga tidak menganggapku sebagai sahabat”
            “alasannya?”, tanyanya lagi yang sukses membuatku jengkel. Kedua alis tebalnya hampir menyatu.
            “alasannya karena dia selalu pergi ketika aku datang menghampirimu dan dia hanya akan menemuimu jika aku tidak ada. Kalaupun dia menganggap ku sebagai sahabat kenapa juga dia tidak datang ke meja ini dan duduk bareng dengan kita bukan menyendiri dengan bukunya yang menyeramkan itu!”
            “Menyeramkan? Hahaha....”
            Jonathan kembali terkekah mendengarku mengucapkan kata menyeramkan. Coba saja kau liat buku itu, sudah tebal, warna kertasnya kumuh dan coklat kusam seperti keluaran tahun 80-an. Jika kau lihat mungkin kau juga akan bilang buku itu menyeramkan.
            “Sudahlah Andin lebih baik kau sholat Dhuha. Jernihkan pikiran mu dan ketahuilah Jevan tidak seburuk yang kau pikirkan”
            Ya itulah Jonathan Adrian yang selalu menyuruhku shalat jika aku sedang emosi. Walupun kita berbeda keyakinan tetapi dia selalu mengingatkan ku akan penting shalat. Pria dengan kacamatanya yang bertengger dihidung mancungnya amat berbeda sekali dengan Jevan. Jo selalu tersenyum dan menyapa balik gadis-gadis yang menyapanya. Tidak seperti Jevan yang selalu menyendiri huh dasar UNSOS!
            “baiklah, aku akan ke mesjid. Selagi aku shalat lebih baik kau mengerjakan ini dan setelah itu kau mengajariku menyelesaikannya. Bagaimana?”
            “okey”, ucapnya sembari menunjukan ibu jarinya dan aku beranjak meninggalkannya menuju ke masjid. Tapi sebelum kaki ku melangkah keluar dari kantin aku menatap kedua pria tersebut secara bergantian.
            Sungguh benar-benar berbeda, ucapku bergeming.
Selama  menuju ke Masjid pikiranku terus memutar memori saat pertama kali aku bertemu dengan Jevan. Saat itu aku tengah menunggu Jo di taman untuk belajar bersama dan tiba-tiba  saja ia datang dan langsung memperkenalkanku dengan Jevan. Aku pun dengan berantusias mengangkat tanganku hendak bersalaman dengannya tetapi apa yang dia lakukan?. Dia melongos pergi dan membiarkan tanganku yang menggantung tak berarti dan dengan entengnya Jo mengucapkan “dia memang seperti itu” dan aku hanya dapat terdiam bingung mendengarkan pernyataan Jo.
                                                                                    ***
            Ku pandangi deret-deret angka dan rumus-rumus yang telah membuat ku pusing. Fisika oh fisika. Kau membuat ku gila. Bagaimana tidak? sebulan lagi Ujian Nasional akan diadakan tapi sampai sekarang aku masih buta dengan soal-soal fisika dan belum lagi trigonometri  yang sukses membuat ku panas dingin melihat soal sin, cos, tangen, cotangen dan kawan-kawannya. Membayangkannya saja sudah membuatku ngeri.
Cciiiitttt....
Tiba – tiba decitan rem sebuah mobil membuyarkan lamunanku. Sebuah mobil berwarna merah menyala kini tepat berhenti di depan rumah Jo. Ya, saat ini aku sedang berada di rumah Jo yang telah bersedia ingin mengajarkanku. Lebih tepatnya aku merengek ingin diajarkan. Dan saat pintu mobil terbuka ku ketahui sang empunya.
            “Hai Jev, tumben sekali kau datang”, sapa Jo dan orang yang disapa kini berjalan mendekati kami berdua dengan mengangkat tangannya sebagai tanda ‘hai’.
            “aku ingin mengobrol dengan mu tapi sepertinya kau sedang ada tamu”, jawab Jevan yang kini memincingkan matanya ke arahku dengan tatapan membunuh.
            “bagaimana kalau kau gabung bersama kita? Emmm... belajar bersama?”, tawarku  berbasa-basi yang sebenarnya aku tidak sudi jika dia bergabung.
            “untuk apa aku belajar. Toh tanpa belajar pun aku bisa mengerjakan sial UN dengan mudah. Kau tahu IQ ku ini tinggi”
            Cih, sombong sekali kau!”
            “tapi itu memang kenyataannya”
            “mana ada orang ber-IQ tinggi tetapi tidak pernah masuk ke 3 besar. Boro-boro 3 besar, 10 besar pun kau tidak masuk. Bahkan aku tidak pernah melihat nama mu di daftar murid berprestasi”, sindirku yang mulai emosi dan ucapanku berhasil membuatnya tegang.
            “itu karena aku malas. Mungkin jika aku rajin aku bisa mengalahkan pria disamping mu!”
            “Buktikan!”
            “baiklah jika itu mau mu, aku akan membuktikannya. Dua bulan lagi kau akan melihat nama ku, Jevanno Anggara di daftar 25 siswa dengan nilai UN tertinggi”. Aku yang mendengarkan kalimat itu hanya dapat terkekah akan omongan kosongnya. BIG LOL Jevan!
            “Jo, aku akan tunggu di kamarmu dan jika gadis ini pulang temui aku”, ucap Jevan lagi dan langsung memasuki rumah Jo tanpa meminta izin kepada sang empunya.
            Cih, bahkan di rumah orang lain pun dia masih saja bertindak semaunya. Dasar tidak punya sopan santun!”. Entah kenapa saat aku melihatnya emosi ku terus naik membuatku ingin marah-marah.
            “Andin, sudah ku bilang Jevan memang seperti itu. kau ini seperti baru mengenalnya saja. Ingat kita bertiga sudah hampir 3 tahun bersahabat”
            “sahabat? Mungkin kau saja yang ia anggap sahabat. Untuk ku tidak”.
Sedetik kemudian Jo langsung merapku tajan dan itu artinya dia akan bilang ‘lebih baik kau shalat’.
            “kenapa menatapku seperti itu? kau mau menyuruhku shalat?”. Dia pun mengangguk pelan.
            “jernihkan pi...”
            “sayang sekali aku sedang tidak shalat”, ucapku memotong ucapannya yang sudah ku hapal pasti dia akan bileng ‘jernihkan pikiranmu dan Jevan tidak seperti yang kau bayangkan’.
            “yasudah, kalo kaya gitu lebih baik kita lanjutkan belajarnya. Kau tidak ingin gagal UN kan?”.
            Aku pun mengangguk mantap memandang kembali angka demi angka dan simbol-simbol yang hanya ku ketahui sebagian. Tapi , entah kenapa aku membayangkan wajah Jevan barusan. Wajahnya seperti orang sakit, pucat pasi. Ada apa dengannya ya?, pikir ku bertanya-tanya. Hell yeah, kenapa juga aku memikirkan orang sombong bermulut besar tersebut. tak ada untungnya!.
Hei jevan, cepatlah keluar kau dari otakku. Kau tau, kau itu mengganggu konsentrasiku. Ayo cepat keluar!. Bagaikan bak orang gila aku pun memukul-mukul kepala ku beberapa kali.
                                                                                    ***
            Lantunan musik terdengar indah memenuhi ruangan ini. Pandangan ku menyapu ke seluruh ruangan. Tawa canda, wajah-wajah bahagia dan gembira itulah yang kini ku lihat di ruangan promnite ini. Dan entah kenapa mataku terus berkeliaran seperti mencari seseorang, tetapi aku pun tak tahu siapa yang ku cari. Menyebalkan bukan?.
            Ku lihat di ujung sana Jo sedang tersenyum manis menyalami teman-temannya yang berlalu lalang memberi selamat. Ku langkahkan kaki ku mendekati pria yang kini tengah mengenakan tuxedo hitam dan sebuah kalung salib menggantung indah di dadanya. Tunggu!. Ada yang berbeda dari Jo. Dia tidak mengenakan kacamata yang selalu bertengger di hidung mancungnya. Ini pertama kalinya aku melihatnya tanpa kacamata.
            “kenapa?”, tanyanya mengerlingkan matanya ke arah ku yang tengah sibuk mengamatinya dari ujung sepatu hingga ke wajahnya. Pria ini sungguh tampan. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku pun langsung menghambur kedalam pelukannya, mendekapnya erat. Ia pun membalas pelukanku.
            “selamat telah menjadi lulusan terbaik. I’m proud of to be your bestfriend, Jonathan Adrian”, ucapku seraya melepaskan pelukannya.
            “Selamat untuk mu juga, Chairunnisa Andini yang resmi lulus dan telah bersedia menjadi sahabat ku”, balasnya dengan menatap mata ku dan aku hanya bisa tersenyum mendengarkannya.
            “Haloooo...semuaaaa!!!. Duhhh yang wajahnya pada seneng...”
Tiba-tiba saja suara MC mengalihkan pandangan ku dan Jo yang saling menatap dan bak seorang penyihir semua mata kini tengah menatap MC tersebut. Mendengarkan ocehannya dengan amat serius tidak mau terlewatkan satu kata pun.
            “oke kita akan lanjut ke acara berikutnya tapi sebelum lanjut, gue mau ngucapin Big Congrats for kita semua SMA TUNAS PELITA yang telah lulus. Perjuangan kita ga sia-sia guys. Okey, acara selanjutnya yaitu ‘Dance Together’. Jadi, lo lo semua dansa dengan lawan jenis lo, entah itu temen lo, gebetan lo atau pacar lo. Nah nanti, pas musiknya ganti, lo lo juga harus berganti pasangan yang berada di dekat lo. Gimana? Ngerti kan lo semua? Oke Lets Begin!”.
Dan seketika itu pula, semua orang menghambur pergi mencari pasangan dansanya.
            “mau berdansa dengan ku?”, tawar Jo dengan sebelah tangannya yang terulur ke arah ku.
            “dengan senang hati”, jawabku, meletakan tanganku diatas tangannya. Dan musik pun mulai mengalun indah menemani kita.
            “setelah ini kau akan melanjutkan kulliah dimana?”, tanya ku di tengah-tengah dansa ku dengan Jo.
            “entahlah aku juga tidak tahu”, aku pun menatap Jo dengan tatapan curiga mendengar jawabannya.
            Hei, hei, Dont look at me like that. Aku janji setelah aku diterima di universitas yang aku inginkan aku akan memberitahumu”
Aku hendak membuka mulut berniat membalas janji Jo tapi, suara musik kini telah berganti dan mengharuskan ku untuk melepaskan tangan Jo dan HAP!. Sebuah tangan seorang pria kini telah melekat di pinggang ku. Ku tatap pria berkaca mata dengan tatapan terkejut. Hell yeah, kenapa juga aku harus berdansa dengan dia?
            “JEVAN!”, ucap ku dengan refleks dan tanpa persetujuan dari ku, ia mengambil kedua tangan ku meletakkan di pundaknya.
            “sedang apa kau disini?”, tanya ku ketus.
            “tentu saja aku sedang berdansa dengan mu”.
            “ku kira kau tak akan datang dan lebih memilih menyendiri dengan buku tebal mu”
            “sebenarnya aku juga malas datang tapi... ada seseorang yang ingin ku temui”
            “siapa?”,tanyaku penasaran.
            “Kau!. Dan kedatangan ku ternyata tidak sia-sia, kau nampak cantik malam ini”
            Huh, terdengar sarkastik!”
            “Benarkah?, padahal aku mengucapkannya dengan tulus”
            “Whatever!. Lalu kenapa kau ingin menemui ku?”
            “emm.. kau sudah melihat daftar siswa yang mendapatkan nilai UN tertinggi?”
            “tentu saja aku sudah melihatnya”, jawab ku cepat dan baru ku ingat bahwa nama JEVANNO ANGGARA menempati urutan kedua setelah nama Jo. Sungguh patut dipertanyakan.
            “lalu apa reaksi mu?”
            “biasa saja karena aku sudah menduga dan percaya bahwa Jo yang akan menempati urutan teratas”.
            “aku dan Jo mendapatkan nilai yang sama dan kau tidak ingin memberiku selamat dan mengakui IQ ku yang tinggi ini?”
            “untuk apa aku memberi mu selamat? Aku tahu kau pasti belajar mati-matian demi membuktikan ucapanmu. Hahaha...”. Jevan yang mendengar ucapanku langsung menatapku tajam tidak terima dengan ucapan yang baru saja ku keluarkan dari mulutku.
            well, baiklah. Dengarkan baik-baik, aku hanya mengucapkannya sekali. Selamat telah menjadi lulusan terbaik dan terima kasih telah membuktikan janji mu. Once again big congrats and big thanks to you”, ucapku dengan frekuensi yang rendah tetapi aku yakin Jevan bisa mendengarkannya. Dan bisa ku lihat Jevan menarik ujung bibirnya membentuk senyuman. Oh God, ini pertama kalinya aku lihat ia tersenyum. Sungguh manis.
            How lucky Jo having you as his girlfriend.
            “ma.. maksud mu?”
            “iya, Jo beruntung menjadi milik mu dan aku cemburu mengetahui itu”
            Hei, a..a..aku.. sama Jo ti..dak....”
            Belum selesai aku menjelaskannya tapi musik telah berganti. Dear DJ atau siapa pun yang mengganti musik ini. Kau sungguh menggantinya di waktu  yang tidak tepat! Arggghhh...

        ~To be Continue~