Thursday, June 19, 2014

Should I....? (Part 2)


Huh, kenapa Mr. Robin tega sekali memberi ku nilai C, padahal aku mengerjakan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Kapan aku bisa mendapat nilai A?”, runtuk ku memandang kertas lecak yang sudah ku remas-remas. Mr. Robin oh Mr. Robin. Memikirkan tentangnya mengingatkan ku dengan seseorang. Jutek, jarang senyum, berlagak so cool ya siapa lagi kalau bukan JEVAN dan satu lagi Mr.Robin itu pelit sekali dengan nilai, ini sudah semester 3 dan hanya sekali aku mendapatkan nilai B dari nya. Menyebalkan sekali bukan?
   “Andin, lebih baik kau shalat daripada memikirkan yang tidak-tidak”, ucapku bergeming. Aku jadi teringat sesuatu. Biasanya Jo yang akan mengucapkan itu tapi sampai sekarang aku tak tahu dimana Jo, terakhir aku melihatnya di acara Promnite dan setelah itu dia tak pernah muncul bahkan menghubungi ku juga tidak pernah. Huh Jo aku kangen.
BUKKK...
   Inilah akibatnya jika berjalan sambil melamun, tanpa ku sengaja aku menabrak seorang pria jangkung. Ku amati pria tersebut hendak meminta maaf tapi tunggu!, sepertinya aku mengenalinya.
   “Jevan! Kau Jevan kan?”


                                                                           ***
   Sinar lampu kendaraan yang berlalu lalang menerangi jalan yang ku lalui. Dari sekian banyak kendaraan umum yang lewat tetapi kenapa kendaraan umum yang biasanya ku tumpangi belum lewat juga padahal ini baru jam sembilan malam. Terpaksa aku harus rela berjalan kaki menuju rumah ku.
   Sepanjang perjalanan otak ku memutar ulang kejadian yang telah ku lalui hari ini, aku tak menyangka akan bertemu kembali dengan Jevan. Ku pikir setelah kita berdansa di acara promnite kita tak akan bertemu lagi tetapi hari ini aku melihatnya dengan penampilan amat berbeda. Kaca mata minus dan kupluk kini menjadi penampilan barunya dengan sebuah gitar yang selalu ia bawa ke kampus. Ya, dia adalah mahasiswa jurusan musik. Dan sebenarnya aku sering melihat dia tapi aku tidak menyadari kalau ternyata pria yang selalu mengenakan kupluk itu Jevan. Setelah seharian mengobrol dengannya, aku menyadari banyak sekali perubahan. Dulu aku dengannya hanya berbeda beberapa centi tetapi kini aku hanya sebatas pundaknya dan yang lebih mengenaskan sepertinya ia bertambah kurus dan entah kenapa aku melihatnya seperti orang sakit. Ternyata apa yang Jo katakan benar, Jevan tidak seburuk yang aku kira, ia cukup asyik untuk diajak mengobrol dan tentu saja aku tidak lupa menanyakan tentang Jo,  tapi Jevan pun sama dengan ku, ia juga tak tahu dimana sebenarnya Jo.
   “Jo, sebenarnya kau itu kemana? Kenapa kau tidak menghubungi ku? Kau tidak menganggap ku sebagai sahabat mu lagi, Huh?”, teriaku ku kesal di tengah jalan, tiba-tiba sebuah benda tajam mendekati leher ku. Aku ingin berteriak tapi sebuah tangan telah mendekap mulutku. Kini yang hanya dapat ku lakukan hanya memejamkan mata dengan berharap ketika aku membuka mata, ini hanyalah sebuah mimpi.
   “jangan berteriak dan serahkan tas mu! Jika kau tak mau menyerahkannya dengan amat terpaksa benda tajam ini akan menyayat indah di leher mu”, suara khas pria yang membekap mulutku membuat ku tegang. Aku bukan takut dengan pria di belakang ku ini tapi suaranya mirip sekali dengan suara khas orang yang ku rindukan. Orang yang beberapa detik yang lalu ku pikirkan.
   “Hei kenapa kau diam. Ayo serahkan cepat! kau tidak mau diri mu besok pagi masuk berita dengan headline kasus pembunuhan”.
   Ya, ini suara Jo. Aku hapal benar suaranya. Dan tanpa ku sadari pria tersebut melepaskan tangannya yang membuatku tidak bisa bernapas. Pria tersebut berdiri tepat di depan ku. Aku menegang bak sebuah patung. Entah mengapa oksigen yang berada di sekitarku seakan sulit ku hirup.
   “Jo..na..than...”, ucap ku terbata-bata. Ku lihat Jo pun juga mematung di tempat menatap ku dengan tatapan tak percaya.
   “Andini... ma..maafkan aku telah membuat mu takut. Sungguh aku benar – benar tak ta....”
   Belum selesai Jo berucap aku langsung menghamburkan ke pelukan Jo dan tanpa ku sadari air mata ku meluncur indah. Bukan, ini bukan air mata ketakutan tapi air mata bahagia. Akhirnya aku bisa melihat sahabat ku kembali. Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini yang telah kalah melawan nafsu untuk tidak memeluk pria di hadapan ku ini. Kau benar-benar memiliki cara yang indah mempertemukan ku dengan 2 orang pria yang selama setahun setengah ini berada dan berlari-larian di otak ku. Terima kasih ya Allah. Aku sungguh bersyukur.     
   Rasa nyaman berada di pelukan Jo membuat ku tak rela melepaskannya tetapi aku telah berniat untuk menjadi wanita seperti yang di ajarkan di dalam Al-Quran dan tanpa ba-bi-bu lagi aku segera melepaskan pelukannya. Ku tatap Jo seperti saat aku menatapnya di acara promnite. Sungguh benar-benar berbeda. Bukan tuxedo yang kulihat di tubuhnya melainkan kaos oblong yang di tutupi dengan Jaket Jeans yang mulai kusam dan juga celana Jeans yang telah bolong di bagian lututnya. Hanya kalung salib seperti yang ku lihat di malam promnite yang kini masih menggantung indah di dadanya.
   “Maafkan aku... Andin...”, ucapnya menyesal dan aku pun mengangguk menerima maafnya.
   “sungguh aku benar-benar tidak  mengenali mu dan jika tadi aku tahu itu kamu, kupastikan aku tidak akan melakukan itu”, lanjutnya lagi dengan nada bersalah.
   “jadi, jika aku ini orang lain, kau akan melakukan apa yang barusan kau lakukan kepadaku?”
   “entahlah”, jawabnya dan aku langsung menatapnya dengan tatapan heran. Apakah Jo telah berstatus sebagai penodong.
   “oiya kau mau kemana?”, tanyanya dengan suara yang sudah terdengar normal.
   “kembali ke rumah, sepertinya bus yang ku tunggu tak akan datang jadi ku putuskan untuk berjalan”.
   “mari ku antar”.
   Sepanjang perjalanan tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut Jo. Dan itu sukses membuat ku merasa gugup, ini pertama kalinya aku merasa gugup berada di dekat dia.
   “emm... kau masih menganggap ku  sebagai sahabat kan?”, tanya ku berusaha memecahkan suasana.
   “tentu saja”
   “bisakah kau ceritakan pada ku apa yang telah terjadi  dan kenapa selama ini kau tak pernah menghubungi ku?”, ucap ku yang sudah tidak tahan untuk menanyakan hal tersebut.
   “baiklah, tapi berjanjilah setelah aku menceritakan semuanya kau akan tetap menjadi sahabatku?”, tanyanya dengan mengancungkan jari kelingkingnya di hadapanku dan aku pun langsung mengkaitkan jari kelingking ku.
   “PROMISE! Our friendship will never die!”
   “ayah ku menyuruhku lebih tepatnya memaksa untuk masuk ke jurusan yang tidak ku inginkan, Arsitektur. Akhirnya aku setuju tetapi dengan syarat jika aku tidak lolos maka aku boleh masuk ke jurusan yang aku ingin kan. Aku pun mengikuti tes tertulis untuk masuk ke jurusan tersebut dan aku lolos”.
   “lalu?”
   “tapi sayangnya setelah melakukan tes kesehatan aku tidak lolos”.
   “kenapa?”
   “kau tahu syarat untuk masuk ke dunia arsitek itu tidak boleh cacat mata?”, aku pun mengangguk.
   “jangan bilang kau memiliki silinder?”
   “ya kau benar. Mata ku silinder. Mendengar itu ayah ku marah dan ia mengingkari janjinya. Karena itu, aku kabur dari rumah ku dan begini lah aku sekarang”, ucapnya di akhiri senyuman. Aku tahu senyuman itu adalah senyuman terpaksa dan bisa ku lihat kesedihan di matanya.
   “memangnya kau mau masuk jurusan apa?”
   “musik”
   “emm.. apakah kau berprofesi sebagai pencopet?”, tanya ku dengan hati-hati.
   “selama ini aku menjadi musisi jalanan dan kejadian yang tadi itu pertama kalinya. Kau percaya pada ku kan?”
   “ya aku percaya mana mungkin sahabat ku melakukan itu, tapi tunggu! Kenapa kau selama ini tidak menghubungi ku?”
   “aku takut, takut kau malu memiliki sahabat yang seperti ku ini”
   “siapa bilang aku malu dan juga kenapa kau tidak menghubungi Jeven?”
   “Jeven marah dengan ku. Dulu kita berdua berjani akan masuk universitas yang sama dan jurusan yang sama, musik. Tapi takdir berkata lain dan Jeven pun marah dan tak mau mendengarkan penjelasnku”.
   “kalau begitu kapan pun kau harus hubungi aku, bahkan jika perlu setiap hari dan jika kau tidak keberatan temui aku di gang ini jam 4 sore , okey?”
   “okey, see you tomorrow
   Tak terasa kita berdua telah sampai di depan gang rumah ku. Aku meminta Jo untuk mengantarkan ku cukup sampai di gang tersebut. Ku tatap Jo yang berjalan menjauhi ku sampai punggungnya tidak terjangkau oleh mata ku di ujung seberang sana.
   Hari ini benar-benar mengejutkan yang tak pernah ku duga...
                                                                           ***
   “Ayo cepat dimakan Jev! Kau tahu aku membuatnya dengan susah payah”, ucapku memaksa Jevan untuk memakan bekal buatan ku.
   “kenapa kau membawakan sayur? Kau tahu aku tidak suka sayuran”, protes Jevan yang menatap makanan didepannya bagaikan racun.
   “Huh, pantas saja badan mu kurus krempeng seperti orang sakit. Ayo cepat makan. Sayuran itu bagus untuk kesehatan”.
   “emm, rasanya aneh.. uwekkk”, akhirnya Jevan memakan sayuran berwarna orange dan setelah mengunyahnya ia pun memeletkan lidahnya. Konyol sekali dia.
   “oiya sejak kapan kau mengubah penampilan mu? Dan kenapa kau sekarang malah sering menutupi rambutmu dengan topi atau kupluk? Bahkan dulu ketika di SMA kau sering sekali mendapatkan hukuman karena tidak pernah memakai topi saat upacara”.
   “Hahaha... ternyata kau seorang stalker, kau bisa tahu kebiasaan ku”
   i’m not your stalker!
   “aku tidak mengubah emm... hanya mencoba menjiwai karakter seorang pemusik. Bukankah aku terlihat keren dengan penampilan seperti ini, emm?”, ucap Jevan dengan menaik turunkan kedua alis nya. Dan dia sukses membuat ku tertawa. Ya Jev, kau masih terlihat keren seperti saat di SMA.
   “Hahaha... PD sekali kau!”
   “Dan kau juga mengubah penampilan mu”, ucapnya dengan menatap ku. Aku yang sadar ditatap langsung mengalihkan pandangan ku menatap jam tangan ku. Jam setengah tiga! Oke, aku bisa telat!
   “kau serius tidak mau ikut dengan ku menemui Jo?”, Jevan yang kutanya hanya menggelengkan kepalanya.
   “baiklah, kalau gitu aku tinggal. Habiskan sayurannya kalau tidak aku bakalan marah. Dan ingat jangan sampai tersisa!”, aku pun beranjak meninggalkan Jevan.
   “Andin...”, panggil Jevan menghentikan langkah ku, membalikan tubuhku menghadapnya.
   “terima kasih”, ucapnya dan aku membalasnya dengan senyuman lalu melanjutkan langkah ku
   “Andin...”, panggilnya lagi
   “kenapa?”
   “emm... tempat bekal mu? Bagaimana?”, mendengar pertanyaan itu aku hanya dapat mendengus kesal.
   “tentu saja kau bawa pulang dan kau cuci dengan bersih. Kalau perlu kau isi dengan makanan yang lezat”.
   Setelah ia mengangguk mengerti aku langsung membalikan badan ku, melangkahkan kaki ku tapi baru selangkah aku mendengar jevan memanggil nama ku lagi.
   “Ck, ada apa lagi Jevan?”
   “emm.. sampaikan salam ku ke Jo dan... dan aku meminta ma..af”, pinta Jo dengan nada yang kikuk. Aku kembali membalikan badan ku dan berharap Jo tidak akan memanggil nama ku untuk yang ke empat kalinya.
                                                                           ***
   Di ujung gang sana ku lihat sosok seorang pr ia yang telah ku temui kemarin malam. Pakaian yang ia kenakan masih sama seperti semalam. Kusam dan kumal. Dan wajahnya pun masih sama seperti dulu saat di SMA, masih terlihat ganteng dengan senuyumnya yang ramah.                
   “Hai, Jo...”, sapaku.
   “Hai..”
   “ku kira kau akan terlambat tapi, ternyata kau lebih dulu”
   “tentu saja, aku tak ingin melihat seorang gadis menunggu”, ucapnya yang mampu membuat ku tersipu malu. Ya aku tahu dia tidak sedang bergombal tapi entah mengapa mendengarnya mengucpakan itu membuat pipi ku memanas.
   “Ayo ikut aku!”, ucap ku yang dengan refleks tangan ku bergerak hendak menarik tangannya tapi belum sempat menyentuh tangan pria disamping ku, aku pun langsung sadar.
   Andin ingat itu tidak boleh. Kau dengannya belum mukhrim. Jo pun menatapku dengan bingung.
   “emm.., kita mau kemana?”, tanya Jo yang mensejajarkan langkahnya sengan langkah kaki ku. Aku hendak menjawabnya tetapi suara adzan shalat ashar mengurungkan niatku untuk berucap.
   “kau tenang saja, aku tidak bakal menculik mu”, ucap ku setelah adzan berkumandang.
   “emm.. maksud ku bagaimana kalau kita menuju tempat ibadah mu dulu untuk shalat?”, tanyanya dan membuat ku menatapnya terpana. Bahkan sifatnya masih sama.
   Andai kita seiman mungkin aku telah jatuh cinta kepada mu, Jo.
   “memang itu tujuan ku”, jawab ku dan mendapati tatapan bingung Jo untuk kedua kalinya.
Masjid, ya ketempat suci itulah aku mengajak Jo. Bukan, aku bukan bermaksud untuk mendokrinnya masuk ke agama ku. Hanya saja aku ingin dia membantu ku mengajar anak-anak kecil yang merupakan anak didik ku. Sejak aku masuk ke universitas aku memutuskan untuk menjadi guru mengaji di masjid yang kini berada di depan ku.
   “Aku akan shalat. Ini untuk mu, kau bisa menggunakan toilet masjid ini. Jika telah selesai kau bisa menemui ku disitu”, ucapku menunjuk ke tempat dimana aku biasanya mengajar mengaji. Lalu ku berikan tas berbahan kertas yang berisikan baju ganti untuknya.
                                                                           ***
   Mengajar mengaji, ya itulah kebiasaan ku yang kini berubah menjadi sebuah profesi. Setiap senin hingga jumat telah menjadi kebiasaan ku mengunjungi Masjid ini. Setelah shalat ashar berjamaah aku akan mengajarkan anak-anak yang kini tengah duduk rapi menunggu giliran untuk membaca Iqra’. Membantu mereka agar fasih membaca Al-Quran serta menghafalkan Juz Amma. Terkadang aku pun juga akan membantu mereka jika guru sekolah mereka memberikan PR yang sulit diselesaikan oleh mereka. Dan aku pun bersyukur karena aku menyukai pekerjaan ini.
   Aku menggeledahkan pandangan ku mencari sosok Jo yang sampai sekarang dia belum kelihatan sejak aku meninggalkannya di depan Masjid. “apakah Jo marah aku megajak nya ke tempat ibadah ku?”, tanya ku dalam hati.
   “Ka Andin, Kaka kenapa?”, pertanyaan dari gadis kecil yang telah siap membaca Iqra’  didepan ku membuyarkan lamunan ku.
   “Kaka tidak papa, Ayo sekarang giliran mu”, ucap ku seraya membuka Iqra’ nya ke halaman yang terakhir ia baca.
   Gadis kecil yang ku kenali bernama Aisyah kini mulai membaca iqra’ nya, aku tersenyum mendengarkannya. Semakin hari ia semakin lancar membacanya.
   “Wahhh.. Kau semakin lancar saja. Kaka senang, pasti kau mengaji terus setiap malam”, puji ku dan Aisyah menatap ku senang dengan menunjukan deretan giginya.
   “Terima kasih Ka Andin”, ucapnya beranjak bangun dari duduknya untuk kembali ke tempatnya.
   “Adik-adik semua sudah mendapatkan gilirannya membaca Iqra’ , nah sekarang jika adik-adik memiliki PR kalian bisa mengerjakan sekarang, nanti jika susah bisa bertanya dengan kaka”, ucap ku diakhiri dengan senyuman.
   Tiba-tiba saja aku merasa seperti diamati dan saat ku lihat di pintu Masjid, sosok pria yang mengenakan baju yang telah ku berikan telah berdiri di ambang pintu. Dia terlihat lebih fresh dengan tetesan air di ujung rambutnya yang kini mulai memanjang. Ku lihat ia tersenyum menatap ku dan aku pun membalas senyumannya. Ku lambaikan tangan ku memberi aba-aba untuk menuju ke tempat ku. Dan dengan ragu-ragu ia memasuki Masjid ini.
   “Adik-adik kenalkan ini namanya Ka Jo, nah mulai sekarang Kaka ini yang akan membantu kalian mengerjakan PR”. Jo menatap ku bingung dengan mulutnya yang telah terbuka untuk mengatakan sesuatu tapi belum sempat ia bersuara, ucapan salam pun terdengar.
   “Assalamualaikum Kak Jo”.
   Tunggu! Kenapa mereka mengucapkan salam bukan kah sudah ku katakan untuk tidak mengucapkan salam kepada non muslim. Dan setelah ku amati ternyata Jo tidak mengenakan kalung salibnya.
   “Wa..alai..kum sa.. lam...”, Terkejut, ya aku terkejut . Walaupun ia mengucapkannya dengan kikuk tapi entah mengapa bagi ku terdengar indah karena ini pertama kalinya aku mendengar Jo menjawab salam.
   “Adik-adik.. emm.. mulai besok kalian tidak perlu mengucapkan salam kepada Kak Jo”, ucap ku.
   “Memangnya kenapa Kak? Bukannya sesama Muslim harus saling mengucapkan salam?”, tanya anak laki-laki yang duduk dibarisan belakang yang ku kenali bernama Ahmad.
   “emm.. begini, Kak Jo dengan kita itu emm.. berbeda. Kalian mengerti maskud kaka kan?”, jawab ku dengan kikuk bersusah payah memikirkan kata-kata yang tepat agar Jo tidak tersinggung dan ku lihat semua anak didik ku mengangguk mengerti.
   “Kak Jo, Kak Jo bisakah kau mengejari ku bab yang ini, aku tidak mengerti..”,  pinta Aisyah. Dan untuk kesekian kalinya Jo menatap ku bingung, aku hanya mengerlingkan mata dengan memberikan isyarat kepada Jo untuk mendekati dan mengajarkan Aisyah.
   “Baiklah Andin...”, ucapnya dengan pesrah lalu melangkahkan kakinya menuju ke tempat Aisyah
                                                                           ***
   Tepat jam 5 sore, aku dan Jo meninggalkan Masjid ini, biasanya hanya sampai setengah 5 pengajian selesai tetapi nampaknya anak didik ku menyukai kehadiran Jo sampai-sampai mereka tidak ingin beranjak dari Masjid. Butuh waktu setengah jam untuk membuat mereka pulang dan akhirnya mereka menyerah tetapi dengan alasan Jo harus berjanji akan datang kembali esok sore. Kini aku tengah menuju pulang ke rumah ku. Aku pun tidak bisa menolak saat Jo menawarkan dirinya untuk mengantarkan ku seperti kemarin malam.
   “Andin..”, panggilnya dengan suara yang lemah.
   “ya, ada apa?”
   “emm, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih atas baju ini, terima kasih telah mengajak ku ke masjid, terima kasih telah membantu ku dan terima ka...”
   “cukup Jo, kau terlalu banyak mengucapkan kata terima kasih. Mulai saat ini aku tidak mau mendengar kau mengucapkan kata itu. Bagi ku persahabatan tidak membutuhkan kata terima kasih dan seudah sewajarnya sahabat itu saling membantu. Jika kau bilang kalimat itu lagi aku akan marah”, ucapku panjang lebar memotong ucapan Jo yang belum terselesaikan.
   “emm baiklah..”
   “oiya tadi kenapa kau lama sekali ganti bajunya?”
   “ohh itu, sebenernya aku sudah datang ketempat mu tapi ku lihat kau sedang serius mengajari mereka jadi ku putuskan untuk melihat-lihat tempat ibadah mu”.
   “lalu?”
   “aku pergi ke perpustakan kecil di dalam Masjid itu dan aku membaca sebuah buku”
   “buku apa yang kau baca?”, tanyaku penasaran.
   “Keistimewaan islam dengan agama lain”.
   “Jo maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk emm.. untuk itu..Sungguh..”
   “Aku tahu Andin, kau jangan khawatir. Dan aku senang kau mengajak ku ke sana. Oiya boleh aku menanyakan sesuatu?”
   “tentu saja boleh tapi jika pertanyaan mu aneh aneh aku tidak mau menjawab”
   “sejak kapan kau memakai penutup kepala maksud ku emm... mengubah penampilan mu menjadi tertutup?”, tanyanya dengan menggaruk-garuk kepalanya yang kurasa sepertinya tidak gatal.
   “ohh maksudmu berhijab?, aku mengenakan hijab ketika masuk ke universitas”
   “kenapa?”
   “karena aku berniat untuk menjadi muslimah yang baik yang sesuai diajarkan di kitab ku. Dengan berhijab aku telah menutup auratku yang bagi ku sendiri merupakan suatu kehormatan bagi seorang muslimah untuk menutupi auratnya dari yang bukan mukhrimnya”, jawabku panjang lebar dengan memperlihatkan senyuman diakhir kalimat ku.
   “aku suka dengan penampilan mu yang seperti ini, Andini..”
DEG...
   Entah kenapa aku merasa seperti ada aliran listrik di dalam tubuh ku, elektron-elektron yang menjalar menuju ke hati. Oke aku tahu ini sangat hiperbola tetapi ya memang itu yang aku rasakan. Munafik jika aku bilang aku tidak senang Jo berucap demikian dan jujur saja aku sangat sangat sangat senang mendengarkannya. Dan untuk mu, Jo. Kau sukses membuat pipi ku merah untuk kedua kalinya.

~ To be continue~

No comments:

Post a Comment