“Huh,
kenapa Mr. Robin tega sekali memberi ku nilai C, padahal aku mengerjakan
tugasnya dengan sungguh-sungguh. Kapan aku bisa mendapat nilai A?”, runtuk ku
memandang kertas lecak yang sudah ku remas-remas. Mr. Robin oh Mr. Robin.
Memikirkan tentangnya mengingatkan ku dengan seseorang. Jutek, jarang senyum,
berlagak so cool ya siapa lagi kalau bukan JEVAN dan satu lagi Mr.Robin itu
pelit sekali dengan nilai, ini sudah semester 3 dan hanya sekali aku
mendapatkan nilai B dari nya. Menyebalkan sekali bukan?
“Andin, lebih baik kau shalat daripada
memikirkan yang tidak-tidak”, ucapku bergeming. Aku jadi teringat sesuatu.
Biasanya Jo yang akan mengucapkan itu tapi sampai sekarang aku tak tahu dimana
Jo, terakhir aku melihatnya di acara Promnite dan setelah itu dia tak
pernah muncul bahkan menghubungi ku juga tidak pernah. Huh Jo aku kangen.
BUKKK...
Inilah akibatnya jika berjalan sambil
melamun, tanpa ku sengaja aku menabrak seorang pria jangkung. Ku amati pria tersebut
hendak meminta maaf tapi tunggu!, sepertinya aku mengenalinya.
***
Sinar lampu kendaraan yang berlalu lalang
menerangi jalan yang ku lalui. Dari sekian banyak kendaraan umum yang lewat
tetapi kenapa kendaraan umum yang biasanya ku tumpangi belum lewat juga padahal
ini baru jam sembilan malam. Terpaksa aku harus rela berjalan kaki menuju rumah
ku.
Sepanjang perjalanan otak ku memutar ulang
kejadian yang telah ku lalui hari ini, aku tak menyangka akan bertemu kembali
dengan Jevan. Ku pikir setelah kita berdansa di acara promnite kita tak
akan bertemu lagi tetapi hari ini aku melihatnya dengan penampilan amat
berbeda. Kaca mata minus dan kupluk kini menjadi penampilan barunya dengan
sebuah gitar yang selalu ia bawa ke kampus. Ya, dia adalah mahasiswa jurusan
musik. Dan sebenarnya aku sering melihat dia tapi aku tidak menyadari kalau
ternyata pria yang selalu mengenakan kupluk itu Jevan. Setelah seharian
mengobrol dengannya, aku menyadari banyak sekali perubahan. Dulu aku dengannya
hanya berbeda beberapa centi tetapi kini aku hanya sebatas pundaknya dan yang
lebih mengenaskan sepertinya ia bertambah kurus dan entah kenapa aku melihatnya
seperti orang sakit. Ternyata apa yang Jo katakan benar, Jevan tidak seburuk
yang aku kira, ia cukup asyik untuk diajak mengobrol dan tentu saja aku tidak
lupa menanyakan tentang Jo, tapi Jevan
pun sama dengan ku, ia juga tak tahu dimana sebenarnya Jo.
“Jo, sebenarnya kau itu kemana? Kenapa kau
tidak menghubungi ku? Kau tidak menganggap ku sebagai sahabat mu lagi, Huh?”,
teriaku ku kesal di tengah jalan, tiba-tiba sebuah benda tajam mendekati leher
ku. Aku ingin berteriak tapi sebuah tangan telah mendekap mulutku. Kini yang
hanya dapat ku lakukan hanya memejamkan mata dengan berharap ketika aku membuka
mata, ini hanyalah sebuah mimpi.
“jangan berteriak dan serahkan tas mu! Jika
kau tak mau menyerahkannya dengan amat terpaksa benda tajam ini akan menyayat
indah di leher mu”, suara khas pria yang membekap mulutku membuat ku tegang.
Aku bukan takut dengan pria di belakang ku ini tapi suaranya mirip sekali
dengan suara khas orang yang ku rindukan. Orang yang beberapa detik yang lalu
ku pikirkan.
“Hei kenapa kau diam. Ayo serahkan cepat! kau
tidak mau diri mu besok pagi masuk berita dengan headline kasus pembunuhan”.
Ya, ini suara Jo. Aku hapal benar suaranya.
Dan tanpa ku sadari pria tersebut melepaskan tangannya yang membuatku tidak
bisa bernapas. Pria tersebut berdiri tepat di depan ku. Aku menegang bak sebuah
patung. Entah mengapa oksigen yang berada di sekitarku seakan sulit ku hirup.
“Jo..na..than...”, ucap ku terbata-bata. Ku
lihat Jo pun juga mematung di tempat menatap ku dengan tatapan tak percaya.
“Andini... ma..maafkan aku telah membuat mu
takut. Sungguh aku benar – benar tak ta....”
Belum selesai Jo berucap aku langsung
menghamburkan ke pelukan Jo dan tanpa ku sadari air mata ku meluncur indah. Bukan,
ini bukan air mata ketakutan tapi air mata bahagia. Akhirnya aku bisa melihat
sahabat ku kembali. Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini yang telah kalah melawan
nafsu untuk tidak memeluk pria di hadapan ku ini. Kau benar-benar memiliki cara
yang indah mempertemukan ku dengan 2 orang pria yang selama setahun setengah
ini berada dan berlari-larian di otak ku. Terima kasih ya Allah. Aku sungguh
bersyukur.
Rasa nyaman berada di pelukan Jo membuat ku
tak rela melepaskannya tetapi aku telah berniat untuk menjadi wanita seperti
yang di ajarkan di dalam Al-Quran dan tanpa ba-bi-bu lagi aku segera melepaskan
pelukannya. Ku tatap Jo seperti saat aku menatapnya di acara promnite. Sungguh
benar-benar berbeda. Bukan tuxedo yang kulihat di tubuhnya melainkan kaos
oblong yang di tutupi dengan Jaket Jeans yang mulai kusam dan juga celana Jeans
yang telah bolong di bagian lututnya. Hanya kalung salib seperti yang ku lihat
di malam promnite yang kini masih menggantung indah di dadanya.
“Maafkan aku... Andin...”, ucapnya menyesal
dan aku pun mengangguk menerima maafnya.
“sungguh aku benar-benar tidak mengenali mu dan jika tadi aku tahu itu kamu,
kupastikan aku tidak akan melakukan itu”, lanjutnya lagi dengan nada bersalah.
“jadi, jika aku ini orang lain, kau akan
melakukan apa yang barusan kau lakukan kepadaku?”
“entahlah”, jawabnya dan aku langsung
menatapnya dengan tatapan heran. Apakah Jo telah berstatus sebagai penodong.
“oiya kau mau kemana?”, tanyanya dengan suara
yang sudah terdengar normal.
“kembali ke rumah, sepertinya bus yang ku
tunggu tak akan datang jadi ku putuskan untuk berjalan”.
“mari ku antar”.
Sepanjang perjalanan tak ada sepatah kata pun
yang terucap dari mulut Jo. Dan itu sukses membuat ku merasa gugup, ini pertama
kalinya aku merasa gugup berada di dekat dia.
“emm... kau masih menganggap ku sebagai sahabat kan?”, tanya ku berusaha
memecahkan suasana.
“tentu saja”
“bisakah kau ceritakan pada ku apa yang telah
terjadi dan kenapa selama ini kau tak
pernah menghubungi ku?”, ucap ku yang sudah tidak tahan untuk menanyakan hal
tersebut.
“baiklah, tapi berjanjilah setelah aku
menceritakan semuanya kau akan tetap menjadi sahabatku?”, tanyanya dengan
mengancungkan jari kelingkingnya di hadapanku dan aku pun langsung mengkaitkan
jari kelingking ku.
“PROMISE! Our friendship will never die!”
“ayah ku menyuruhku lebih tepatnya memaksa
untuk masuk ke jurusan yang tidak ku inginkan, Arsitektur. Akhirnya aku setuju
tetapi dengan syarat jika aku tidak lolos maka aku boleh masuk ke jurusan yang
aku ingin kan. Aku pun mengikuti tes tertulis untuk masuk ke jurusan tersebut
dan aku lolos”.
“lalu?”
“tapi sayangnya setelah melakukan tes
kesehatan aku tidak lolos”.
“kenapa?”
“kau tahu syarat untuk masuk ke dunia arsitek
itu tidak boleh cacat mata?”, aku pun mengangguk.
“jangan bilang kau memiliki silinder?”
“ya kau benar. Mata ku silinder. Mendengar
itu ayah ku marah dan ia mengingkari janjinya. Karena itu, aku kabur dari rumah
ku dan begini lah aku sekarang”, ucapnya di akhiri senyuman. Aku tahu senyuman
itu adalah senyuman terpaksa dan bisa ku lihat kesedihan di matanya.
“memangnya kau mau masuk jurusan apa?”
“musik”
“emm.. apakah kau berprofesi sebagai
pencopet?”, tanya ku dengan hati-hati.
“selama ini aku menjadi musisi jalanan dan
kejadian yang tadi itu pertama kalinya. Kau percaya pada ku kan?”
“ya aku percaya mana mungkin sahabat ku
melakukan itu, tapi tunggu! Kenapa kau selama ini tidak menghubungi ku?”
“aku takut, takut kau malu memiliki sahabat
yang seperti ku ini”
“siapa bilang aku malu dan juga kenapa kau
tidak menghubungi Jeven?”
“Jeven marah dengan ku. Dulu kita berdua
berjani akan masuk universitas yang sama dan jurusan yang sama, musik. Tapi
takdir berkata lain dan Jeven pun marah dan tak mau mendengarkan penjelasnku”.
“kalau begitu kapan pun kau harus hubungi
aku, bahkan jika perlu setiap hari dan jika kau tidak keberatan temui aku di
gang ini jam 4 sore , okey?”
“okey, see you tomorrow”
Tak terasa kita berdua telah sampai di depan
gang rumah ku. Aku meminta Jo untuk mengantarkan ku cukup sampai di gang
tersebut. Ku tatap Jo yang berjalan menjauhi ku sampai punggungnya tidak
terjangkau oleh mata ku di ujung seberang sana.
Hari ini benar-benar mengejutkan yang tak
pernah ku duga...
***
“Ayo cepat dimakan Jev! Kau tahu aku
membuatnya dengan susah payah”, ucapku memaksa Jevan untuk memakan bekal buatan
ku.
“kenapa kau membawakan sayur? Kau tahu aku
tidak suka sayuran”, protes Jevan yang menatap makanan didepannya bagaikan
racun.
“Huh, pantas saja badan mu kurus krempeng
seperti orang sakit. Ayo cepat makan. Sayuran itu bagus untuk kesehatan”.
“emm, rasanya aneh.. uwekkk”, akhirnya Jevan
memakan sayuran berwarna orange dan setelah mengunyahnya ia pun memeletkan
lidahnya. Konyol sekali dia.
“oiya sejak kapan kau mengubah penampilan mu?
Dan kenapa kau sekarang malah sering menutupi rambutmu dengan topi atau kupluk?
Bahkan dulu ketika di SMA kau sering sekali mendapatkan hukuman karena tidak pernah
memakai topi saat upacara”.
“Hahaha... ternyata kau seorang stalker,
kau bisa tahu kebiasaan ku”
“i’m not your stalker!”
“aku tidak mengubah emm... hanya mencoba
menjiwai karakter seorang pemusik. Bukankah aku terlihat keren dengan penampilan
seperti ini, emm?”, ucap Jevan dengan menaik turunkan kedua alis nya. Dan dia
sukses membuat ku tertawa. Ya Jev, kau masih terlihat keren seperti saat di
SMA.
“Hahaha... PD sekali kau!”
“Dan kau juga mengubah penampilan mu”,
ucapnya dengan menatap ku. Aku yang sadar ditatap langsung mengalihkan
pandangan ku menatap jam tangan ku. Jam setengah tiga! Oke, aku bisa telat!
“kau serius tidak mau ikut dengan ku menemui
Jo?”, Jevan yang kutanya hanya menggelengkan kepalanya.
“baiklah, kalau gitu aku tinggal. Habiskan
sayurannya kalau tidak aku bakalan marah. Dan ingat jangan sampai tersisa!”,
aku pun beranjak meninggalkan Jevan.
“Andin...”, panggil Jevan menghentikan
langkah ku, membalikan tubuhku menghadapnya.
“terima kasih”, ucapnya dan aku membalasnya
dengan senyuman lalu melanjutkan langkah ku
“Andin...”, panggilnya lagi
“kenapa?”
“emm... tempat bekal mu? Bagaimana?”,
mendengar pertanyaan itu aku hanya dapat mendengus kesal.
“tentu saja kau bawa pulang dan kau cuci
dengan bersih. Kalau perlu kau isi dengan makanan yang lezat”.
Setelah ia mengangguk mengerti aku langsung
membalikan badan ku, melangkahkan kaki ku tapi baru selangkah aku mendengar
jevan memanggil nama ku lagi.
“Ck, ada apa lagi Jevan?”
“emm.. sampaikan salam ku ke Jo dan... dan
aku meminta ma..af”, pinta Jo dengan nada yang kikuk. Aku kembali membalikan
badan ku dan berharap Jo tidak akan memanggil nama ku untuk yang ke empat
kalinya.
***
Di ujung gang sana ku lihat sosok seorang pr ia yang telah ku temui kemarin malam. Pakaian
yang ia kenakan masih sama seperti semalam. Kusam dan kumal. Dan wajahnya pun
masih sama seperti dulu saat di SMA, masih terlihat ganteng dengan senuyumnya
yang ramah.
“Hai, Jo...”, sapaku.
“Hai..”
“ku kira kau akan terlambat tapi, ternyata kau
lebih dulu”
“tentu saja, aku tak ingin melihat seorang
gadis menunggu”, ucapnya yang mampu membuat ku tersipu malu. Ya aku tahu dia
tidak sedang bergombal tapi entah mengapa mendengarnya mengucpakan itu membuat
pipi ku memanas.
“Ayo ikut aku!”, ucap ku yang dengan refleks
tangan ku bergerak hendak menarik tangannya tapi belum sempat menyentuh tangan
pria disamping ku, aku pun langsung sadar.
Andin ingat itu tidak boleh. Kau
dengannya belum mukhrim. Jo pun menatapku dengan bingung.
“emm.., kita mau kemana?”, tanya Jo yang mensejajarkan langkahnya sengan
langkah kaki ku. Aku hendak menjawabnya tetapi suara adzan shalat ashar
mengurungkan niatku untuk berucap.
“kau tenang saja, aku tidak bakal menculik
mu”, ucap ku setelah adzan berkumandang.
“emm.. maksud ku bagaimana kalau kita menuju
tempat ibadah mu dulu untuk shalat?”, tanyanya dan membuat ku menatapnya
terpana. Bahkan sifatnya masih sama.
Andai kita seiman mungkin aku telah
jatuh cinta kepada mu, Jo.
“memang itu tujuan ku”, jawab ku dan mendapati
tatapan bingung Jo untuk kedua kalinya.
Masjid, ya
ketempat suci itulah aku mengajak Jo. Bukan, aku bukan bermaksud untuk
mendokrinnya masuk ke agama ku. Hanya saja aku ingin dia membantu ku mengajar
anak-anak kecil yang merupakan anak didik ku. Sejak aku masuk ke universitas
aku memutuskan untuk menjadi guru mengaji di masjid yang kini berada di depan
ku.
“Aku akan shalat. Ini untuk mu, kau bisa
menggunakan toilet masjid ini. Jika telah selesai kau bisa menemui ku disitu”,
ucapku menunjuk ke tempat dimana aku biasanya mengajar mengaji. Lalu ku berikan
tas berbahan kertas yang berisikan baju ganti untuknya.
***
Mengajar mengaji, ya itulah kebiasaan ku yang
kini berubah menjadi sebuah profesi. Setiap senin hingga jumat telah menjadi
kebiasaan ku mengunjungi Masjid ini. Setelah shalat ashar berjamaah aku akan
mengajarkan anak-anak yang kini tengah duduk rapi menunggu giliran untuk
membaca Iqra’. Membantu mereka agar fasih membaca Al-Quran serta menghafalkan
Juz Amma. Terkadang aku pun juga akan membantu mereka jika guru sekolah mereka
memberikan PR yang sulit diselesaikan oleh mereka. Dan aku pun bersyukur karena
aku menyukai pekerjaan ini.
Aku menggeledahkan pandangan ku mencari sosok
Jo yang sampai sekarang dia belum kelihatan sejak aku meninggalkannya di depan
Masjid. “apakah Jo marah aku megajak nya ke tempat ibadah ku?”, tanya ku
dalam hati.
“Ka Andin, Kaka kenapa?”, pertanyaan dari
gadis kecil yang telah siap membaca Iqra’ didepan ku membuyarkan lamunan ku.
“Kaka tidak papa, Ayo sekarang giliran mu”,
ucap ku seraya membuka Iqra’ nya ke halaman yang terakhir ia baca.
Gadis kecil yang ku kenali bernama Aisyah
kini mulai membaca iqra’ nya, aku tersenyum mendengarkannya. Semakin hari ia
semakin lancar membacanya.
“Wahhh.. Kau semakin lancar saja. Kaka
senang, pasti kau mengaji terus setiap malam”, puji ku dan Aisyah menatap ku
senang dengan menunjukan deretan giginya.
“Terima kasih Ka Andin”, ucapnya beranjak bangun
dari duduknya untuk kembali ke tempatnya.
“Adik-adik semua sudah mendapatkan gilirannya
membaca Iqra’ , nah sekarang jika adik-adik memiliki PR kalian bisa mengerjakan
sekarang, nanti jika susah bisa bertanya dengan kaka”, ucap ku diakhiri dengan
senyuman.
Tiba-tiba saja aku merasa seperti diamati dan
saat ku lihat di pintu Masjid, sosok pria yang mengenakan baju yang telah ku
berikan telah berdiri di ambang pintu. Dia terlihat lebih fresh dengan
tetesan air di ujung rambutnya yang kini mulai memanjang. Ku lihat ia tersenyum
menatap ku dan aku pun membalas senyumannya. Ku lambaikan tangan ku memberi
aba-aba untuk menuju ke tempat ku. Dan dengan ragu-ragu ia memasuki Masjid ini.
“Adik-adik kenalkan ini namanya Ka Jo, nah
mulai sekarang Kaka ini yang akan membantu kalian mengerjakan PR”. Jo menatap
ku bingung dengan mulutnya yang telah terbuka untuk mengatakan sesuatu tapi
belum sempat ia bersuara, ucapan salam pun terdengar.
“Assalamualaikum Kak Jo”.
Tunggu! Kenapa mereka mengucapkan salam bukan
kah sudah ku katakan untuk tidak mengucapkan salam kepada non muslim. Dan setelah
ku amati ternyata Jo tidak mengenakan kalung salibnya.
“Wa..alai..kum sa.. lam...”, Terkejut, ya aku
terkejut . Walaupun ia mengucapkannya dengan kikuk tapi entah mengapa bagi ku
terdengar indah karena ini pertama kalinya aku mendengar Jo menjawab salam.
“Adik-adik.. emm.. mulai besok kalian tidak
perlu mengucapkan salam kepada Kak Jo”, ucap ku.
“Memangnya kenapa Kak? Bukannya sesama Muslim
harus saling mengucapkan salam?”, tanya anak laki-laki yang duduk dibarisan
belakang yang ku kenali bernama Ahmad.
“emm.. begini, Kak Jo dengan kita itu emm..
berbeda. Kalian mengerti maskud kaka kan?”, jawab ku dengan kikuk bersusah
payah memikirkan kata-kata yang tepat agar Jo tidak tersinggung dan ku lihat
semua anak didik ku mengangguk mengerti.
“Kak Jo, Kak Jo bisakah kau mengejari ku bab
yang ini, aku tidak mengerti..”, pinta
Aisyah. Dan untuk kesekian kalinya Jo menatap ku bingung, aku hanya
mengerlingkan mata dengan memberikan isyarat kepada Jo untuk mendekati dan
mengajarkan Aisyah.
“Baiklah Andin...”, ucapnya dengan pesrah
lalu melangkahkan kakinya menuju ke tempat Aisyah
***
Tepat jam 5 sore, aku dan Jo meninggalkan
Masjid ini, biasanya hanya sampai setengah 5 pengajian selesai tetapi nampaknya
anak didik ku menyukai kehadiran Jo sampai-sampai mereka tidak ingin beranjak
dari Masjid. Butuh waktu setengah jam untuk membuat mereka pulang dan akhirnya
mereka menyerah tetapi dengan alasan Jo harus berjanji akan datang kembali esok
sore. Kini aku tengah menuju pulang ke rumah ku. Aku pun tidak bisa menolak
saat Jo menawarkan dirinya untuk mengantarkan ku seperti kemarin malam.
“Andin..”, panggilnya dengan suara yang
lemah.
“ya, ada apa?”
“emm, terima kasih untuk hari ini. Terima
kasih atas baju ini, terima kasih telah mengajak ku ke masjid, terima kasih
telah membantu ku dan terima ka...”
“cukup Jo, kau terlalu banyak mengucapkan
kata terima kasih. Mulai saat ini aku tidak mau mendengar kau mengucapkan kata
itu. Bagi ku persahabatan tidak membutuhkan kata terima kasih dan seudah
sewajarnya sahabat itu saling membantu. Jika kau bilang kalimat itu lagi aku
akan marah”, ucapku panjang lebar memotong ucapan Jo yang belum terselesaikan.
“emm baiklah..”
“oiya tadi kenapa kau lama sekali ganti
bajunya?”
“ohh itu, sebenernya aku sudah datang
ketempat mu tapi ku lihat kau sedang serius mengajari mereka jadi ku putuskan
untuk melihat-lihat tempat ibadah mu”.
“lalu?”
“aku pergi ke perpustakan kecil di dalam
Masjid itu dan aku membaca sebuah buku”
“buku apa yang kau baca?”, tanyaku penasaran.
“Keistimewaan islam dengan agama lain”.
“Jo maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk
emm.. untuk itu..Sungguh..”
“Aku tahu Andin, kau jangan khawatir. Dan aku
senang kau mengajak ku ke sana. Oiya boleh aku menanyakan sesuatu?”
“tentu saja boleh tapi jika pertanyaan mu
aneh aneh aku tidak mau menjawab”
“sejak kapan kau memakai penutup kepala
maksud ku emm... mengubah penampilan mu menjadi tertutup?”, tanyanya dengan
menggaruk-garuk kepalanya yang kurasa sepertinya tidak gatal.
“ohh maksudmu berhijab?, aku mengenakan hijab
ketika masuk ke universitas”
“kenapa?”
“karena aku berniat untuk menjadi muslimah
yang baik yang sesuai diajarkan di kitab ku. Dengan berhijab aku telah menutup
auratku yang bagi ku sendiri merupakan suatu kehormatan bagi seorang muslimah
untuk menutupi auratnya dari yang bukan mukhrimnya”, jawabku panjang lebar
dengan memperlihatkan senyuman diakhir kalimat ku.
“aku suka dengan penampilan mu yang seperti
ini, Andini..”
DEG...
Entah kenapa aku merasa seperti ada
aliran listrik di dalam tubuh ku, elektron-elektron yang menjalar menuju ke
hati. Oke aku tahu ini sangat hiperbola tetapi ya memang itu yang aku rasakan.
Munafik jika aku bilang aku tidak senang Jo berucap demikian dan jujur saja aku
sangat sangat sangat senang mendengarkannya. Dan untuk mu, Jo. Kau sukses
membuat pipi ku merah untuk kedua kalinya.
~ To be continue~
No comments:
Post a Comment