Friday, April 18, 2014

1 Keputusan, 2 Cinta dan 3 Hati




Monte Carlo, Monaco
          “Zayn tunggu!. Dengarkan penjelasanku!, kau salah paham Zayn!”       
            “Apa kau bilang?, aku salah paham!. Kau yang salah Jess, kau sudah berselingkuh dengan pria bajingan itu!. aku sudah lelah dibohongi terus, lebih baik kita akhiri hubungan kita dan mulai detik ini jangan pernah hubungi ku lagi”    
            Bukkk...
Dentuman pintu taksiku terdengar jelas ditelingaku, seseorang pria yang ku ketahui bernama Zayn menaiki taksiku dan menutup pintu taksi ini dengan amat kasar. Rasa emosi yang meluap-luap memenuhi di wajah merah padamnya. Sebutir air bening diujung matanya turun mulus melewati pipinya.
You were my summer Love... you always will be my summer Love...
Sedetik kemudian suara ringtone ponselnya terdengar nyaring dan ku tahu pasti itu adalah telepon dari wanita yang baru saja berubah status menjadi single. Ia melemparkankan ponselnya ke sebelah taksi, membiarkan panggilan yang terus berulang-ulang.
            “Aku ini bukan pembunuh atau buronan yang sedang dicari polisi jadi berhentilah menatap ku seperti itu!”.                                                              
            “sial! Aku tertangkap basah”, pekik ku dalam hati.                           
           Hentakan suaranya yang terdengar dari penumpang taksi dibelakangku mengagetkanku. Sontak saja mataku langsung menatap jalan dan kembali fokus mengedarai taksi.                                                                                
            “Maaf Tuan, sekarang kita mau kemana?”, tanyaku dengan nada lembut mencoba untuk mengalihkan ucapan dia yang sebelumnya. Kulihat ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya berlahan-lahan. Tuhan, kenapa mata ini terus saja ingin menatapnya.                                                              
           “antarkan aku ke Bartlett Street”                                                             
             Ku anggukan kepalaku tanda mengerti. Suara yang ia keluarkan amat berbeda dengan suara sebelumnya, lebih lembut dan tak dibumbui oleh rasa emosi. Ku gas taksi yang ku kendarai untuk menuju jalan yang dimaksud oleh pria tersebut. jalan yang ku ketahui tidak jauh dari tempat aku berada.
                                                                        ***                                       
               Tanpa kusadari taksi yang ku kendarai sudah tepat di jalan Bartlett. Pria tersebut memberikan beberapa lembar uang dan tanpa sepatah kata pun ia langsung turun dari taksi ku. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan penumpang ku yang sedang bersedih hati. Selama aku menjadi supir taksi, ini pertama kalinya aku melihat seorang pria menangis di taksiku. Biasanya wanita-wanita cantik yang menumpahkan air mata di dalam taksiku tapi kali ini sangat bertolak belakang. Pria berjambul coklat hitam itu terus saja meneteskan air mata dari kedua mata hitamnya. Sepertinya ia sangat mencintai mantan kekasihnya yang baru ia putuskan. Rasanya aneh, bukankah Monaco itu kota teromantis walaupun tak seromantis kota Paris tapi kenapa masih saja ada orang yang berselingkuh. Sungguh kasihan dia!.
You were my summer Love... you always will be my summer Love...
            “Bukankah itu bunyi ponsel pria tadi?”, ucapku bingung kenapa bisa terdengar ringtone ponselnya padahal ia baru saja turun 10 menit yang lalu. Semakin lama kudengar semakin kencang bunyi ponsel tersebut dan saat ku tengokan kepala ku ke tempat pria itu duduk dan Yap! Benar saja ponselnya tertinggal di taksiku.           
            “Dasar ceoboh!”, umpatku
***
Tok...Tok.. Tok..                                                                                                    
               Ku ketuk pintu dengan dinding berwarna putih, malam ini kuputuskan untuk mengembalikan ponselnya. Sudah berkali-kali ku ketuk pintunya tetapi sepertinya rumah ini kosong tak ada penghuninya. Rasa bosan telah muncul di benakku. Bosan menunggu penghuni rumah yang tak kunjung membukakan pintu.                                              
            “siapa?”                                                                                                    
             Tiba-tiba kata pertanyaan itu terdengar ketika aku hendak melangkahkan kaki ku untuk meninggalkan rumah pria yang tadi siang ku temui. Saat kubalikan badanku, kudapatkan seorang pria yang bermata lembab. Rambutnya yang tadi pagi disisr rapi kini tampak berantakan. Wajahnya yang tadi siang berwarna merah padam kini berubah menjadi seorang yang amat frustasi. Ia tampak seperti orang yang tersesat yang kehilangan arah. Ku langkahkan kaki ku mendekatinya.                           
            “aku ingin mengembalikan ini”, ucapku memulai pembicaraan dengan nada yang canggung seraya menyerahkan banda pipih berwarna hitam. Ia menatap bingung kearah ku, mengerutkan keningnya dan membuat kedua alis tebalnya hampir menyatu. Tangan kananya mulai ia ulurkan untuk mengambil benda miliknya. Kerutan dikeningnya kini telah digantikan oleh rasa kebingungan yang memuncak.   
            “ini seperti ponselku?, ucapnya dengan nada bingung.                        
            “iya itu memang punya mu”                                                                       
            “lalu, kenapa bisa ada dikamu? Kau mencurinya!”                                              
“Sial! Apa-apaan dia, seenaknya saja menuduh orang. Sepertinya keputusanku mengembalikan ponselnya lebih baik tak usah di kembalikan. Dasar pria nyebeliin!” , umpatku di dalam hati yang didongkol.                                        
            “aku tidak mencurinya, kau sendiri yang meninggalkannya di taksiku. Kalaupun aku mencurinya, aku tak perlu bersusah payah untuk mengembalikannya kepada pemiliknya!”                                                                    
           “tunggu, tadi kau bilang aku meninggalkannya di taksimu? Jadi, kau ini supir taksi?”                                                                           
         “ya, memangnya kenapa? Kau lupa akulah yang mengantarkanmu pulang tadi siang”                                                                                                                                            
            “emm.. maaf aku tidak ingat”                                                                                
Aneh sekali, masa dia tidak ingat. Apakah efek dari patah hati membuat kita lupa ingatan?, kurasa tidak tapi kenapa dia tidak ingat?
            “oke tak masalah, emm... kau terlihat tak enak badan lebih baik kau istirahat, aku akan pulang”. Hatiku terus saja memaksaku untuk mengeluarkan kalimat itu dari mulutku. Kalimat yang sekaligus mengakhiri pembicaraan.       
        “Tunggu!”, serunya yang memberhentikan langkahku.            
            “masuklah aku akan membuatkan coklat hangat sebagai ucapan maaf ku telah menuduhmu yang tidak-tidak”                          
            “baiklah, sepertinya satu cangkir coklat hangat dapat menghangatkan tubuhku yang memulai membeku menunggumu yang amat lama membukakan pintu”, keluhku dengan diakhiri tawa yang hambar dan saat itu pula ia tersenyum tipis kearahku.                                                                           
                                                            ***                                                     
            Kaki ku mulai memasuki rumah yang luasnya mungkin 3 kali dari luas rumahku. Ku amati barang-barang yang ada dihadapan mata. Semuanya tertata rapi dan banyak sekali foto-foto yang berpajangan didinding bercat putih susu. Foto pria tersebut  dengan wanita yang kurasa mantan kekasihnya yang baru ia putuskan tadi siang.                    
            “Kau tunggu disini, aku akan kembali”, kuanggukan kepalaku setelah kalimat perintah yang terdengar dari mulutnya.
            Mataku terus menyapu seisi ruangan dan berhenti tepat dipojok ruangan. Benda yang ada diujung sana merayuku untuk mendekatinya. Kusentuh benda berwarna hitam dan putih sehingga menimbulkan dentingan bunyi khas piano. Tanpa kusadari jari-jari ku telah menciptakan dentingan nada-nada yang indah dari sebuah lagu yang sangat femiliar untuk ku. The greatest prize sebuah lagu yang amat ku sukai, lagu yang memiliki makna yang begitu dalam. Seperti terhipnotis aku larut dalam nada-nada yang tertangkap oleh gendang telingaku.
            “I never look away I never in this place You’re standing here and I can see your face. Ohh.. i won the greatest prize. Ohh.. I’m in my paradise..”   
Tiba-tiba suara diujung sana membuatku tersontak kaget. Ia menyanyikannnya lirik tersebut dengan sepenuh hati. Bagaimana ia bisa tau bagian liriknya? 
            “suaramu bagus”, pujiku setelah dia mengakhiri lagu tersebut.
            “lagu itu mengingatkanku pada ‘dia’, lagu yang kunyanyikan dihadapannya saat ku tahu dia menerimaku sebagai kekasihnya. Saat aku mendapatkan dia sebagai hadiah terbaikku yang pernah ku dapatkan”., ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tahu yang dimaksud ‘dia’ olehnya adalah mantan kekasihnya. Mendengar itu semua membuatku begitu pilu dan iba. “tapi... tapi kenapa dia begitu tega? Kenapa dia tega berselingkuh? Apakah cintaku ini tidak lebih besar dari cintanya? Apakah kasih sayang yang kuberikan selama ini kurang? Aku benci wanita!!! Mereka semua pembohong!!!”.
            Benteng pertahanannya kini runtuh, buliran air yang bening meluncur indah di pipinya yang tirus. Air matanya seketika tumpah saat ia berteriak mengatakan Ia benci wanita. Ku ulurkan kedua tanganku memeluk pundaknya. Isakan demi isakan terus keluar seiring dengan air matanya yang membasahi bajuku. Pria ini benar-benar rapuh.
            “Terkadang apa yang kau pastikan belum tentu benar dimata wanita. Wanita tidak hanya membutuhkan cinta dan kasih sayang, mereka juga membutuhkan bagaimana cara pasangannya mencintainya, memanjakannya bak seorang putri raja. Jika kau menganggap semua wanita pembohong itu sama saja kau menghina Ibu mu sendiri karena biar bagaimana pun Beliau adalah seorang wanita dan satu lagi jangan pernah membenci wanita, kau tak akan mungkin dapat merasakan indahnya dunia ini jika tak ada wanita. Dan terakhir cinta tak dapat diukur, cinta hanya dapat dirasakan”, ucapku panjang lebar. Kuusap-usapkan rambut coklatnya yang acak-acakan mencoba meredamkan emosinya.                                                                         
             Setelah beberapa menit, ia menarik tubuhnya dari pelukanku. “thanks”, ucapnya sambil menyeka sisa-sisa air matanya.
             “sepertinya kita belum berkenalan, namaku Zayn”, sambungnya lagi sambil mengulurkan sebelah tangan kanannya, kuraih tangannya dan mengucapkan namaku “Aurora”.
            Bebrapa detik kita saling terdiam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kita masing-masing. “emm.. bagaimana dengan coklat hangatnya?”, ucap canggung mencoba keluar dari kesunyian. Zayn menggaruk-garukan belakang kepalanya yang diakhiri tawa hambarnya.                                            
           “emm.. maaf aku tidak jadi membuatnya setelah ku dengar dentingan piano, ku kira siapa yang memainkannya dan setelah ku lihat ternyata kau”        
            “oke baiklah.. kau harus beristirahat sekarang kau begitu terlihat kacau. Aku akan pulang sekarang. Good night”, ucapku mengakhiri pertemuan malam ini lebih tepatnya pertemuan pertama. Ku balikan badan hendak untuk kembali ke rumah tapi setelah beberapa langkah Justi memanggilku.                                                                    
            “Aurora?”, ku balikan tubuhku menghadap Zayn yang masih terduduk diam  
            “Apakah besok kau bisa menemaniku?”                                                      
            “tapi, bagaimana dengan pekerjaanku?”                                                  
            “aku akan bilang kepada bos mu, bagaimana?”                                        
           “baiklah, asal kau tidak membuatku kehilangan pekerjaan. Hahaha..”         
           “terima kasih... emm senang berkenalan dengan mu”, ucap Zayn yang diakhiri senyuman. Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum manawan. Senyuman yang indah dan tulus.                                                                                                                                                                            ***                                                                 
“apakah kau bisa melakukannya, menjauhi dirinya. Ku mohon lakukan itu demi aku, aku tahu aku memang salah tapi sungguh aku masih mencintainya dan aku yakin dia juga masih mencintaiku. Ku mohon menjauhlah darinya”
Cappucino yang baru saja masuk ke kerongkongan ku terasa begitu pahit di lidah setelah ku dengar perempuan dihadapanku ini memintaku untuk menjauhi Zayn. Perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah mantan kekasih Zayn, perempuan yang telah mencampakkan Zayn. Jessica, itulah namanya. Nama yang cantik seperti pemiliknya, pantas saja Zayn cinta mati dengannya. Sejak sebulan yang lalu saat Zayn meminta untuk menemaninya, kita mulai menjadi sahabat dan semakin dekat. sebulan ini pula ia selalu membicarakan mantan kekasihnya seperti masih terbayang-bayang oleh wanita yang dihadapanku sekarang ini. Mungkin ini saatnya untuk mempersatukan mereka walaupun hati ku ini harus menahan rasa sakit yang sangat-sangat menyakitkan. Aku tahu aku salah, karena telah jatuh cinta kepada orang yang tak bisa berhenti mencintai mantan kekasihnya.                                     
            “baiklah, aku akan melakukan itu tapi... ku mohon kepadamu untuk tidak melukai hatinya lagi. Bisakah kau melakukan itu?”                                                        “aku akan melakukannya, kau tenang saja dan terima kasih kau telah menuruti kemauanku”, ucapnya dengan nada yang manis sereya memelukku.                                                                                                ***                                                                 
            otakku terus saja mengingat-ingat kejadian yang baru saja ku lakukan di Cafe tadi siang. Kejadian yang paling bodoh yang pernah ku lakukan. Bagaimana tidak bodoh, aku membiarkan orang yang kucintai jatuh ke tangan orang lain, orang yang pernah menyakitinya. Egois jika aku memaksakan kehendakku itulah alasan kenapa aku rela membiarkan Jessica merebut Zayn karena biar bagaimanapun Zayn masih mencintainya.                                                                                                 
Drtt..drttt..drttt..
            ku ambil ponselku yang menimbulkan getaran. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak ku kenal. Saat ku baca pesannya kini ku tahu siapa pengirimnya. Jessica, dialah sang pemilik nomor ini.                                     
            Aurora, apakah kau tahu Zayn dimana sekarang? Aku pergi ke rumahnya tapi aku tidak menemuinya?.
             Kalimat itulah yang saat ini terpampang jelas dilayar ponselku. “sepertinya aku tahu dimana dia”. Jari-jari ku langsung mengetik nama sebuah tempat yang ku yakini Zayn berada disana. Setelah ku tekan tombol Send, aku langsung menggas taksiku menuju tempat yang kumaksud untuk memastikannya.
Taman Mawar Princess Grace                                                                               
         kakiku terus saja melangkah memasuki taman yang sebulan yang lalu kudatangi bersama Zayn. Dengan ditemani cahaya bulan aku melihat seorang pria yang sedang menunduk. Kedua tangannya ia letakkan di dengkulnya menyanggah kepalanya.                 
            “Zayn”, kupanggil namanya dan saat itu pula ia mengangkat kepalanya.      “Aurora”                                                                                                         
           “ternyata benar kau ada disini”                                                       
          “kenapa kau bisa tahu aku ada disini?”                                        
           “bukankah kau sendiri yang bilang kalau taman ini tempat favorit mu”                       
            “lalu, kenapa kau kemari?”                                                                               
            “aku mencari mu, pulanglah Jessica mengkhawatirkanmu”, wajahnya tampak lesu setelah aku menyebutkan nama gadis itu.                                                                 
            “kau tahu dia memintaku untuk kembali padanya?”
            “kenapa kau sedih, bukankah itu keinginanmu untuk menjadi miliknya lagi dan bukankah kau mencintainya”                     
            “ya aku memang mencintainya tapi itu dulu sebelum ku tahu ternyata yang kucintai bukan dia tetapi kau, Aurora”                                     
Apakah telingaku tak salah dengar, dia bilang dia mencintaiku. Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak, bagaimana mungkin Zayn jatuh cinta kepadaku, kepada supir taksi.                                                                                                             “kau salah Zayn, yang kau cintai itu bukan aku tapi Jessica, cintamu kepadaku hanyalah cinta sesaat tetapi cintamu kepada Jessica adalah cinta yang utuh”, ucapku seraya mengusap-usapkan sebelah kanan pipinya. Sementara Zayn hanya terdiam memandangiku lekat-lekat seperti tidak menyetujui argumentasiku. Tiba-tiba sebuah sinar terang terlihat memancarkan ke arah kami berdua. Ku sipitkan kedua mataku berusaha melihat kesumber cahaya tersebut. seorang wanita berdiri disana dan ku tahu dia adalah Jessica.                                                    
            “kau lihat wanita diujung sana, dia bagaikan seekor burung yang terlepas dari sangkarnya. Jika seekor burung yang terlepas pasti akan terbang jauh dan tak akan pernah kembali. Tapi dia berbeda, dia kembali dan itu artinya dia adalah burung termahal. Karena itu kembalilah padanya, kesempatan tidak datang dua kali”, ucapku dengan tegar berusaha payah menahan air mata untuk tidak turun dihadapan Zayn.  “baiklah, aku akan mengikuti apa yang kau mau. Tapi, ketahuilah cintaku ini tulus dan bukan cinta sesaat”, setelah kedua bibirnya mengucapkan kalimat yang terdengar ada sebuah penekanan disetiap kata yang ia keluarkan. Zayn langsung berlalu lalang meninggalkanku sendirian dan saat itu pula air mataku menetes. Sungguh, aku benar-benar bodoh.                                                                                                                                                                                                                                           ***                                                     
            2 minggu telah berlalu, setelah pertemuan malam itu ku putuskan untuk tidak menemui Zayn dan selama 2 minggu ini aku mencoba mengabaikan rasa cintaku kepada Zayn. Selama 2 minggu ini pula Zayn terus menghubungiku, meneleponku bagaikan seperti seorang minum obat. Pagi, siang, dan malam ia selalu mengirimkan pesan yang berisikan pesan yang sama memintaku untuk menemuinya. Rasa ingin bertemu dengannya terus saja menggerogoti hatiku yang pada kahirnya aku menerima ajakannya tersebut menemuinya ditempat terakhir kita bertemu. Jam tanganku telah menunjukan pukul 10 tepat dan itu artinya aku telah telat selama satu jam. Aku memang sengaja melakukan ini kerena aku hanya ingin mengetahui apakah Zayn benar-benar ingin menemuiku. Dan ketika ku tiba di taman itu, ku dapatkan seorang pria berjaket hoodie biru.                                                                       
            “Aurora”, ucpanya yang menyadari kehadiranku. Wajahnya masih tetap sama seperti 2 minggu yang lalu tetapi raut muka kini berbeda, ia terlihat lebih sumringah. “akhirnya kau datang juga”, ucapnya lagi dengan nada yang puas.
           “kenapa kau masih ada disini”, jawabku dengan nada sinis. 
           “karena aku tahu kau pasti akan datang”, tidak ada raut kekesalan diwajahnya yang ada hanya rasa senang ynag begitu dominan seperti mendapatkan harta karun
.          “aku tidak punya banyak waktu, jadi kau katakan saja apa yang mau kau katakan”                                 “baiklah, aku ingin menemuimu karena aku ingin memastikan kalau kau juga mencintaiku seperti aku yang mencintaimu”          
            “Haha... kau  memintaku menemuimu untuk membahas soal ini?, Zayn sudah ku bilang kalau aku tidak mencintaimu dan sudah berkali-kalu pula ku katakan cintamu kepada ku hanyalah cinta sesaat”    
          “kau bohong! , aku tahu tentang mu dan aku tahu kau juga mencintaiku. Katakan, katakan kalau kau juga mencintaiku”, ucap Zayn. Kedua tangannya memegang kedua lengan kananku memaksaku mengatakan apa yang ia pinta.
     “Tahu apa kau tentang ku? Kenapa kau keras kepala Zayn sudah ku bilang aku tak mencintaimu”, jawabku seraya menepis kedua tangannya yang masih menggantung dilenganku. Sementara hati ku terus meronta-ronta untuk bilang kepadanya bahwa aku benar-benar mencintainya.
        “aku tahu kau telah mencintaiku sejak kau memelukku ketika malam itu, ketika kau mengembalikan ponselku, ketika kau memandangiku kala itu dan pancaran matamu menyiratkan kalau kau mencintaiku...”  
          “sungguh, kau adalah orang yang sangat sok tahu yang pernah kutemui, aku memang memandangimu karena aku merasa kasihan kepadamu, kau seperti orang rapuh yang akan mati dihari itu”, dengan naada yang berteriak aku megucapkannya, memotong ucapan yang belom diselesaikan oleh Zayn.Ia menatapku dengan tatapan kecewa  
           “jika kau memang benar-benar tak mencintaiku, datanglah ke acara pertunanganku dengan Jessica”          
     “pertunangan? Kau dan Jessica?”                                                                        
     “Ku mohon datang lah besok, jika kau datang itu tandanya kau telah membuktikan ucapanmu”                                                                                                     
“kau bilang kau mencintaiku  tetapi kenapa kau menerima pertunagan ini. Haha.. konyol, kau benar-benar konyol!”                                                                                  
“maka dari itu, katakan kalau kau mencintaiku. Jika kau mengatakannya aku akan membatalkan pertunangan itu”                                                                    
           “kau gila Zayn!. Apakah kau tidak punya hati?. Jika kau melakukan itu itu sama saja kau menhancurkan 2 hati perempuan sekaligus. Dan ku pastikan aku akan datang besok”                                                                                                          
“aku akan tunggu kedatanganmu”                                                                                                                                                ***                                                                 
jika kau bilang aku ini pembohong, ya kau benar!                               
Aku telah membohongi perasaanku ini.                                      
Bagiku kau itu seperti sebuah piano yang berwarna hitam dan putih          
 putih mu membuatku berharap kau pasti akan kembali kepadaku tapi
 hitam mu itu membuat harapan itu palsu saat kau bilang kau akan bertunangan....
walaupun mata ini tidak meneteskan air mata ketika kau mengatakan itu
tapi ketahuilah hati ini menangis, menangisi kenyataan pahit yang harus kuterima...                                                                              
mungkin peryataan cinta ini telah terlambat tapi kau harus tahu bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu, Zayn Jawadd Malik...
            -Aurora –

            Sepertinya taman ini telah menjadi tempat fovoritku, 30 menit sudah aku melamun di taman ini. Mengingat-ingat kembali pada saat Zayn membawa ku ketaman ini untuk pertama kalinya. Tapi sekarang mungkin dia telah bertunangan. Aku telah membuktikan ucapanku yaitu datang ke tempat pertungannya. Aku kesana bukan untuk melihat acara pertunangannya melainkan hanya untuk memberikan sebuah surat yang berisikan curahan hatiku yang tak sanggup kuucapkan secara langsung dihadapan Zayn.
            “Aurora”, ku balikan tumbuhku ke sumber suara yangmeneriaki namaku dan kulihat seorang diujung sana memakai Toxedo berwarna hitam. Pria dengan jambul keemasan yang selalu menghiasi kepalanya.     Dengan wajah yang sumringah ia berlari mendektai ku.                                                                                 
  “Zayn?, kenapa kau ada disini?”, tanyaku bingung bukankah seharusnya ia berda ditempat pertunangannya.                                                                                          
            “aku mencari calon tunanganku”, jawab Zayn yang semkin membuatku bingung. 
            “kau akan bertunangan ditaman ini, di tempat favorit mu?”, tanyaku lagi dan ku lihat ia menganggukan kepalanya.                                                                    
     “lalu dimana Jessica? Kenapa dia tidak datang bersama mu?”                                  

“ya aku akan bertunangan di taman ini tetapi bukan dengan Jessica melainkan denganmu, Miss Aurora izinkanlah aku Zayn Javad Malik untuk memasangkan cincin ini dijarimu”, ucapan Zayn membuatku benar-benar tersontak kaget dan tanpa persetujuan dari ku ia langsung mengangkat tangan kananku memasangkan cincin itu ke jari manisku. Dan tanpa diperintahkan air mataku menetes, air mata kebahagian. Aku tak percaya Zayn akan melakukan ini, melamarku di tempat favorite kita berdua. This is the greatest prize i ever had.     

-THE END-

*hanya saran, jika membaca cerpen ini cobalah sambil mendengarkan lagu Cinta Datang terlambat – Maudy Ayunda dan The Greatest Prize – Natt & Alex Wolf*


No comments:

Post a Comment