Monday, June 30, 2014

Should I....? (Ending)


“Huhhh..”, helaku membuang napas panjang.
            Minggu ini sungguh amat melelahkan. Para dosen mata kuliah ku sepertinya telah berencana memberikan tugas serempak dan di kumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Huh, benar-benar menyebalkan. Dulu ketika aku masih duduk di bangku SMA, ku pikir menjadi mahasiswa akan menyenangkan karena akan terbebas dari tugas tapi nyatanya emm.. sama saja. Sampai-sampai Miss Alline, dosen yang tidak pernah memberikan tugas kini ikut-ikutan memberikan tugas. Kutatap kesal ke kertas yang ada digenggaman ku, membaca ulang tugas yang diberikan tugas oleh Miss Alline.


            “Arggghh, Miss Alline kenapa kau harus memberikan tugas sesusah ini!”, erang ku membejek kertas tersebut dan membuangnya sembarang. Ku pejamkan mataku merasakan hembusan angin yang ada di taman ini. Untunglah udara di taman kampus ini sejuk sehingga dapat menenangkan otak ku yang seminggu ini telah bergulat ria dengan tugas-tugas ku. Dan entah dari mana asalnya wajah Jo dan Jevan terbayang di otak ku.
            “Jo sedang apa ya? Apa dia sedang mengajarkan anak-anak di Masjid?, dan Jevan kenapa kau belum musuk ke kampus? Apa penyakit typus mu masih betah di diri mu?”
            Dengan mata yang masih tertutup, mulutku berucap demikian, memikirkan kedua pria yang telah 3 bulan ini akrab dengan ku. Ke dua pria yang telah seminggu ini tidak kutemui karena tugas-tugas yang menyebalkan.
            “Hei nona, kenapa kau membuang kertas ini sembarangan. Mengotori lingkungan!”, kudengar ucapan mencemooh dari seorang pria tapi mata ku enggan membuka untuk mengetahui pria tersebut dan saat sebuah jari menyentil  jidat ku dengan refleks mata ku membuka lebar.
            “Jevan!”, ucap ku mendapati pria yang sedang menunjukan kertas yang beberapa  menit yang lalu ku lempar.
            “Yes, I am. why you looking me like that?. Kau seperti melihat hantu disiang bolong”
            “kau... kau sudah sembuh?”
            “yup, seperti yang kau lihat. Kau tahu kau sungguh jahat kenapa kau tidak menjenguk ku, huh?”
            “Maaf.. aku tidak sempat menjengukmu karena aku harus menyelesaikan tugas-tugasku”, jawab ku dengan menunjukan puppy eyes berharap pria tersebut memaafkannya.
            “Baiklah permintaan maaf di terima”
            “kau seriusan sudah sembuh?”, Jevan pun mengangguk.
            “tapi kenapa wajah mu masih pucat dan kenapa makin hari kau semakin kurus. Aku ragu kau hanya sakit typus?”, tanya ku heran
            “Ya ampun Andin, kau seperti tidak pernah sakit saja. Tentu saja wajah ku maasih pucat karena ini efek aku baru sembuh dan kenapa aku kurus, itu karena selama sakit aku dilarang memakan makanan yang berlemak yang dapat membuat orang gemuk. Hahaha...”, jawabnya diakhiri dengan tawanya yang hambar. Aku yang mendengarnya merasa aneh, sepertinya Jevan sedang mencari-cari alasan.
            “kau sendiri kenapa wajah mu kucel, emm?”
            “karena kertas itu!”, ucap ku menunjuk kertas yang masih berada di tangan Jevan. Jevan pun langsung membaca kertas tersebut.
            “kau...kau akan ke luar kota?”. Ku anggukan kepalaku setelah mendengar pertanyaan Jeven.
            “Ya, sepertinya aku akan pergi ke Semarang untuk mengadakan pengamatan”.
            “berapa hari?”, tanya Jevan dengan nada serius.
            “emm..mungkin seminggu”.
            Setelah mendengar jawaban ku, Jevan langsung diam dan menyudahi perrtanyaannya. 15 menit sudah ia membungkamkan mulutnya dan sibuk dengan pikirannya. Entahlah aku tidak tahu apa yang ia pikirkan. Untuk saat ini aku berharap dapat seperti Edward Cullen. Aku penasaran apa yang sedang ia pikirkan.
            “sepertinya kau masih sakit. Aku akan menemui Jo dan lebih baik kau pulang. Dan ketika aku balik, aku tidak mau melihat tubuh kurus mu. Makanlah yang banyak kalau perlu kau harus makan sayuran setiap hari”, ucapku memberi nasihat bak seorang ibu yang akan meninggalkan anaknya. Aku pun langsung bangun dari duduk ku dan beranjak pergi meninggalkan Jevan.
HAP!
            Sebuah tangan mencengkram pergelangan tangan ku saat aku baru melangkahkan kaki.
            “tunggu Andin! Emm.. aku mencintai mu!”
DEG!
            Apa aku salah dengar. Jeven bilang cinta kepada ku. Sepertinya aku harus segera ke THT. Dan tanpa aba-aba aku langsung menghadapnya, menatap matanya.
            “Kau becanda kan?”, ucap ku memastikan
            “tidak aku serius”
            “kenapa?”, mataku masih menatap Jevan meminta alasan darinya tapi dia hanya membungkam bak seorang patung.
            “Kenapa? Kenapa kau mencintai ku? Kau tahu aku tidak cantik, aku bukan keturunan konglongmerat, aku bukan kerturunan bangsawan, dan aku tidak pintar seperti dirimu yang memiliki IQ yang tinggi!”, ucap ku dengan menekan kata-kata yang ku keluarkan.
            “Ya aku tahu, aku tahu kau tidak cantik, kau bukan keturan bangsawan maupun konglongmerat dan aku juga tahu kau tidak pintar dan hanya memiliki IQ di bawah ku. Dan kenapa aku mencintai mu, karena alasan-alasan yang kamu sebutkan tadi sudah ada di diriku jadi untuk apa aku memilikinya lagi. Karena apa? Karena aku mencintai mu apa adanya. Bukankah cinta itu saling melengkapi? I want you to be part of my life
            “a..apakah kau meminta ku menjadi kekasih mu?”, pertanyaan bodoh itulah yang mampu keluar dari mulutku. Mendengar jawaban Jevan barusan membuat bibirku kaku dan aku tak tahu apa yang harus ku jawab.
            “tidak...”
            “melamar ku?”, dengan amat PD aku bertanya demikian dan ku lihat Jevan menggelengkan kepalanya.
            “tidak juga...”
            ‘lalu?”
            “aku hanya.. aku hanya ingin jujur, aku takut aku tidak bisa mengucapkannya ketika kau balik”
            “Hahaha.. Jevan, Jevan kau tahu aku hanya pergi seminggu bukan untuk selamanya. Kau itu aneh deh. Sudahlah aku mau menemui Jo. Kau mau ikut?”
            “emm.. belum waktunya”.
            “baiklah, ku harap jika nanti aku pulang kau dengan Jo sudah berbaikan dan ingat jangan lupa untuk makan sayur!”
            “baiklah aku akan menurut dengan mu Miss. Cerewet. Good bye...”
Aku hanya terkekah mendengarnya mnyebutku sebagai Miss Cerewet. Dan entah kenapa otakku kembali memikirkan pernyataan Jevan. Membingungkan. Hari ini dia sungguh aneh sekali, emm.. mungkin karena efek obat yang ia minum.
                                                                                    ***

            Warna jingga yang menghiasi langit sore menemani ku menuju pulang ke rumah. Dan seperti biasa Jo mengantarkan ku pulang. Sudah setengah perjalanan, entah kenapa Jo lebih banyak berdiam diri dan hanya berjalan dibelakang ku. Apa dia marah?, gumam ku dalam hati.
            “Jo..”, panggil ku yang menghentikan langkah menunggu Jo menyusulku.
            “ada apa?”, tanyanya.
            “kau marah pada ku ya? Maafkan aku telah menyusahkan mu selama seminggu ini”, ucapku menyesal karena seminggu ini aku tidak datang ke masjid untuk mengajar mengaji. Tentu saja semua itu disebabkan oleh tugas-tugas ku menyebalkan.
            “tidak. aku tidak marah”
            “lalu, kenapa kau dari tadi diam?”
            “emm..aku sedang memikirkan sesuatu. Andini, ada yang aku mau katakan”.
            “aku juga ingin mengatakan sesuatu Jo”
            “okey, Ladies first
            “emm.. begini, mungkin selama seminggu ke depan aku tidak bisa datang ke Masjid karena aku harus mengadakan pengamatan di Semarang untuk tugas kuliah ku. Dan aku minta tolong kamu untuk menggantikan ku kembali di Masjid seperti minggu lalu yang kau lakukan. Kau bisa kan?”
            “tentu saja aku akan membantu mu. Kau jangan khawatir.”.
            “terima kasih Jo. Lalu kau mau mengatakan apa?”
            “emm..mungkin kau akan kaget mendengarnya dan mungkin aku terlalu terburu-buru tapi aku harus mengatakannya sekarang. Kau dengarkan baik-baik okey”.
Aku mengangguk mendengar perintah dari Jo dan tiba-tiba saja tangan Jo telah menyentuh dan memegang bahu ku, sontak saja aku kaget dan yang lebih mengagetkan lagi setelah ia mengucapkan...
            “Chairunnisa Andini, aku mencintai mu”
Mendengar itu aku hanya dapat melongo. Kejutan apa lagi ini, setelah tadi sore Jevan juga mengucapkan kalimat yang sama.
            “kenapa?”, tanya ku seraya melirik ke tangan Jo yang masih berada di bahu ku.
            “emm maaf..”, ucapnya menjauhkan kedua tangannya.
            “Kenapa? Kenapa kau mencintai ku? Kau tahu aku tidak cantik, aku bukan keturunan konglongmerat, aku bukan kerturunan bangsawan, dan aku tidak pintar seperti dirimu”. Kalimat itulah yang ku keluarkan. Pertanyaan yang sama ketika Jevan mengatakan pernyataan yang sama dengan Jo.
            “Ya, aku tahu itu. bukankah di mata tuhan kita ini sama? Bukankah di mata Tuhan kita ini sederajat. Bukan status yang dapat membedakan kita dengan yang lain tetapi, iman dan ketakwaan lah. Aku mencintai mu bukan karena status mu, tetapi kerena ketakwaan mu lah yang membuat ku jatuh cinta kepada mu. Dan aku.. dan aku mencintaimu karena Allah Subhanawataa’la”.
Seperti tersabar petir aku merasa kaku dan tegang di tempat. Aku sungguh tidak menyangka Jo akan mengatakan itu. Aku senang tetapi di lain sisi aku mengharapkan orang lain yang mengucapkan itu. Entahlah aku juga tak tahu siapa.
            “kau..kau mu..alaf?”
            “iya, selama 3 bulan ini aku banyak belajar tentang Islam dan 3 hari yang lalu, aku telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Maaf kan aku tidak memberitahu mu lebih awal”.
            Alhamdulillah hirobbil a’lamin. Syukurlah”
            “Andin, ku harap kau bisa menjawab pernyataanku ketika kau balik dari Semarang”.
             Aku hanya dapat mengangguk. Membalikan badan ku melanjutkan langkah ku. Perjalanan pulang dengan Jo kali ini sungguh benar-benar canggung. Hanya suara batuan kerikil yang terinjak oleh kedua kaki kita yang memecahkan keheningan diantara kita dan matahari yang lambat laun mulai menghilang dari langit. Menenggelamkan dirinya di ufuk barat.
                                                                                    ***
Ya Allah, haruskah Hamba-Mu ini memilih salah satu dari mereka? Haruskah Hamba memilih Jevan dan menyakiti Jo? Atau haruskah Hamba memilih Jo dan menyakiti Jevan? Hamba tidak ingin menyakiti salah satu dari mereka. Berikanlah petunjuk Mu, Ya Allah... Rabanna atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina  ‘adzabannar...
            Ku sudahi doa ku setelah shalat istikharah di tengah malam ini. Selama dua minggu ini pernyataan dari kedua pria tersebut terus saja terngiyang-ngiyang di otak ku. Malam ini merupakan malam terakhir ku di Semarang setelah empat belas hari ini aku mengerjakan tugas kuliah. Tapi, sampai saat ini aku masih saja belum menemukan jawaban siapa yang akan ku pilih. Aku tahu pernyataan Jevan minggu lalu bukanlah untuk memintaku menjadi kekasihnya dan bukan pula melamar ku tapi entah mengapa aku merasa ucapannya memiliki makna yang sama seperti pernyataan yang diucapkan Jo.
            Huh, sudahlah lebih baik aku tidur”, ucap ku yang baru sadar bahwa besok aku harus bangun pagi untuk kembali kerumah. Ku pejamkan mata ku dan berharap Allah akan segera memberikan petunjuk-Nya.
                                                                                    -o0o-
            “JEVAAANNN TUNGGGUUUUU!!!”
            Mataku terbuka dan mengedarkan ke semua sudut ruangan, mencoba mengenali dimana aku sekarang. Ini bukan kamar ku. Tentu saja karena aku masih berada di tempat penginapan.
            Huhhh...ternyata hanya mimpi”, ucap ku seraya menghela napas lega.
Mimpi yang aneh, didalam mimpi tersebut aku melihat Jevan terus berjalan  lurus. Aku terus memanggilnya tapi ia masih terus berjalan lurus tanpa menoleh sedikit pun, dan ketika aku berteriak dia hanya melambaikan tangannya lalu melanjutkan langkahnya. Aneh bukan?. Tapi apakah ini petunjuk dari Allah?. Ya, mungkin ini petunjuk-Nya mendatangkan Jevan di mimpi ku karena yang sebenarnya aku cintai adalah Jevanno Anggara. Pria yang ku juluki si cowo jutek nan sombong dan angkuh.
                                                                        ***
            “Assalamua’laikum Jo..”, ucap ku memberi salam kepada Jo yang baru saja keluar dari Masjid.
            “Waa’laikumsalam. Andini! Kau sudah pulang?”, jawabnya dengan tampang terkejut. Aku memang sengaja tidak memberi tahunya aku akan pulang hari ini.
            “Yup, seperti yang kau lihat”.
            “Kau bilang kau hanya  pergi selama seminggu? Kenapa jadi dua minggu?”
            “Hehehe... ada sedikit kesalahan jadi ya harus diundur. Maaf Jo, pasti dua minggu ini aku sangat merepotkan mu”
            “tidak juga, aku malah senang karena selama dua minggu ini aku  banyak belajar dari anak didik mu, bahkan mereka mengajarkan ku mengaji. Awalnya aku sulit sekali membedakan huruf-huruf hijayah karena bentuknya yang hampir mirip dan dengan sabarnya mereka membantu ku”
            “Wah, Syukurlah. Oiya, ini baru jam satu siang kenapa kau sudah ada di Masjid bukankah pengajiannya  di mulai ba’da Ashar?”
            “Aku datang kesini untuk ikut shalat dzuhur berjamaah. Kebutulan Ustad Anwar, ustad yang menjadi saksi ketika aku masuk islam juga ikut jadi setelah selesai shalat jamaah aku menanyakan lebih dalam lagi tentang islam”
            “Oh begitu..”
            “kau juga kenapa kau datang jam segini?”
            “Aku  ingin melaksanakan shalat dzuhur di Masjid ini kalau begitu aku masuk dulu.”
            Okey, Oiya Andin apa setelah shalat dzuhur kau punya waktu? Aku ingin mengajak mu ke suatu tempat”
            “emm.. Aku ingin menemui Jevan, tapi aku tak tahu dia dimana? Ponselnya juga mati. Mungkin aku akan ke kampus.”
            “Bagaimana jika aku mengantarkanmu menemui Jevan? Aku tahu dimana dia sekarang”.
            “Benarkah?. Okey aku tidak akan menolak”
            “Aku akan menunggu mu disini”
            Dengan bersemangat ku langkahkan kaki ku kedalam masjid. Sungguh aku telah tidak sabar untuk bertemu dengan cowo jutek itu dan aku juga sudah tidak sabar untuk mengucapkan jawaban yang telah ku pikirkan bahwa aku juga ingin menjadi bagian dari hidupnya.
                                                                                    ***
            “Ayo masuk”, ucap Jo yang membukakan pintu mobil yang tidak ku ketahui siapa pemiliknya.
            “kenapa kau bengong? Andin, ayo cepat masuk”.
            “ini mobil siapa?, kau tidak sedang berusaha untuk menculik ku kan?”, tanya ku dengan nada takut setelah berada di dalam mobil.
            “Hahaha.. kau ini ada-ada saja. Kan sudah ku bilang aku akan mengantarkan mu ke tempat Jevan”, jawab Jo diiringi tawanya yang kemudian menyalakan mesin mobil ini.
            “lalu ini mobil siapa?”, pertanyaan yang sama yang masih membuat ku bingung.
            “ini mobil ku lebih tepatnya mobil pemberian ayah ku”
            “ohhh...tunggu! berarti kau sudah kembali ke rumah mu?”
            Yuppp
            “emm.. apakah ayah mu masih marah”
            “Kalau ayah ku marah kenapa juga ia memberikan mobil ini. Malah beliau meminta maaf karena telah memaksakan kehendaknya”.
            “dan...dan apakah kau sudah mengatakan kau ini mualaf?”
            “Aku juga sudah mengatakan kepada beliau kalau aku ini memilih Islam”.
            “lalu, apa reaksi kedua orang tua mu?”
            “Awalnya mereka tidak setuju tapi setelah aku meyakini kedua orang tua ku, akhirnya mereka menyetujui ku untuk pindah agama”.
Ku tolehkan pandangan ku mengamati kaca mobil. Bisa ku lihat dari kacamobil ini, kini mobil Jo telah melewati jalan yang hanya dapat di lalui oleh sebuah mobil dengan pohon-pohon rindang di sebelah kanan kiri. Sepertinya aku mengenali jalan ini. Bukankah jalan ini jalan untuk menuju ke tempat pemakaman. Dan bukankah jalan ini hanya diperbolehkan dilalui untuk peziarah. Kenapa Jo membawa ku kesini?
            “Jo sebenernya kita mau kemana? Kenapa kita lewat jalan ini?”
            “nanti juga kau akan tahu. Ayo kita turun, kita sudah sampai”, ajak Jo yang memberhentikan mobilnya di depan plang bertulisan ‘PEMAKAMAN DAMAI DAN MULIA’. Aku semakin bingung ketika Jo masuk kedalam pemakaman tersebut. Aku hanya dapat mengekorinya masuk ke pemakaman. Apakah Jevan sedang berziarah disini, pikir ku.
Semakin Jo memasuki kedalam pemakaman pikiran ku semakin bercabang-cabang memikirkan yang tidak-tidak. Tenang Andin, semua yang ada dipikiran mu itu tidak akan terjadi, pikirku seraya menunduk dan mengusap-usap dadaku menenangkan pikiranku.
BUKKK...
Tanpa ku sadari, aku menubruk punggung Jo yang tiba-tiba saja berhenti mendadak tepat di sebuah kuburan yang masih baru. Tanah merah yang sedikit menggunung terlihat masih basah dengan buyaran-buyaran bunga yang masih segar diatas kuburan tersebut. Ku lihat dan ku baca tulisan yang ada di batu nisan tersebut. JEVANNO ANGGARA.
DEG!
Apa aku tidak salah baca atau apa mata ku sudah rabun, sepertinya aku harus memakai kacamata. Ya mungkin aku salah baca. Mana mungkin nama Jevan tertulis di nisan tersebut.
            “ke tempat inilah aku ingin mengajak mu dan disinilah pula Jevan berada, Andin”, tiba-tiba perkataan Jo mengsirnakan harapan ku dan sedetik kemudian air mata ku telah turun mengenai batu nisan yang semakin kudekati. Dan ternyata benar, aku tidak salah baca. Nisan tersebut memang bertulisan Jevanno Anggara.
            “Kau bohongkan Jo? Iyakan kau bohong? Ini bukan tempat Jevan? Katakan kalau kau bohong Jo! Apa kau sedang bercanda? Jika kau sedang bercanda, sungguh percadaan mu tidak lucu!”, teriakku dengan suara bergetar yang sudah tidak dapat lagi mengontrol diri ku. Ku tarik lengan baju yang dikenakan Jo dan ku gunjang-gunjangkan. Berharap Jo membuka mulutnya. Tapi hasilnya nihil, Jo tetap saja membungkam.
            “Ayo Jo cepat katakan! Kenapa kau diam saja! Kau tidak tuli kan? Ayo cepat katakan!”, Aku terus meracau dengan seiring air mataku yang menetes semakin banyak.
            “tenang Andin, tenang. Tenangkan emosi mu. Aku tidak sedang berbohong dan aku juga tidak sedang bercanda. Ini nyata dan ini bukanlah sebuah mimpi, Jevan sahabat kita dan Jevan, cowok yang kau anggap angkuh dan sombong kini sudah di alam yang berbeda. Aku harap kau bisa menerima kenyataannya. Oiya  Jevan membrikan ini untuk mu”.
Jo memberikanku sebuah buku tebal yang di lapisi sampul abu-abu mengkilat. Sepertinya aku mengenali buku ini. Bukankah buku tebal ini, buku yang selalu dibawaa-bawa oleh Jevan ketika di SMA. Ya, si Buku Menyeramkan.
Ku ulurkan tangannku mengambil buku tersebut, ku buka berlahan-lahan buku dengan kertas yang telah kusam dan kaku. CHRONIC LYMPHOCYTIC LEUKIMIA, kalimat itulah yang menjadi kata yang pertama ku baca di halaman pertama.
            “Sejak masuk SMA, Jevan telah diagnosa memiliki penyakit leukimia jenis Chronis Myleoid Leukimia. Saat itu Dokter memvonisnya hanya memiliki waktu beberapa tahun untuk hidup. Mengetahui hal itu, Jevan hanya mengurung diri di kamar. Selama seminggu ia tidak pernah tidur, ia takut ketika ia membuka mata ia akan menemukan kematian. Dan saat itulah aku memberikan buku itu untuk menyemangati dirinya. Buku itu berisi semua hal mengenai penyakit yang ia derita dan juga menceritakan beberapa orang yang telah berhasil melawan penyakit tersebut yang kemudian dapat hidup lebih lama di bumi ini.  Tapi, sayangnya Allah berkehendak lain. Seminggu  setelah kau pergi ke Semarang Jevan telah kembali ke sisiNya”.
Tanganku terus saja bergerak membuka buku tersebut. Lembar demi lembar kertas yang ku buka , air mata ku menetes diatas kertas tersebut meninggalkan jejak. Kenapa? Kenapa selama ini Jevan tidak pernah bilang penyakit itu? Bukankah kau bilang kau hanya sakit typus dan kenapa juga Jo tidak jujur?, isak ku dalam hati. Saat tangan ku membuka ke halaman menengah, ku temukan sebuah surat yang bertulisan nama ku, Chairunnisa Andini.
Berlahan-lahan ku buka surat tersebut. huruf demi huruf yang membentuk kata yang tersusun rapi dengan tinta berwarna biru.
Hai Andin a.k.a Miss Cerewet
Bagaimana dengan tugas mu? ku harap kau mendapatkan nilai yang memuaskan. Aku tahu kau pasti sedang bertanya-tanya kenapa aku tidak menanyakan kabar mu lebih dahulu. Jujur saja aku tak ingin menanyakan kabar mu, karena aku yakin kau pasti sedang menangis. C’mon hapus air mata mu. Maaf kan aku, sungguh aku minta maaf  tidak memberi tahu mu tentang openyakit ku yang sebenarnya dan ku mohon jangan marah dengan Jo karena aku lah yang memintanya untuk merahasiakan penyakit ku.
Andin...
Apakah kau masih ingat ketika kau dengan Jo membicarakan ku dengan buku tebal yang menurutmu menyeramkan saat di kantin sekolah? Kau tahu sebenatnya aku hanya berpura-pura membaca padahal otak ku fokus ke pembicaraan kalian berdua. Aku sadar akan sikap ku yang mungkin bagi mu amat menyebalkan tapi ketahuilah aku melakukan itu kareba aku takut, aku takut  memiliki banyak teman yang nantinya membuat ku sulit untuk meninggalkannya. Maka dari itu,  aku berlagak seperti yang kau lihat, bertindak semaunya,  jutek, so cool dan sombong. Semua itu aku sengaja melakukannya agar mereka tak sudi menjadikan ku sebagai teman.
Dan apakah kau masih ingat ketika kita berdansa di malam promnite? Saat aku mengucaokan “kau nampak cantuk” yang kau kira hanyalah sebuah ucapan sarkastik. Ketahuilah aku mengucapkan itu dengan amat tulus dan aku merasa senang ketika kau memuji ku lebih tepatnya meminta mu untuk memuji ku hehehe.. terima kasih atas pujiannya.
Sebenarnya aku telah lama mengetahui kalo ternyata kita berada di kampus yang sama. Aku sengaja menghindari dari pandangan mu tetapi kau harus tahu bahwa setiap hari aku selalu mengamati mu dari jauh sampai akhornya kita bertumbrukan dan kau mengenali ku. Saat kau tanya kenapa aku selalu memakai  topi dan kupluk. Sebenarnya aku berbohong karena aku memakai itu semua untuk menutupi rambutku yang semakin hari semakin rontok.
Oiya, aku sudah menuruti semua nasehatmu, aku telah memakan banyak sayuran dari mulai waena orange, kuning, hijau, bahkan ungu semua sudah ku coba tapi maaf kan aku karena badan ku masih saja  kurus. Sehari setelah kau pergi ke Semarang aku menemui Jo. Kau tahu kita sudah berbaikan. seharian aku menghabiskan waktu ku melakukan apa yang dulu aku dengannya sering lakukan. Andin, terima kasih telah membuat sahabat ku, Jo menjadi lebih baik.
Emm.., Do you still remember when i said that i  Love you and I want you to be part of my life? Ketika kau bertanya apakah itu sebuah lamaran? Mungkin aku akan langsung menjawab ‘ya aku sedang melamarmu’ jika Allah tidak memberikan penyakit ini. Saat itu aku tidak menanyakan jawaban mu karena aku tahu, kau pun mencintai ku. Hei..hei.. hei.. aku tidak sedang kepedean. Aku sadar selama di SMA, kau selalu mengamati ku dan aku pun juga secara diam-diam mengamati gerak-gerik my tapi sepertinya kau selalu menyengkal perasaan itu dengan memikirkan buruk tentang sikapku dan menatap ku dengan tatapan sinis. Aku tidak marah karena itu memang tujuan ku dan aku amat bersyukur dengan begitu kau tidak akan mendekati ku layaknya gadis-gadis lainnya karena sebenarnya aku juga menyukai mu sejak masuk SMA.
Andini..
Terima kasih telah hadir  dan menemaniku selama beberapa bulan ini. Terima kasih telah menjadi wanita yang aku cintai dan akan selalu ku cintai. Mungkin rasa cinta ku akan dilanjutkan dengan rasa cinta Jo, karena itu cintai lah Jo. Aku tahu selama ini Jo juga mencintai mu dan aku tahu besar cinta Jo sama dengan besar cinta ku kepada mu, Chairunnisa Andini...
Good... bye...
By : Jevanno Anggara, Pria jutek nan angkuh yang  telah terikat di hati mu...
Kalimat demi kalimat yang ku baca membuat ku ingin menangis lebih lama. Air mata ku seakan-akan turun begitu saja tanpa diperintahkan. Kini aku tahu kenapa Jevan bertindak semaunya, Jutek, angkuh dan sombong, makna atas pernyataannya dua minggu yang lalu. Dan aku juga tahu alasan Allah mendatangkan mimpi aneh tentang Jevan.
            “Aku tahu pasti kau amat terpukul. Bersabarlah, seperti yang pernah bilang kepada anak didik mu, semua cobaan pasti ada hikmahnya”, ucap Jo ketika aku melipat surat yang Jevan tulis untuk ku. ku hapus air mata ku dan menghela napas panjang. Mungkin ini saatnya. Ya ini saatnya mengucapkannya kepada Jo.
            “Jo... ajari aku menjadi istri yang sholehah dan tuntunlah aku untuk menuju ke pintu surga...”


~ The End ~




5 comments:

  1. bagus thor, plotnya gak buru buru jadi bacanya nyaman. keep inspiring yaa :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. wahhhh akhirnya ada yang komen juga^^
      terima kasihhhh baca yang lainnya juga yaaaaaa..... *senyummanis*

      Delete
    2. eh thor, bikinin tentang kisah hidup kamu dongg.... trus ceritanya pake lu-gue gitu hehehe biar keliatan akrab

      Delete
    3. oke dehhh nanti dicoba, btw thanks yaaa sarannya...

      Delete