“Huhhh..”, helaku
membuang napas panjang.
Minggu ini sungguh amat melelahkan.
Para dosen mata kuliah ku sepertinya telah berencana memberikan tugas serempak
dan di kumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Huh, benar-benar
menyebalkan. Dulu ketika aku masih duduk di bangku SMA, ku pikir menjadi
mahasiswa akan menyenangkan karena akan terbebas dari tugas tapi nyatanya emm..
sama saja. Sampai-sampai Miss Alline, dosen yang tidak pernah memberikan tugas
kini ikut-ikutan memberikan tugas. Kutatap kesal ke kertas yang ada digenggaman
ku, membaca ulang tugas yang diberikan tugas oleh Miss Alline.
“Arggghh, Miss Alline kenapa kau
harus memberikan tugas sesusah ini!”, erang ku membejek kertas tersebut dan
membuangnya sembarang. Ku pejamkan mataku merasakan hembusan angin yang ada di
taman ini. Untunglah udara di taman kampus ini sejuk sehingga dapat menenangkan
otak ku yang seminggu ini telah bergulat ria dengan tugas-tugas ku. Dan entah
dari mana asalnya wajah Jo dan Jevan terbayang di otak ku.
“Jo sedang apa ya? Apa dia sedang
mengajarkan anak-anak di Masjid?, dan Jevan kenapa kau belum musuk ke kampus?
Apa penyakit typus mu masih betah di diri mu?”
Dengan mata yang masih tertutup,
mulutku berucap demikian, memikirkan kedua pria yang telah 3 bulan ini akrab
dengan ku. Ke dua pria yang telah seminggu ini tidak kutemui karena tugas-tugas
yang menyebalkan.
“Hei nona, kenapa kau membuang kertas
ini sembarangan. Mengotori lingkungan!”, kudengar ucapan mencemooh dari seorang
pria tapi mata ku enggan membuka untuk mengetahui pria tersebut dan saat sebuah
jari menyentil jidat ku dengan refleks
mata ku membuka lebar.
“Jevan!”, ucap ku mendapati pria
yang sedang menunjukan kertas yang beberapa
menit yang lalu ku lempar.
“Yes, I am. why you looking me like
that?. Kau seperti melihat hantu disiang bolong”
“kau... kau sudah sembuh?”
“yup, seperti yang kau lihat. Kau
tahu kau sungguh jahat kenapa kau tidak menjenguk ku, huh?”
“Maaf.. aku tidak sempat menjengukmu
karena aku harus menyelesaikan tugas-tugasku”, jawab ku dengan menunjukan puppy
eyes berharap pria tersebut memaafkannya.
“Baiklah permintaan maaf di terima”
“kau seriusan sudah sembuh?”, Jevan
pun mengangguk.
“tapi kenapa wajah mu masih pucat
dan kenapa makin hari kau semakin kurus. Aku ragu kau hanya sakit typus?”,
tanya ku heran
“Ya ampun Andin, kau seperti tidak
pernah sakit saja. Tentu saja wajah ku maasih pucat karena ini efek aku baru
sembuh dan kenapa aku kurus, itu karena selama sakit aku dilarang memakan
makanan yang berlemak yang dapat membuat orang gemuk. Hahaha...”, jawabnya
diakhiri dengan tawanya yang hambar. Aku yang mendengarnya merasa aneh,
sepertinya Jevan sedang mencari-cari alasan.
“kau sendiri kenapa wajah mu kucel,
emm?”
“karena kertas itu!”, ucap ku
menunjuk kertas yang masih berada di tangan Jevan. Jevan pun langsung membaca
kertas tersebut.
“kau...kau akan ke luar kota?”. Ku
anggukan kepalaku setelah mendengar pertanyaan Jeven.
“Ya, sepertinya aku akan pergi ke
Semarang untuk mengadakan pengamatan”.
“berapa hari?”, tanya Jevan dengan
nada serius.
“emm..mungkin seminggu”.
Setelah mendengar jawaban ku, Jevan
langsung diam dan menyudahi perrtanyaannya. 15 menit sudah ia membungkamkan
mulutnya dan sibuk dengan pikirannya. Entahlah aku tidak tahu apa yang ia
pikirkan. Untuk saat ini aku berharap dapat seperti Edward Cullen. Aku
penasaran apa yang sedang ia pikirkan.
“sepertinya kau masih sakit. Aku
akan menemui Jo dan lebih baik kau pulang. Dan ketika aku balik, aku tidak mau
melihat tubuh kurus mu. Makanlah yang banyak kalau perlu kau harus makan
sayuran setiap hari”, ucapku memberi nasihat bak seorang ibu yang akan
meninggalkan anaknya. Aku pun langsung bangun dari duduk ku dan beranjak pergi
meninggalkan Jevan.
HAP!
Sebuah tangan mencengkram
pergelangan tangan ku saat aku baru melangkahkan kaki.
“tunggu Andin! Emm.. aku mencintai
mu!”
DEG!
Apa aku salah dengar. Jeven bilang
cinta kepada ku. Sepertinya aku harus segera ke THT. Dan tanpa aba-aba aku
langsung menghadapnya, menatap matanya.
“Kau becanda kan?”, ucap ku
memastikan
“tidak aku serius”
“kenapa?”, mataku masih menatap
Jevan meminta alasan darinya tapi dia hanya membungkam bak seorang patung.
“Kenapa? Kenapa kau mencintai ku?
Kau tahu aku tidak cantik, aku bukan keturunan konglongmerat, aku bukan
kerturunan bangsawan, dan aku tidak pintar seperti dirimu yang memiliki IQ yang
tinggi!”, ucap ku dengan menekan kata-kata yang ku keluarkan.
“Ya aku tahu, aku tahu kau tidak
cantik, kau bukan keturan bangsawan maupun konglongmerat dan aku juga tahu kau
tidak pintar dan hanya memiliki IQ di bawah ku. Dan kenapa aku mencintai mu,
karena alasan-alasan yang kamu sebutkan tadi sudah ada di diriku jadi untuk apa
aku memilikinya lagi. Karena apa? Karena aku mencintai mu apa adanya. Bukankah
cinta itu saling melengkapi? I want you to be part of my life”
“a..apakah kau meminta ku menjadi
kekasih mu?”, pertanyaan bodoh itulah yang mampu keluar dari mulutku. Mendengar
jawaban Jevan barusan membuat bibirku kaku dan aku tak tahu apa yang harus ku
jawab.
“tidak...”
“melamar ku?”, dengan amat PD aku
bertanya demikian dan ku lihat Jevan menggelengkan kepalanya.
“tidak juga...”
‘lalu?”
“aku hanya.. aku hanya ingin jujur,
aku takut aku tidak bisa mengucapkannya ketika kau balik”
“Hahaha.. Jevan, Jevan kau tahu aku
hanya pergi seminggu bukan untuk selamanya. Kau itu aneh deh. Sudahlah aku mau
menemui Jo. Kau mau ikut?”
“emm.. belum waktunya”.
“baiklah, ku harap jika nanti aku
pulang kau dengan Jo sudah berbaikan dan ingat jangan lupa untuk makan sayur!”
“baiklah aku akan menurut dengan mu
Miss. Cerewet. Good bye...”
Aku hanya
terkekah mendengarnya mnyebutku sebagai Miss Cerewet. Dan entah kenapa otakku kembali
memikirkan pernyataan Jevan. Membingungkan. Hari ini dia sungguh aneh sekali,
emm.. mungkin karena efek obat yang ia minum.
***
Warna jingga yang menghiasi langit
sore menemani ku menuju pulang ke rumah. Dan seperti biasa Jo mengantarkan ku
pulang. Sudah setengah perjalanan, entah kenapa Jo lebih banyak berdiam diri
dan hanya berjalan dibelakang ku. Apa dia marah?, gumam ku dalam hati.
“Jo..”, panggil ku yang menghentikan
langkah menunggu Jo menyusulku.
“ada apa?”, tanyanya.
“kau marah pada ku ya? Maafkan aku
telah menyusahkan mu selama seminggu ini”, ucapku menyesal karena seminggu ini
aku tidak datang ke masjid untuk mengajar mengaji. Tentu saja semua itu
disebabkan oleh tugas-tugas ku menyebalkan.
“tidak. aku tidak marah”
“lalu, kenapa kau dari tadi diam?”
“emm..aku sedang memikirkan sesuatu.
Andini, ada yang aku mau katakan”.
“aku juga ingin mengatakan sesuatu
Jo”
“okey, Ladies first”
“emm.. begini, mungkin selama
seminggu ke depan aku tidak bisa datang ke Masjid karena aku harus mengadakan
pengamatan di Semarang untuk tugas kuliah ku. Dan aku minta tolong kamu untuk
menggantikan ku kembali di Masjid seperti minggu lalu yang kau lakukan. Kau
bisa kan?”
“tentu saja aku akan membantu mu.
Kau jangan khawatir.”.
“terima kasih Jo. Lalu kau mau
mengatakan apa?”
“emm..mungkin kau akan kaget
mendengarnya dan mungkin aku terlalu terburu-buru tapi aku harus mengatakannya
sekarang. Kau dengarkan baik-baik okey”.
Aku mengangguk
mendengar perintah dari Jo dan tiba-tiba saja tangan Jo telah menyentuh dan
memegang bahu ku, sontak saja aku kaget dan yang lebih mengagetkan lagi setelah
ia mengucapkan...
“Chairunnisa Andini, aku mencintai
mu”
Mendengar itu aku
hanya dapat melongo. Kejutan apa lagi ini, setelah tadi sore Jevan juga
mengucapkan kalimat yang sama.
“kenapa?”, tanya ku seraya melirik
ke tangan Jo yang masih berada di bahu ku.
“emm maaf..”, ucapnya menjauhkan
kedua tangannya.
“Kenapa? Kenapa kau mencintai ku?
Kau tahu aku tidak cantik, aku bukan keturunan konglongmerat, aku bukan kerturunan
bangsawan, dan aku tidak pintar seperti dirimu”. Kalimat itulah yang ku
keluarkan. Pertanyaan yang sama ketika Jevan mengatakan pernyataan yang sama
dengan Jo.
“Ya, aku tahu itu. bukankah di mata
tuhan kita ini sama? Bukankah di mata Tuhan kita ini sederajat. Bukan status
yang dapat membedakan kita dengan yang lain tetapi, iman dan ketakwaan lah. Aku
mencintai mu bukan karena status mu, tetapi kerena ketakwaan mu lah yang
membuat ku jatuh cinta kepada mu. Dan aku.. dan aku mencintaimu karena Allah Subhanawataa’la”.
Seperti tersabar
petir aku merasa kaku dan tegang di tempat. Aku sungguh tidak menyangka Jo akan
mengatakan itu. Aku senang tetapi di lain sisi aku mengharapkan orang lain yang
mengucapkan itu. Entahlah aku juga tak tahu siapa.
“kau..kau mu..alaf?”
“iya, selama 3 bulan ini aku banyak
belajar tentang Islam dan 3 hari yang lalu, aku telah mengucapkan dua kalimat
syahadat. Maaf kan aku tidak memberitahu mu lebih awal”.
“Alhamdulillah hirobbil a’lamin.
Syukurlah”
“Andin, ku harap kau bisa menjawab
pernyataanku ketika kau balik dari Semarang”.
Aku hanya dapat mengangguk. Membalikan badan
ku melanjutkan langkah ku. Perjalanan pulang dengan Jo kali ini sungguh
benar-benar canggung. Hanya suara batuan kerikil yang terinjak oleh kedua kaki kita
yang memecahkan keheningan diantara kita dan matahari yang lambat laun mulai
menghilang dari langit. Menenggelamkan dirinya di ufuk barat.
***
Ya Allah,
haruskah Hamba-Mu ini memilih salah satu dari mereka? Haruskah Hamba memilih
Jevan dan menyakiti Jo? Atau haruskah Hamba memilih Jo dan menyakiti Jevan?
Hamba tidak ingin menyakiti salah satu dari mereka. Berikanlah petunjuk Mu, Ya
Allah... Rabanna atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina ‘adzabannar...
Ku sudahi doa ku setelah shalat
istikharah di tengah malam ini. Selama dua minggu ini pernyataan dari kedua
pria tersebut terus saja terngiyang-ngiyang di otak ku. Malam ini merupakan
malam terakhir ku di Semarang setelah empat belas hari ini aku mengerjakan
tugas kuliah. Tapi, sampai saat ini aku masih saja belum menemukan jawaban
siapa yang akan ku pilih. Aku tahu pernyataan Jevan minggu lalu bukanlah untuk
memintaku menjadi kekasihnya dan bukan pula melamar ku tapi entah mengapa aku
merasa ucapannya memiliki makna yang sama seperti pernyataan yang diucapkan Jo.
“Huh, sudahlah lebih baik aku
tidur”, ucap ku yang baru sadar bahwa besok aku harus bangun pagi untuk kembali
kerumah. Ku pejamkan mata ku dan berharap Allah akan segera memberikan
petunjuk-Nya.
-o0o-
“JEVAAANNN TUNGGGUUUUU!!!”
Mataku terbuka dan mengedarkan ke
semua sudut ruangan, mencoba mengenali dimana aku sekarang. Ini bukan kamar ku.
Tentu saja karena aku masih berada di tempat penginapan.
“Huhhh...ternyata hanya
mimpi”, ucap ku seraya menghela napas lega.
Mimpi yang aneh, didalam
mimpi tersebut aku melihat Jevan terus berjalan lurus. Aku terus memanggilnya tapi ia masih
terus berjalan lurus tanpa menoleh sedikit pun, dan ketika aku berteriak dia
hanya melambaikan tangannya lalu melanjutkan langkahnya. Aneh bukan?. Tapi
apakah ini petunjuk dari Allah?. Ya, mungkin ini petunjuk-Nya mendatangkan
Jevan di mimpi ku karena yang sebenarnya aku cintai adalah Jevanno Anggara.
Pria yang ku juluki si cowo jutek nan sombong dan angkuh.
***
“Assalamua’laikum Jo..”, ucap ku memberi
salam kepada Jo yang baru saja keluar dari Masjid.
“Waa’laikumsalam. Andini! Kau sudah
pulang?”, jawabnya dengan tampang terkejut. Aku memang sengaja tidak memberi
tahunya aku akan pulang hari ini.
“Yup, seperti yang kau lihat”.
“Kau bilang kau hanya pergi selama seminggu? Kenapa jadi dua
minggu?”
“Hehehe... ada sedikit kesalahan
jadi ya harus diundur. Maaf Jo, pasti dua minggu ini aku sangat merepotkan mu”
“tidak juga, aku malah senang karena
selama dua minggu ini aku banyak belajar
dari anak didik mu, bahkan mereka mengajarkan ku mengaji. Awalnya aku sulit
sekali membedakan huruf-huruf hijayah karena bentuknya yang hampir mirip dan
dengan sabarnya mereka membantu ku”
“Wah, Syukurlah. Oiya, ini baru jam
satu siang kenapa kau sudah ada di Masjid bukankah pengajiannya di mulai ba’da Ashar?”
“Aku datang kesini untuk ikut shalat
dzuhur berjamaah. Kebutulan Ustad Anwar, ustad yang menjadi saksi ketika aku
masuk islam juga ikut jadi setelah selesai shalat jamaah aku menanyakan lebih
dalam lagi tentang islam”
“Oh begitu..”
“kau juga kenapa kau datang jam
segini?”
“Aku ingin melaksanakan shalat dzuhur di Masjid ini
kalau begitu aku masuk dulu.”
“Okey, Oiya Andin apa
setelah shalat dzuhur kau punya waktu? Aku ingin mengajak mu ke suatu tempat”
“emm.. Aku ingin menemui Jevan, tapi
aku tak tahu dia dimana? Ponselnya juga mati. Mungkin aku akan ke kampus.”
“Bagaimana jika aku mengantarkanmu
menemui Jevan? Aku tahu dimana dia sekarang”.
“Benarkah?. Okey aku tidak akan
menolak”
“Aku akan menunggu mu disini”
Dengan bersemangat ku langkahkan
kaki ku kedalam masjid. Sungguh aku telah tidak sabar untuk bertemu dengan cowo
jutek itu dan aku juga sudah tidak sabar untuk mengucapkan jawaban yang telah
ku pikirkan bahwa aku juga ingin menjadi bagian dari hidupnya.
***
“Ayo masuk”, ucap Jo yang membukakan
pintu mobil yang tidak ku ketahui siapa pemiliknya.
“kenapa kau bengong? Andin, ayo
cepat masuk”.
“ini mobil siapa?, kau tidak sedang
berusaha untuk menculik ku kan?”, tanya ku dengan nada takut setelah berada di
dalam mobil.
“Hahaha.. kau ini ada-ada saja. Kan
sudah ku bilang aku akan mengantarkan mu ke tempat Jevan”, jawab Jo diiringi
tawanya yang kemudian menyalakan mesin mobil ini.
“lalu ini mobil siapa?”, pertanyaan
yang sama yang masih membuat ku bingung.
“ini mobil ku lebih tepatnya mobil
pemberian ayah ku”
“ohhh...tunggu! berarti kau sudah
kembali ke rumah mu?”
“Yuppp”
“emm.. apakah ayah mu masih marah”
“Kalau ayah ku marah kenapa juga ia memberikan
mobil ini. Malah beliau meminta maaf karena telah memaksakan kehendaknya”.
“dan...dan apakah kau sudah
mengatakan kau ini mualaf?”
“Aku juga sudah mengatakan kepada
beliau kalau aku ini memilih Islam”.
“lalu, apa reaksi kedua orang tua
mu?”
“Awalnya mereka tidak setuju tapi
setelah aku meyakini kedua orang tua ku, akhirnya mereka menyetujui ku untuk
pindah agama”.
Ku tolehkan pandangan ku mengamati kaca mobil. Bisa ku lihat
dari kacamobil ini, kini mobil Jo telah melewati jalan yang hanya dapat di
lalui oleh sebuah mobil dengan pohon-pohon rindang di sebelah kanan kiri.
Sepertinya aku mengenali jalan ini. Bukankah jalan ini jalan untuk menuju ke
tempat pemakaman. Dan bukankah jalan ini hanya diperbolehkan dilalui untuk
peziarah. Kenapa Jo membawa ku kesini?
“Jo sebenernya kita mau kemana?
Kenapa kita lewat jalan ini?”
“nanti juga kau akan tahu. Ayo kita
turun, kita sudah sampai”, ajak Jo yang memberhentikan mobilnya di depan plang
bertulisan ‘PEMAKAMAN DAMAI DAN MULIA’. Aku semakin bingung ketika Jo masuk
kedalam pemakaman tersebut. Aku hanya dapat mengekorinya masuk ke pemakaman. Apakah
Jevan sedang berziarah disini, pikir ku.
Semakin Jo
memasuki kedalam pemakaman pikiran ku semakin bercabang-cabang memikirkan yang
tidak-tidak. Tenang Andin, semua yang ada dipikiran mu itu tidak akan
terjadi, pikirku seraya menunduk dan mengusap-usap dadaku menenangkan
pikiranku.
BUKKK...
Tanpa ku sadari,
aku menubruk punggung Jo yang tiba-tiba saja berhenti mendadak tepat di sebuah
kuburan yang masih baru. Tanah merah yang sedikit menggunung terlihat masih
basah dengan buyaran-buyaran bunga yang masih segar diatas kuburan tersebut. Ku
lihat dan ku baca tulisan yang ada di batu nisan tersebut. JEVANNO ANGGARA.
DEG!
Apa aku tidak
salah baca atau apa mata ku sudah rabun, sepertinya aku harus memakai kacamata.
Ya mungkin aku salah baca. Mana mungkin nama Jevan tertulis di nisan tersebut.
“ke tempat inilah aku ingin mengajak
mu dan disinilah pula Jevan berada, Andin”, tiba-tiba perkataan Jo mengsirnakan
harapan ku dan sedetik kemudian air mata ku telah turun mengenai batu nisan
yang semakin kudekati. Dan ternyata benar, aku tidak salah baca. Nisan tersebut
memang bertulisan Jevanno Anggara.
“Kau bohongkan Jo? Iyakan kau
bohong? Ini bukan tempat Jevan? Katakan kalau kau bohong Jo! Apa kau sedang
bercanda? Jika kau sedang bercanda, sungguh percadaan mu tidak lucu!”, teriakku
dengan suara bergetar yang sudah tidak dapat lagi mengontrol diri ku. Ku tarik
lengan baju yang dikenakan Jo dan ku gunjang-gunjangkan. Berharap Jo membuka
mulutnya. Tapi hasilnya nihil, Jo tetap saja membungkam.
“Ayo Jo cepat katakan! Kenapa kau
diam saja! Kau tidak tuli kan? Ayo cepat katakan!”, Aku terus meracau dengan
seiring air mataku yang menetes semakin banyak.
“tenang Andin, tenang. Tenangkan
emosi mu. Aku tidak sedang berbohong dan aku juga tidak sedang bercanda. Ini
nyata dan ini bukanlah sebuah mimpi, Jevan sahabat kita dan Jevan, cowok yang
kau anggap angkuh dan sombong kini sudah di alam yang berbeda. Aku harap kau
bisa menerima kenyataannya. Oiya Jevan
membrikan ini untuk mu”.
Jo memberikanku
sebuah buku tebal yang di lapisi sampul abu-abu mengkilat. Sepertinya aku
mengenali buku ini. Bukankah buku tebal ini, buku yang selalu dibawaa-bawa oleh
Jevan ketika di SMA. Ya, si Buku Menyeramkan.
Ku ulurkan
tangannku mengambil buku tersebut, ku buka berlahan-lahan buku dengan kertas
yang telah kusam dan kaku. CHRONIC LYMPHOCYTIC LEUKIMIA, kalimat itulah yang
menjadi kata yang pertama ku baca di halaman pertama.
“Sejak masuk SMA, Jevan telah
diagnosa memiliki penyakit leukimia jenis Chronis Myleoid Leukimia. Saat
itu Dokter memvonisnya hanya memiliki waktu beberapa tahun untuk hidup.
Mengetahui hal itu, Jevan hanya mengurung diri di kamar. Selama seminggu ia
tidak pernah tidur, ia takut ketika ia membuka mata ia akan menemukan kematian.
Dan saat itulah aku memberikan buku itu untuk menyemangati dirinya. Buku itu
berisi semua hal mengenai penyakit yang ia derita dan juga menceritakan
beberapa orang yang telah berhasil melawan penyakit tersebut yang kemudian
dapat hidup lebih lama di bumi ini.
Tapi, sayangnya Allah berkehendak lain. Seminggu setelah kau pergi ke Semarang Jevan telah
kembali ke sisiNya”.
Tanganku terus
saja bergerak membuka buku tersebut. Lembar demi lembar kertas yang ku buka ,
air mata ku menetes diatas kertas tersebut meninggalkan jejak. Kenapa?
Kenapa selama ini Jevan tidak pernah bilang penyakit itu? Bukankah kau bilang
kau hanya sakit typus dan kenapa juga Jo tidak jujur?, isak ku dalam hati.
Saat tangan ku membuka ke halaman menengah, ku temukan sebuah surat yang
bertulisan nama ku, Chairunnisa Andini.
Berlahan-lahan ku
buka surat tersebut. huruf demi huruf yang membentuk kata yang tersusun rapi
dengan tinta berwarna biru.
Hai Andin a.k.a Miss Cerewet
Bagaimana dengan tugas mu? ku harap kau mendapatkan nilai
yang memuaskan. Aku tahu kau pasti sedang bertanya-tanya kenapa aku tidak
menanyakan kabar mu lebih dahulu. Jujur saja aku tak ingin menanyakan kabar mu,
karena aku yakin kau pasti sedang menangis. C’mon hapus air mata mu. Maaf kan
aku, sungguh aku minta maaf tidak
memberi tahu mu tentang openyakit ku yang sebenarnya dan ku mohon jangan marah
dengan Jo karena aku lah yang memintanya untuk merahasiakan penyakit ku.
Andin...
Apakah kau masih ingat ketika kau dengan Jo membicarakan ku
dengan buku tebal yang menurutmu menyeramkan saat di kantin sekolah? Kau tahu
sebenatnya aku hanya berpura-pura membaca padahal otak ku fokus ke pembicaraan
kalian berdua. Aku sadar akan sikap ku yang mungkin bagi mu amat menyebalkan
tapi ketahuilah aku melakukan itu kareba aku takut, aku takut memiliki banyak teman yang nantinya membuat
ku sulit untuk meninggalkannya. Maka dari itu,
aku berlagak seperti yang kau lihat, bertindak semaunya, jutek, so cool dan sombong. Semua itu aku
sengaja melakukannya agar mereka tak sudi menjadikan ku sebagai teman.
Dan apakah kau masih ingat ketika kita berdansa di malam
promnite? Saat aku mengucaokan “kau nampak cantuk” yang kau kira hanyalah
sebuah ucapan sarkastik. Ketahuilah aku mengucapkan itu dengan amat tulus dan
aku merasa senang ketika kau memuji ku lebih tepatnya meminta mu untuk memuji
ku hehehe.. terima kasih atas pujiannya.
Sebenarnya aku telah lama mengetahui kalo ternyata kita
berada di kampus yang sama. Aku sengaja menghindari dari pandangan mu tetapi
kau harus tahu bahwa setiap hari aku selalu mengamati mu dari jauh sampai akhornya
kita bertumbrukan dan kau mengenali ku. Saat kau tanya kenapa aku selalu
memakai topi dan kupluk. Sebenarnya aku
berbohong karena aku memakai itu semua untuk menutupi rambutku yang semakin
hari semakin rontok.
Oiya, aku sudah menuruti semua nasehatmu, aku telah memakan
banyak sayuran dari mulai waena orange, kuning, hijau, bahkan ungu semua sudah
ku coba tapi maaf kan aku karena badan ku masih saja kurus. Sehari setelah kau pergi ke Semarang
aku menemui Jo. Kau tahu kita sudah berbaikan. seharian aku menghabiskan waktu
ku melakukan apa yang dulu aku dengannya sering lakukan. Andin, terima kasih
telah membuat sahabat ku, Jo menjadi lebih baik.
Emm.., Do you still remember when i said that i Love you and I want you to be part of my
life? Ketika kau bertanya apakah itu sebuah lamaran? Mungkin aku akan
langsung menjawab ‘ya aku sedang melamarmu’ jika Allah tidak memberikan
penyakit ini. Saat itu aku tidak menanyakan jawaban mu karena aku tahu, kau pun
mencintai ku. Hei..hei.. hei.. aku tidak sedang kepedean. Aku sadar selama di
SMA, kau selalu mengamati ku dan aku pun juga secara diam-diam mengamati
gerak-gerik my tapi sepertinya kau selalu menyengkal perasaan itu dengan
memikirkan buruk tentang sikapku dan menatap ku dengan tatapan sinis. Aku tidak
marah karena itu memang tujuan ku dan aku amat bersyukur dengan begitu kau
tidak akan mendekati ku layaknya gadis-gadis lainnya karena sebenarnya aku juga
menyukai mu sejak masuk SMA.
Andini..
Terima kasih telah hadir
dan menemaniku selama beberapa bulan ini. Terima kasih telah menjadi
wanita yang aku cintai dan akan selalu ku cintai. Mungkin rasa cinta ku akan
dilanjutkan dengan rasa cinta Jo, karena itu cintai lah Jo. Aku tahu selama ini
Jo juga mencintai mu dan aku tahu besar cinta Jo sama dengan besar cinta ku
kepada mu, Chairunnisa Andini...
Good... bye...
By : Jevanno Anggara, Pria jutek nan angkuh yang telah terikat di hati mu...
Kalimat demi
kalimat yang ku baca membuat ku ingin menangis lebih lama. Air mata ku
seakan-akan turun begitu saja tanpa diperintahkan. Kini aku tahu kenapa Jevan
bertindak semaunya, Jutek, angkuh dan sombong, makna atas pernyataannya dua
minggu yang lalu. Dan aku juga tahu alasan Allah mendatangkan mimpi aneh
tentang Jevan.
“Aku tahu pasti kau amat terpukul.
Bersabarlah, seperti yang pernah bilang kepada anak didik mu, semua cobaan
pasti ada hikmahnya”, ucap Jo ketika aku melipat surat yang Jevan tulis untuk
ku. ku hapus air mata ku dan menghela napas panjang. Mungkin ini saatnya. Ya
ini saatnya mengucapkannya kepada Jo.
“Jo... ajari aku menjadi istri yang
sholehah dan tuntunlah aku untuk menuju ke pintu surga...”
~ The End ~
bagus thor, plotnya gak buru buru jadi bacanya nyaman. keep inspiring yaa :)
ReplyDeletewahhhh akhirnya ada yang komen juga^^
Deleteterima kasihhhh baca yang lainnya juga yaaaaaa..... *senyummanis*
eh thor, bikinin tentang kisah hidup kamu dongg.... trus ceritanya pake lu-gue gitu hehehe biar keliatan akrab
Deleteoke dehhh nanti dicoba, btw thanks yaaa sarannya...
Deleteyooo
Delete